Sabtu, 19 Desember 2015

Kelainanku: Kakak Iparku, Cici Lily

Setelah kakakku meninggal dunia, sebulan sekali aku mengunjungi istrinya yang tak lain adalah kakak iparku, Cici Lily, di Cikarang untuk melihat kesehatannya, mengobrol, sekaligus memberi uang bulanan. Hal rutin ini aku lakukan biasanya bersamaan dengan tugas rutin kantor cabang perusahaanku di Bandung. Jadi, sepulang dari Bandung (sebelum pulang ke rumah di Jakarta), aku sempatkan mampir sambil membawa oleh-oleh. Hal ini berlangsung selama dua tahun lebih tanpa ada sesuatu yang spesial.

Ci Lily, tinggal berdua dengan pembantunya yang biasa dipanggil “si Ibu”. Kedua puteranya sudah berkeluarga dan tinggal di Serpong dan Pondok Indah. Mereka tidak terlalu sering menengok atau menelepon ibunya.

Suatu hari setelah makan siang , aku iseng menelepon Ci Lily untuk menanyakan apa kabarnya. Ia menjawab sedang sakit flu berat.

“Sudah ke dokter?” tanyaku

“Belum, badan rasanya lemas sekali dan ngga sanggup kalau harus pergi ke luar,” jawabnya.

“Wahh… tunggu aku datang,” jawabku lagi.

Aku segera membereskan pekerjaan kantor dan langsung pergi ke Cikarang. Sesampai di rumahnya, aku segera mengantarnya ke dokter, lalu membelikan obat di Apotek.

Setelah tiba kembali di rumah, aku membelikan nasi tim dan menemani dia makan supaya obatnya bisa langsung dimakan. Setelah Ci Lily terlihat lebih tenang, aku permisi pulang sambil mencium dahinya. Ci Lily tersenyum sambil mengucapkan terima kasih.

Malam harinya aku sms dia menanyakan kondisi kesehatannya, demikian pula esok paginya. Aku lega karena kondisinya terus membaik. Sejak itu aku dan Ci Lily jadi lebih sering berkomunikasi dibandingkan sebelumnya.

Dua minggu kemudian, kebetulan jadwal aku tugas ke Bandung lagi. Maka pulangnya aku mampir ke rumah Ci Lily. Syukur, Ci Lily sudah sembuh sama sekali. Maka aku pun mengajak dia untuk makan malam di luar, setelah itu aku belikan dia baju baru.

Tanpa disadari dan berjalan secara alamiah, hubungan kami semakin erat. Kami berdua seakan remaja yang sedang jatuh cinta. Padahal usia kami sudah 50-an. Benar kata pepatah, cinta tidak mengenal usia. Meski demikian, di antara kami tidak ada kontak fisik. Aku tidak berani mulai karena khawatir disebut kurang ajar.

Mengobrol dengan Ci Lily semakin lama semakin menyenangkan, tidak membosankan. Kadang kami mengobrol hingga larut malam dan aku mulai menginap di rumahnya.

Jika sebelumnya, aku di Bandung selalu diberi fasilitas menginap di hotel oleh perusahaan, kini situasi berubah. Aku ingin secepat mungkin ke Cikarang, timbul rada kangen dan ingin mengobrol dengan Ci Lily. Daripada tidur di hotel, meski hotel berbintang, aku lebih suka tidur di rumah Ci Lily.

Jadi, setelah pekerjaan selesai pada sore hari, dari Bandung aku langsung ke Cikarang. Dengan berbagai alasan aku menolak acara makan malam dengan relasi karena tidak bermalam di Bandung.

Hubungan kami semakin dekat setelah aku mulai membicarakan penyimpangan seksual atau Kelainanku. Menurut Ci Lily, kelainanku masih dalam tahap ringan karena masih terbatas dalam lingkungan keluarga sendiri, bukan kepada publik. Dia pun menceritakan pengalaman seksual dengan suaminya yang adalah kakak kandungku.

Suatu malam saat kami mengobrol sambil menonton televisi, Ci Lily curhat bahwa anak-anaknya kurang perhatian, jarang datang, jarang telepon, dan lainnya.

Aku memegang tangannya dan berkata, “Jangan dibikin kesal, meski mereka jarang datang, tapi mereka pasti ingat terus pada Maminya. Ingat-ingat saja bahwa masih ada aku yang sayang dan perhatian pada Cici...”

Mendengar perkataanku Ci Lily memandangku dan menurunkan posisi duduknya sehingga kepalanya menyender di punggung bangku sofa. Tanganku lalu memainkan rambutnya dan Ci Lily meletakkan tangannya di pahaku. Dalam keadaan begini, secara alamiah tanganku yang sedang memainkan rambutnya pindah memeluk pundaknya dan merapatkannya kepadaku.

Ci Lily tidak menolak, malah menyenderkan kepalanya di pundakku. Aku mencium dahinya, lalu pipinya… Ci Lily memejamkan matanya. Jadi dengan perlahan aku mulai mengecup bibirnya dan melepaskan lagi.

Melihat Ci Lily tetap memejamkan matanya, aku mencium lagi bibirnya. Beberapa detik kemudian, Ci Lily membuka mulutnya. Aku lalu memasukkan lidah ke dalam mulutnya. Kami langsung saling berpelukan erat sambil berciuman…

Sambil berciuman, naluriku sebagai lelaki otomatis meraba dadanya dari luar bajunya, tidak ada perlawanan sama sekali atau usaha mencegahku.

Setelah melepaskan ciuman, masih sambil posisi duduk, aku memasukkan tanganku ke dalam bajunya untuk meraba payudaranya dari dalam behanya.

Sekali lagi, Ci Lily tidak berusaha mencegah, malah tangannya memegang ke kemaluanku dari luar celana sambil menekan-nekan…

Kami lalu berciuman lagi hingga lamaaa sekali… Aku lalu berkata, “Ci, di dalam kamar aja yuk, nanti kelihatan si Ibu.” (pembantu rumah tangganya).

Di dalam kamarnya, kami berciuman lagi sambil berdiri. Lalu aku mencoba membuka bajunya dengan menarik ke atas. Mungkin karena usia kami sudah lebih dari dewasa, sudah lama saling mengenal, dan belakangan ini perasaan kami semakin dekat, ditambah lagi hubungan kami sebagai saudara ipar, maka aku tidak perlu merayu atau membujuk dia. Ci Lily pun tidak berusaha mencegah atau merasa malu, malah ia mengangkat tangannya ke atas untuk memudahkan aku membuka bajunya…

Setelah bajunya terlepas dan tinggal memakai beha dan celana dalam saja, aku mundur dua langkah agar dapat melihat tubuhnya secara keseluruhan lalu berkata, “Body Cici bagus….”

Memang benar, dalam usianya yang sudah lima puluhan, bentuk badannya masih bagus, tapi Ci Lily menjawab, “Ngga, udah jelek, udah tua…”

Ci Lily lalu tertawa sambil membuka tangannya sebagai tanda minta berpelukan. Aku pun maju lagi memeluknya dan berciuman lagi. Sambil berpelukan, tanganku merayap ke belakang punggungnya untuk membuka pengait behanya. Setelah terbuka, dengan perlahan aku menarik behanya hingga buah dadanya terlihat… Sekali lagi, tidak ada penolakan sedikit pun dari Ci Lily. Dia tidak merasa malu…

Aku kembali mundur dua langkah agar lebih jelas melihat buah dadanya…

“Udah jelek ya?” kata Ci Lily tertawa sambil tangannya mengangkat sedikit buah dadanya yang memang terlihat sedikit turun.

“Jujur, buah dada cici indah sekali….” kataku

Aku kembali mendekat dan meremas perlahan buah dadanya, “Buah dada cici bagus… masih kencang…”

Ci Lily mendesah perlahan, “Mmmmmm……” lalu ia mencium mulutku.

Masih dalam posisi berdiri, kami terus berciuman sambil tanganku meremas-remas buah dadanya dan tangannya merangkul leherku.

Naluri lelakiku mulai meningkat, tanganku masuk ke dalam celana dalamnya… Ketika meraba bulu kemaluannya, aku terkejut dan dengan spontan berkata, “Waduh… panjang amat bulunya…”

“Ha-ha-ha…” Ci Lily tertawa mendengar perkataanku.

Aku lalu dengan tidak sabar jongkok untuk melepaskan celana dalamnya. Sekali lagi, Ci Lily tidak berusaha menahan perbuatanku, seakan-akan sudah pasrah…

Kembali aku mundur dua langkah untuk melihat tubuh telanjang iparku secara lebih lengkap. Meskipun usianya sudah 50-an, tetapi jujur, body Ci Lily ini masih bagus. Buah dadanya memang sedikit turun, dan perutnya sedikit gendut, tapi secara keseluruhan bentuk tubuhnya masih menarik, dan ada hal yang sangat menyenangkan hatiku, yakni bulu kemaluannya sungguh lebat!

Aku rasa dia cukup percaya diri dengan tubuhnya, jika tidak, mana mungkin dia membiarkan begitu saja aku menelanjangi dirinya? Jika perut atau dadanya bermasalah, dia pasti malu ditelanjangi.

Saat aku sedang menikmati pemandangan tubuhnya, Ci Lily berkata sambil tersenyum, “Perutku sudah gendut…”

“Ngga…” jawabku, “Masih oke banget, apalagi untuk orang seumur Ci Lily. Kalau ngomong gendut, perutku juga gendut… Kita kan sama-sama sudah ada umur.”

“Coba aku lihat… jangan aku sendiri yang buka baju,” katanya sambil membuka kancing celanaku. Ci Lily tidak perlu bersusah payah, aku membuka sendiri semua pakaianku sampai telanjang bulat.

Setelah aku melepaskan celana dalam, dia melihat kemaluanku. Kami lalu berciuman lagi masih sambil berdiri. Tangan kirinya memeluk pundakku sedangkan tangan kanannya memegang kemaluanku. Demikian juga aku, tangan kiriku memeluk pinggangnya sedangkan tangan kananku menarik-narik bulu kemaluannya yang lebat sambil sesekali mengelus bibir kemaluannya.

Setelah melepaskan ciuman, Lily kemudian jongkok dan mulai menjilati kemaluanku. Setelah agak lama mengulum, aku berkata, “Aduhh Ci…. Enak sekaliii… Aku jadi lemas nih… kita di tempat tidur aja yuk… supaya Cici juga ngga capek jongkok terus…”

Kami pindah ke tempat tidurnya, berpelukan lagi sambil berciuman, sambil aku meremas-remas buah dadanya. Kemudian aku ciumi puting buah dadanya sambil meraba-raba kemaluannya dan dia mendesah perlahan… Dari buah dadanya aku terus turun menciumi perutnya dan ketika sampai ke bulu kemaluannya, aku berhenti dan menikmati lebatnya bulu kemaluannya sambil menarik-narik perlahan…

Aku berkata, “Bukan main…! Bagus bener bagus bulu Cici… Sampai banyak begini… dan artistik sekali…”

Tidak perlu menunggu lama, aku menyingkapkan bulu-bulu kemaluannya yang lebat dan mengecup-ngecup bibir kemaluannya, lalu klitorisnya, kemudian baru aku mulai menjilatinya… Ketika aku menjilati klitorisnya, Ci Lily mendesah perlahan…

Setelah agak lama aku mengoralnya, Ci Lily berkata, “Gantian… Aku mau ngemut..”

Lalu dia pindah posisi untuk ngemut sambil diselingi mengocok-ngocok batang kemaluanku. Emutannya sungguh enak… Selama diemut, aku terus mengusap-usap kepala dan rambutnya.

Diemutin dan dikocok terus menerus ditambah rasa tegang karena sadar sedang berhubungan dengan kakak ipar, membuat aku sangat terangsang… dan rasanya mau keluar. Maka aku segera menelentangkan tubuhnya, menindihnya, dan mulai melakukan penetrasi.

“Pelan-pelan… aku sudah lama tidak ML” kata Ci Lily.

Berbeda dengan istriku, Ani, yang selama persetubuhan mendesah dengan keras, Ci Lily mendesah dengan suara yang lembut dan perlahan… tapi sambil mengucapkan kata-kata yang vulgar!

Aku sungguh terkejut dan sangat terangsang mendengarnya! Bayangkan, Ci Lily yang selama ini bicara dengan kata yang “baik-baik”, tiba-tiba mengeluarkan kata-kata yang sungguh vulgar!

Aku yang sebelumnya sudah sangat terangsang karena diemut dan dikocokin, ditambah lagi dengan rangsangan mendengar kata-katanya yang vulgar, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, aku mencapai orgasme sambil berteriak “Ci Lily…!!!”

Setelah aku orgasme, sambil berpelukan, Ci Lily bercerita: Dia jatuh hati padaku saat aku membawanya ke dokter saat dia sakit. Dalam waktu-waktu berikutnya dia merasa dimanja dan merasa aku lebih memperhatikan dia daripada anak-anaknya.

Lewat tengah malam, kami mulai saling berciuman dan saling merangsang lagi. Namun ketika aku akan melakukan penetrasi lagi, dia berkata, “Tadi saat kita bersetubuh, aku merasa nyeri dan perih, tapi aku tahan. Mungkin pelumasku sudah berkurang. Boleh ngga aku emutin kamu saja sampai kamu keluar? Tidak masalah mau berapa lama pun, asal selama aku ngemut, kamu usap-usapin kepalaku dan mainin rambutku…”

Ini adalah awal dari sifat Ci Lily yang sangat menyenangkan hatiku. Di kemudian hari ia sangat terbuka untuk berkata apa yang dia rasa enak dan tidak suka dalam soal seks.

Setelah diemutin lagi sambil diselingi dengan dikocokin, aku keluar lagi… kali ini di dalam mulutnya. Dia tidak jijik sama sekali dengan spermaku. Setelah semua ditelan dan kemaluanku mengecil, baru dia melepaskan kemudian tersenyum dan memeluk aku. Meski baru menelan sperma, Ci Lily tidak buru-buru minum atau kumur-kumur, dia bersikap tenang saja sambil terus memeluki aku. Setelah kami puas berpelukan, Ci Lily minta aku pindah ke kamarku agar si Ibu tidak curiga.

Tetapi itu hanya saat-saat awal saja. Beberapa bulan kemudian, ketika aku akan bangun untuk pindah kamar, Ci Lily memeluk aku, “Ngga usah pindah, kamu di sini saja temani Cici.”

“Nanti ketahuan si Ibu.”

“Biarin aja…”

Sejak itu, setiap kali aku datang, aku menggunakan kamarnya, dan tidak tidur di kamar tamu lagi.

Kami sadar bahwa kami sedang berselingkuh, tetapi kami juga sadar bahwa kebahagiaan yang kami dapatkan sangat tinggi, sehingga kami berani mengambil resiko.

Ci Lily berkata, meskipun aku dan suaminya adalah kakak beradik, tetapi tidak 100% sama. Sifat yang ada di suaminya tidak ada di aku, dan sifat yang ada di aku, tidak ada di suaminya. Termasuk dalam hal bermain cinta.

Berselingkuh dengan kakak ipar, berbeda dengan selingkuh biasa. Jika selingkuh biasa, pasangan akan khawatir jika jalan berdua lalu bertemu dengan kenalan mereka. Namun aku dan Ci Lily, tidak mempunyai kekhawatiran itu. Aku bisa makan berdua di restaurant, bisa jalan-jalan di Mall, bahkan bisa check in di Hotel. Jika kami bertemu kenalan, maka kami akan memperkenalkan pasangan kami sebagai ipar. Tidak akan ada yang curiga, karena selain kami benar sebagai ipar, usia kami juga sudah lebih dari setengah abad.

Malah anak-anak Ci Lily yang mengetahui hubungan khusus kami pun, tidak mempermasalahkan.

Ini terbukti ketika biasanya aku mampir ke rumah Ci Lily sepulang dari tugas di Bandung, aku ubah jadi pada pagi hari aku menjemput Ci Lily dan menginap di Bandung.

Suatu hari dalam perjalanan ke Bandung, handphone Ci Lily berbunyi, ternyata dari anak bungsunya, Budi.

Pembicaraannya adalah,

Budi: “Mami pergi kemana? Di telepon ke rumah tapi ngga ada.”

Ci Lily: “Ke Bandung”

“Sama siapa?”

“Sama Oom Adrian”
“Nginap di Bandung atau pulang hari?”

“Nginap semalam, besok pulang.”

“Oke Mam, hati-hati ya.”

Di Bandung kami selalu berganti-ganti hotel karena ada tujuan lain, yakni membuat foto-foto telanjang Ci Lily. Jadi back groundnya tidak pernah sama.

Satu kali sesi foto membutuhkan waktu sekitar satu jam. Ci Lily aku foto mulai dari berpakaian lengkap sampai dia melepaskan satu per satu bajunya hingga bugil. Kemudian di berpose di kursi sofa, di tempat tidur, di kamar mandi, di dekat jendela, dan di semua sudut kamar. Posenya mulai dari yang biasa, hingga close up buah dadanya, pantatnya, bulu-bulu kemaluannya yang lebat dan lubang kemaluannya.

Tentu saja, termasuk foto-foto dia sedang meng-oral aku.

Sebenarnya foto-foto telanjang ini sudah dimulai sejak di rumahnya, tapi jika backgroundnya selalu sama terus, jadi kurang menarik untuk foto-foto berikutnya.

Di kamar hotel, suasananya lebih romantis dan lebih bebas dibandingkan dengan di rumahnya. Ci Lily masih percaya diri dengan keindahan tubuhnya, jika tidak, mana mungkin dia mau di foto bugil?

Saat dia melihat ulang foto-fotonya, dia cerita sendiri bahwa dia bangga dengan bulu kemaluannya yang lebat dan merasa indah ketika melihat foto dirinya sedang mengulum kemaluanku.

Setelah beberapa kali membuat sesi foto, dan posenya itu-itu melulu, aku kemudian mencari di internet foto-foto telanjang. Tujuannya, untuk mendapatkan inspirasi pose-pose bugil supaya ada variasi.

Nah, dari foto-foto di internet ini aku mendapatkan inspirasi untuk membuat foto spermaku di atas perutnya. Ci Lily mau melakukan itu demikian juga ketika aku minta dia di foto dengan spermaku di atas buah dadanya. Namun dia menolak ketika aku minta spermaku dikeluarkan di atas mukanya, meski aku sudah bujuk bahwa aku minta hanya sekali saja.

Setelah banyak membuat foto, untuk variasi aku lalu membuat video. Aku sampai membawa tripod ke hotel untuk melaksanakan hal ini. Kami membuat video mulai dari melepaskan pakaian, berciuman, mengulum kemaluan, hingga bermain cinta. Ternyata, melihat hasil rekaman video jauh lebih fantastis dan menggairahkan daripada melihat foto. Soalnya, semua percakapan, suara tertawa kami, dan suara desahannya ikut terekam... Seperti halnya membuat foto, aku sampai membeli dvd bokep untuk mendapatkan inspirasi sudut pengambilan agar video terlihat indah.

Semua berjalan biasa-biasa saja dan semua foto dan video, aku yang simpan. Hingga pada tahun 2010, ada peristiwa heboh di Indonesia yakni beredarnya di youtube video AP dengan LM dan CT. Beredarnya video itu sampai membawa AP ke Pengadilan.

Ci Lily takut bahwa video kami juga akan beredar, jadi dia minta semua file video kami di hapus. Meskipun aku sudah berusaha menenangkan dirinya bahwa foto dan video kami tidak mungkin bisa beredar karena semua filenya aku pasang password, tapi dia tetap cemas.

Suatu hari ketika aku sedang bekerja di kantor, aku mendapat telepon dari Ci Lily yang berkata dengan suara agak panik. “Cici baru lihat televisi, AP bisa dipenjara karena membuat dan menyimpan video seks. Jadi, cepetan dah semua foto dan video kita dihapus. Kalau kamu sampai masuk penjara ngga lucu tahu!”

Aku berkata, “Hingga kita masuk ke lubang kubur pun, tidak akan ada seorang pun yang bisa melihat.”
Tapi dia tetap memerintahkan di delete. Supaya tidak berlarut-larut, aku berkata, “iya… iya…”

Meski aku yakin foto dan video kami tidak akan sampai bocor ke luar, aku merasa bersalah jika aku tidak men-deletenya karena sudah berjanji.

Jadi, di rumah aku mulai melihat lagi satu per satu video kami dan mulai menghapusnya. Namun ada beberapa video yang aku tunda dihapus. Aku merasa sayang sayang dihapus sebab isinya menyenangkan, hot, dan sudut pengambilan serta cahayanya bagus.

Seiring dengan perjalanan waktu, berita video AP semakin lama semakin menghilang. Kami pun mulai membuat video lagi, dan Ci Lily tidak melakukan protes.

Mengingat usia kami yang sudah lima puluhan, dan sudah lama berhubungan, maka dalam bercinta kami tidak menggebu-gebu lagi seperti orang muda. Jika kami menginap semalam di Bandung, paling kami melakukannya hanya sekali saja menjelang tidur.

Secara alamiah kami jadi lebih menikmati ketelanjangan bersama. Sejak masuk ke kamar hotel sampai dengan keluar kamar, kami terus telanjang.

Jika sedang mandi bersama, Ci Lily selalu mengeramasi bulu kemaluanku dengan shampo, lalu sekali lagi dengan conditioner. Jadi aku pun melakukan hal yang sama pada bulu-bulu kemaluannya yang lebat dan panjang.

Sesekali, makan pun dalam keadaan telanjang jika kami memesan makanan melalui room service. Pokoknya, kami merasakan kebahagiaan dan keindahan hati dalam ketelanjangan bersama, bukan hanya sekedar hubungan badan saja… (Adrian, 57 tahun, Jakarta)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar