Sabtu, 19 Desember 2015

Kelainanku: Foto Keluarga

Aku tidak tahu, apakah kebiasaanku membuat foto-foto telanjang istri dan putri-putriku hanya terjadi pada keluargaku saja, atau terjadi pada keluarga lainnya juga?

Sejak aku baru menikah dulu, aku sudah punya keinginan kuat membuat foto telanjang istriku (Ani). Tapi karena untuk melihat foto harus melalui cuci cetak di toko foto, maka keinginan ini tidak dapat diwujudkan. Untuk memenuhi keinginan ini, aku hanya bisa membuat foto muka sebagian dadanya saja dengan bahu terbuka, atau membuat foto punggungnya saja. Foto pantatnya saja pun tidak berani. Saking inginnya punya foto telanjang Ani, aku pernah sampai merencanakan pergi ke Eropa untuk membuat foto telanjang dan dicetak di sana.

Setelah era digital foto, sejak tahun 2004 aku mulai membuat foto-foto telanjang istriku, baik dengan camera biasa atau dengan camera phone Nokia. Awalnya hanya di kamar mandi atau di kamar tidur saja. Tapi karena bosan, akhirnya pindah-pindah tempat, mulai dari di tangga, di dapur, di ruang keluarga, hingga di taman belakang rumah.

Pepatah mengatakan, “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Istriku, Ani, punya kebiasaan telanjang di dalam rumah (baca: “Buka Baju di Depan Orangtua”).

Kebiasaan istriku ini menular kepada dua putriku. Mereka yang sejak kecil sering melihat ibunya telanjang, otomatis mengikuti kebiasaan ibunya.

Dulu, sepulang sekolah, anak-anakku langsung buka baju di ruang keluarga, bukan di dalam kamar tidurnya. Setelah lulus kuliah dan bekerja, sepulang kerja mereka juga begitu masuk rumah langsung buka pakaian.

Demikian juga jika mandi, pintu kamar mandi selalu dibuka dan ke luar dari kamar mandi telanjang bulat, tidak ditutupi handuk. Persis Mamanya.

Setelah era digital foto, aku bukan saja suka membuat foto istri telanjang, tapi juga putri-putriku.
Dalam setahun minimal 5 kali aku dan keluarga melakukan foto telanjang. Lima peristiwa itu adalah, ulang tahun istri, anak pertama, anak kedua, aku sendiri, dan ulang tahun perkawinan aku dan Ani.
Tujuan memotret setiap tahun adalah, supaya bisa terlihat perkembangan tubuh kami dari tahun ke tahun.

Peristiwa lain biasanya saat tahun baru 1 Januari, atau saat menginap di hotel jika lagi liburan ke luar kota. Semua foto disimpan hanya di satu tempat, yakni di hardisk aku. Jadi istri dan anak-anakku tidak menyimpan foto-foto rahasia keluarga. Bisa bahaya jika disimpan di banyak tempat, apalagi banyak beredar foto-foto telanjang yang bocor di internet.

Sekarang zaman smartphone yang bisa foto selfie. Istri dan anak-anakku pun kadang memotret selfie dalam pose telanjang. Namun setelah itu, mereka selalu memberikan fotonya ke aku untuk disimpan.

Sebelumnya, aku tidak mau putri-putriku melihat kemaluanku ereksi. Sulitnya adalah, jika aku sedang memotret mereka bertiga, kemaluanku otomatis ereksi. Bukan karena melihat tubuh putriku, tapi karena melihat Ani telanjang. Ini terbukti ketika putri pertamaku ulang tahun, istriku sedang tour ke luar kota, dan aku motretin dia tanpa ereksi.

Berusaha untuk terus menghindar tidak terlihat sedang ereksi, sungguh sulit. Akhirnya aku biarkan saja dan ternyata putri-putriku tidak bereaksi berlebihan, hanya tertawa saja. Setelah sekali melihat, kejadian-kejadian berikut melihat aku ereksi jadi biasa saja.

Awalnya, tidak ada foto kami berempat. Biasanya aku yang pegang camera. Aku sendiri jarang di foto telanjang, karena menurut aku, laki-laki ngga ada bagusnya di foto telanjang. Jadi hanya sesekali saja istriku motretin aku dengan kedua putriku saat aku ulang tahun, atau putriku yang motretin aku dan Ani saat ulang tahun perkawinan kami.
Karena ingin punya foto telanjang sekaligus berempat, akhirnya aku membeli tripod untuk foto bersama.

Kebiasaan membuat foto telanjang ini, akhirnya aku praktekkan juga dengan iparku (baca: “Kakak Iparku, Cici Lily”).

Sayangnya, semua foto-foto itu yang jumlahnya mungkin sudah ribuan, hanya bisa disimpan di hardisk, tidak dapat dicetak di album foto karena harus dicetak di toko foto. Padahal, jika dapat dicetak dengan layout, pasti bagus sekali. Ada tiga pasang buah dada, tiga pantat, tiga rambut kemaluan, dan lainnya yang bagus-bagus…

Meskipun aku mempunyai banyak kelainan, untungnya aku tidak bernafsu dengan anakku sendiri. Beberapa kali, ketika aku difoto bersama anakku, kadang mereka memeluk aku sambil menempelkan buah dadanya di lengan atau di punggung aku, tapi aku ngga ke setrum, padahal mereka sudah dewasa, bukan anak-anak lagi. Pernah juga aku mandi bareng dengan putriku. Aku dan dia tidak saling menyabuni, tapi masing-masing menyabuni dirinya sendiri.

Hal yang berbeda dengan saudara perempuanku yang punya anak laki-laki. Meski putranya sudah kuliah, tapi kadang masih suka mandi bersama. Menurut saudaraku, putranya senang berlama-lama menyabuni buah dadanya. Menurut dia, tidak masalah jika anak lakinya meremas-remas buah dada, memainkan puting, atau menciumi putingnya. Alasannya, dulu ketika masih bayi, anaknya sudah menghisap putingnya. Bahkan dia pun menyabuni kemaluan putranya. Tapi jika seorang ayah sampai meremas buah dada putrinya atau memegang kemaluan putrinya, itu baru tidak benar. Jadi, pendapatnya sama dengan pendapatku. (Adrian, 58 tahun).

Tidak ada komentar :

Posting Komentar