Aku dan Nikita tinggal di kota yang berbeda dan terakhir bertemu waktu aku kelas 3 SMA. Makanya tak heran jika aku terpana melihatnya ketika kami bertemu lagi ketika aku baru lulus sarjana di Malang dan mengikuti seleksi penerimaan karyawan baru di Jogja, tempat Nikita tinggal bersama kakaknya, sebut saja namanya Mbak Hesti. Mbak Hesti adalah istri dari kakakku, Mas Ferdi (nama samaran). Mas Ferdi kerja di Jakarta dan seminggu sekali pulang ke Jogja. Mereka punya 2 anak yang sudah remaja.
Nikita berasal dari Tangerang dan kuliah di Jogja yang waktu itu sudah semester 3.
Hari pertama bertemu Nikita sudah menunjukkan ia adalah cewek yang supel dan ramah. Di rumah Mbak Hesti aku menempati kamar kosong di lantai 2 bersebelahan dengan kamar Nikita, sementara Mbak Hesti dan anak-anaknya di lantai 1.
Untuk keperluan mengikuti seleksi Nikita lah yang mengantar dan menjemputku dengan mobilnya, karena Mbak Hesti bekerja. Ngobrol dengannya tak akan terasa membosankan, karena selain enak diajak bicara, wawasannya pun lumayan luas. Andai ia bukan iparku, aku pasti langsung jatuh cinta padanya.
Karena jadwal seleksi hanya terpaut 3 hari dari satu tes ke tes berikutnya, Mbak Hesti memintaku untuk tinggal saja di rumahnya sampai semua tes selesai atau aku gagal di salah satu tes. Aku tentu saja tak keberatan. Itung-itung refreshing. Untungnya aku bernasib baik. Setiap tes yang kuikuti selalu lulus. Praktis aku tinggal di rumah Mbak Hesti selama hampir 2 minggu. Dalam kurun waktu 2 minggu itulah aku mengalami “sesuatu” yang tak akan pernah kulupakan sepanjang hidupku. Sesuatu yang indah bersama Nikita.
Saat di rumah, terutama malam sesudah makan, Nikita suka memakai baju seenaknya. Biasanya kaos terusan sampai lutut. Kalau duduk saat ngobrol di teras lantai 2 tak jarang bajunya tersingkap hingga celana dalamnya terlihat. Ia juga tak pernah pakai BH, terlihat dari putingnya yang menonjol ke baju. Tampaknya ia tak merasa terganggu dengan tatapanku padanya. Belum lagi kalau habis mandi ia keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalut handuk.
Malam keenam, saat aku sedang di kamar ber-SMS-an dengan pacarku, sebut saja namanya Gadis, Nikita nyelonong masuk dan langsung menghempaskan tubuhnya di ranjang. Tangannya tak pernah lepas dari HP. Kuakhiri SMS-an dengan Gadis. Begitu aku menoleh ke arah Nikita, tiba-tiba saja ia memotretku dengan kamera HP-nya lalu menunjukkannya padaku. Sementara Nikita ngoceh kubuka satu persatu foto yang tersimpan di HP-nya. Aku terpana saat melihat foto-foto selfie Nikita yang “menantang”. Foto setengah badan dengan hanya mengenakan BH yang menonjolkan buah dadanya yang montok. Beberapa foto dengan BH yang berbeda warna, seperti model sedang memperagakan pakaian dalam. Jantungku berdebar tak menentu ketika ada beberapa foto lain yang menampilkan bagian bawah tubuh perempuan (yang pastinya tubuh Nikita) dengan berbagai macam model celana dalam sexy.
“Nik, boleh nggak aku minta fotomu?”, terlontar begitu saja ucapan dari mulutku. Nikita beringsut mendekati yang duduk di pinggir tempat tidur.
“Yang mana, bang?”, tanya Nikita. Kutunjukkan foto setengah badan miliknya yang sedang mengenakan BH biru.
“Idiiih, Abang genit deh”, Nikita mencubit pinggangku dan merebut HP-nya dariku. Ia utak-atik HP-nya lalu menunjukkannya padaku.
“ini aja deh, Bang”, kata Nikita sambil bergelayut manja di bahuku. Ia tunjukkan fotonya yang “agak sedikit sopan”.
“Aku sih maunya semua, termasuk foto CD itu-tuh”, cetusku menggoda. Sekali lagi Nikita mencubitku.
“Itu CD kamu, bukan?”, godaku lagi.
“Ya iya lah, Bang. Ngapain Niki simpan foto CD orang!”.
“Makanya aku minta. Sini kutransfer ke HP-ku”, kuulurkan tanganku padanya. Sebenarnya aku bermaksud iseng saja untuk menggodanya. Aku tak berani menyimpan foto perempuan lain. Kalau ketahuan pacarku gimana, hayo? Tak dinyana, Nikita memberikan HP-nya padaku.
“Tapi jangan disebarin lho, Bang. Ntar Papi Mami ngamuk deh”, pesannya.
Kepalang basah, kuterima HP-nya lalu kuambil kabel data untuk mentrasfer foto-foto Nikita yang “menggairahkan” itu, sekedar untuk tidak membuat Nikita kecewa. Kupikir, saat pulang nanti foto-foto itu pasti kuhapus.
Saat proses transfer berlangsung, keisenganku berkembang.
“Memangnya kamu koleksi CD sexy ya, Nik?”.
“Suka aja, Bang. Emang kenapa? Nggak boleh?”.
“Boleh aja sih. Tapi kayaknya harganya mahal-mahal ya?”. Nikita hanya tersenyum.
“Kamu sekarang pakai yang mana?”, tanyaku saat proses transfer sudah selesai dan kubuka-buka file foto di HP-ku.
“Belum Niki foto. Ini Niki beli kemaren”, jawabnya sambil memainkan HP-nya lagi.
“Sini kufoto, Nik”, keisenganku makin menjadi. Aku sih nothing to lose saja. Andai Nikita tidak mau, dan itu yang kuduga, juga tidak apa-apa. Dugaanku salah besar. Nikita beringsut ke sandaran ranjang lalu membuka bagian bawah baju kaosnya.
“Nih, Bang”, katanya. Matanya melirik ke pintu yang tertutup, seolah khawatir kalau-kalau ada orang masuk. Spontan jantungku berdegup kencang melihat “kecuekannya”. Mau tak mau, kelelakianku bangkit disuguhi “pemandangan indah” celana dalam Nikita yang berwarna hitam berenda-renda hingga terlihat bulu-bulu halusnya. Dengan tangan gemetar kuarahkan HP-ku ke “milik” Nikita.
Debaran jantungku makin tak karuan ketika kuminta Nikita melebarkan kedua kakinya dan ia menurut. Kujepret beberapa kali “milik” Nikita yang terpampang dekat denganku. Batinku bergolak. Ucapan yang terlontar dari mulutku pun jadi tak terkendali.
“Kalau yang nggak pakai apa-apa ada nggak, Nik?”, kurasakan suaraku agak parau saat mengucapkan itu. Nikita tersenyum menggoda. Ia gigit-gigit kuku jarinya sambil menatapku.
“Ada sih, Bang. Tapi di komputer”, jawabnya.
“Yuk kita lihat”, ajakku spontan.
“Males, Bang. Besok aja”, Nikita menjawab sambil terus memainkan HP-nya. Dibiarkannya bajunya tersibak.
“Aku foto langsung aja ya”, aku menantangnya. Jika ia mau, entah apa jadinya setelah itu. Nikita kembali menatapku dengan tatapan yang tak kumengerti artinya. Tanpa bicara ia kemudian beringsut dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu. Sekejap timbul penyesalan dalam diriku. Kukira Nikita marah karena menganggapku kelewatan. Aku hanya terdiam sambil membodoh-bodohkan diriku sendiri dalam hati.
Sekali lagi aku salah. Nikita bukannya ngambek lalu kembali ke kamarnya. Ia mengunci pintu kamar dan begitu ia berbalik menghadapi, ia tanggalkan kaosnya. Deg, jantungku serasa berhenti berdetak. Tubuhku bergetar panas dingin. Mataku tak berkedip saat”bukit kembarnya” yang ranum terpampang tepat di depanku. Nikita menatap ke cermin di samping tempat tidurku, seolah menganggap aku tak ada di situ. Kurasakan “senjataku” makin mengeras dan kucoba kusembunyikan dengan sedikit duduk di pinggir ranjangnya. Tapi aku masih sadar untuk membidikkan HP-ku dan menjepret beberapa kali.
Alih-alih mengenakan kembali bajunya, Nikita malah melolosi celana dalamnya. Darahku berdesir menatap tubuh telanjang Nikita yang begitu sexy. Perhatianku tertuju pada bukit kembarnya dan rambut tipis di kemaluannya. Aku merasa sedang bermimpi. Dengan Gadis pun aku belum pernah melihatnya telanjang bulat. Nikita kembali menatap cermin, seolah sedang berpose. Jariku gemetar memegang HP, membidik kemudian menjepretnya.
“Udah belum, Bang?”, Nikita memandangku sambil bergaya.
“Motretnya sudah, tapi aku belum puas liatin kamu”, cetusku asal saja.
Nikita menahan tawa, lalu tanpa terduga ia tubrukkan tubuhnya padaku. Aku langsung terjerembab di ranjang, disusul dengan Nikita di atasku. Sesat kami saling berpandangan dengan wajah yang begitu dekat, hingga tercium olehku nafas Nikita yang segar. Tahu-tahu aku dan Nikita saling memagutkan bibir. Aku terkaget-kaget merasakan ciuman Nikita yang begitu bergelora. Sesekali lidahnya menari-nari menggeluti lidahku. Rangsangan yang sudah meronta sejak di kamarku membuatku lupa diri, lupa kalau aku sudah punya pacar. Aku dan Nikita berguling-guling di ranjang tanpa sehelai benangpun menutupi tubuh kami. Kurasakan jiwaku melayang ke awang-awang ketika Nikita mulai memainkan mulutnya di “senjataku” yang tegak berdiri. Aku terpana melihat betapa ia sangat lihai melakukan itu. Disusul kemudian dengan goyangan pantatnya saat ia berada di atasku dengan “milikku” terhunjam di dalam “miliknya”.
Malam itu kami sama-sama terkapar di pantai kenikmatan. Aku masih tak percaya kalau itu benar-benar terjadi. Bahkan ketika kami melakukan lagi, bagiku masih saja seperti dalam mimpi. Aku tertidur dalam buaian kenikmatan yang melelahkan. Aku baru terbangun ketika Nikita membangunkanku. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 4 pagi. Kubenahi baju dan celanaku, lalu dengan hati-hati aku kembali ke kamarku. Kubaringkan tubuhku di ranjang dan sesaat kemudian aku tertidur lagi. Hari tu tidak ada tes. Jadi kupuas-puaskan tidurku.
Siangnya Nikita mengajakku jalan-jalan keliling Jogja, seperti hari-hari sebelumnya. Hanya saja, Nikita terlihat lebih mesra padaku. Ia tak segan-segan menggandeng tanganku saat kami mengunjungi candi Kalasan. Begitu juga waktu kami makan siang di rumah makan Suharti. Aku dan Nikita duduk berdampingan, seperti orang pacaran.
Malam harinya, aku gelisah tak bisa tidur. Di satu sisi aku berharap Nikita datang lagi ke kamarku, di sisi lain aku tak ingin lebih jauh terlibat urusan ranjang dengannya. Aku takut akan mengganggu hubungan dengan Gadis. Saat melamun, ada SMS masuk ke HP-ku. Dari Nikita. Spontan jantungku berdebar. Tanganku gemetar membuka SMS-nya.
“Bang, kalo belum tidur ke kamar Niki dong”, begitu bunyi SMS Nikita. Aku menghela nafas dalam-dalam. Batinku bergolak. Seandainya kuturuti ajakannya, sudah terbayang apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku bisa saja pura-pura sudah tidur dengan tidak menjawab SMS-nya ataupun langsung mendatangi kamarnya. Sesaat aku terombang-ambing dalam kebimbangan.
Akhirnya, dengan langkah gemetar kulangkahkan kaki menuju kamar Nikita. Debaran jantungku makin tak karuan saat melihatnya tergolek di tempat tidur dengan hanya mengenakan BH dan celana dalam sexy. Cahaya lampu kamarnya redup. Kututup dan kukunci pintu kamar Nikita dengan hati-hati. Sejenak kami saling berpandangan. Tatapan Nikita begitu mesra diselingi senyuman tipis.
Kurebahkan tubuhku di atas tubuh Nikita. Ia langsung menyambutku dengan ciuman panas bibirnya. Sambil memagutku, Nikita melucuti baju dan celanaku. Aku pun tak tinggal diam. Kutanggalkan BH Nikita dan kusisakan celana dalamnya. Nikita sendiri yang melepasnya ketika ia sudah tak tahan untuk tidak menjebloskan “milikku”. Sebelum itu ia lumat habis “senjataku” dengan hisapan dan kuluman mautnya. Tak sejengkalpun bagian dari “senjataku” yang lolos dari kulumannya. Sesekali lidahnya menari-nari di buah zakarku, diselingi dengan gigitan lembut.
Sekali lagi aku dan Nikita ambruk keletihan setelah sama-sama mencapai puncak kenikmatan. Kulirik jam dinding. Pukul setengah dua belas malam. Berarti sudah hampir setengah jam aku dan Nikita bergumul di ranjangnya. Seperti malam sebelumnya, berbagai gaya kami praktekkan malam itu, dan semuanya atas inisiatif Nikita. Aku hanya mengikuti saja apa maunya. Hal ini semakin menumbuhkan dugaanku, bahwa di usianya yang masih tergolong belia, Nikita sudah berpengalaman luas soal urusan ranjang. Bisa jadi ia sudah terbiasa melakukannya dengan pacarnya. Hanya saja aku masih belum bisa memastikan mana pacar Nikita. Seminggu aku bersamanya memang datang laki-laki silih berganti mengapelinya dan mengajaknya jalan.
Nikita benar-benar membuatku penasaran. Apalagi malam-malam berikutnya, aku dan Nikita melanjutkan aktifitas ranjang seolah menjadi agenda rutin kami. Kadang di kamarku, kadang di kamar Nikita. Hal yang kutakutkan pun terjadi. Aku jatuh cinta pada Nikita. Bayang-bayang Gadis yang semula selalu menghiasi benakku tergeser menjadi bayang-bayang Nikita. Senyumnya, desahnya, lekuk liku tubuhnya, tak sekalipun bisa kutepis dari pikiranku.
Tak heran aku jadi merasa berat untuk meninggalkannya saat rangkaian tes selesai kuikuti. Rasanya tak seberat itu waktu aku pamit pada Gadis. Malam sebelum kepulanganku, kuhabiskan waktu bersama Nikita dalam panasnya gairah birahi yang meletup-letup. Tak pernah sedikitpun terucap kata cinta di antara aku dan Nikita, tapi hubungan kami sudah sampai sejauh itu. Jadi aku tak pernah tahu apakah Nikita melakukan itu atas dasar cinta atau nafsu belaka. Tapi jika melihat ada sekelebat mendung di wajahnya saat aku hendak naik kereta api sore itu, seolah ia berat melepasku, seperti halnya aku berat meninggalkannya.
Dua belas hari di Jogja menyisakan satu kenangan indah bersama Nikita, adik iparku sendiri. Wajahnya masih saja bergelayut di pikiranku meski kami sudah berjauhan. Memang kadang kami saling menelepon atau berkirim SMS, tapi itu justru makin membuatku terbenam dalam kerinduan padanya. Satu-satunya pengobat kangenku adalah foto-fotonya, yang sudah kuhapus dari HP-ku sesuai rencana, tapi ku-copy lebih dahulu ke komputerku.
Aku sering merasa kesepian, meski ada Gadis di sampingku. Hal itu berlangsung sampai kemudian aku mendapat panggilan ke Jogja untuk orientasi. Berarti aku diterima bekerja. Aku seperti mendapat durian runtuh. Dapat kerja dan bisa bertemu lagi dengan Nikita. Kutelepon Nikita untuk memberitahu kabar gembira. Dari nada suaranya, ia pun sangat antusias menunggu kedatanganku.
Begitulah, aku kembali ke Jogja. Kembali mereguk kenikmatan bersama Nikita. Kami seperti sepasang suami istri yang lama berpisah dan menumpahkan kerinduan dalam panasnya gelora birahi yang menggebu-gebu.
Selama seminggu masa orientasi, untuk sementara aku tinggal di rumah Mbak Hesti, di kamar yang dulu juga. Di kamar di mana aku dan Nikita menjalin kebersamaan dalam ketidakjelasan status. Pacar tapi tak pernah terang-terangan mesra di depan orang lain dan mengatakan cinta, saudara tapi sudah berkali-kali berhubungan badan.
Aku kembali terkulai lemas ketika saat penempatan perusahaan menempatkanku di Bali. Kuberi tahu Nikita dan ia terlihat sedih. Seperti sebelumnya, ia tumpahkan kesedihannya dalam sebuah pergumulan panas dan melelahkan.
Meski kemudian aku tinggal di Denpasar, hubunganku dengan Nikita tetap intens melalui telepon atau SMS, bahkan lebih intens dibandingkan dengan Gadis. Sesekali kami melakukan phone sex yang hanya puas mendengar desah suara kenikmatan melalui HP. Tapi semua itu hanya berlangsung pada bulan-bulan awal saja. Bulan ke enam kontak kami sama sekali terputus. Aku pun enggan mengontaknya, di samping karena kesibukan kerja, juga karena aku makin sadar bahwa kami salah.
Belum genap setahun sejak aku dan Nikita berpisah, aku dikagetkan dengan adanya kabar kalau Nikita akan menikah. Setahuku, ia seharusnya belum lulus kuliah. Informasi berikutnya yang kuterima menjelang hari pernikahan Nikita adalah bahwa ia telah hamil.
Aku banyak termenung memikirkan Nikita. Jika mengingat semua yang telah kulakukan bersamanya, bukan tak mungkin ia pun melakukan juga dengan laki-laki lain, baik sebelum maupun sesudah denganku. Artinya, bukanlah hal yang aneh jika kemudian ia “kebobolan”. Aku kemudian berandai-andai. Apa jadinya andai waktu melakukan denganku membuat Nikita hamil? Memang tak ada larangan untuk menikah dengan ipar sendiri, tapi mau dikemanakan mukaku jika itu terjadi? Alangkah malunya aku pada keluarga besarku, pada Gadis dan keluarganya yang sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri.
Aku baru bertemu dengan Nikita lagi saat anaknya sudah lahir. Waktu itu aku ada kunjungan ke Jogja dan kusempatkan mampir di rumahnya. Nikita terlihat lebih chubby dan gemuk. Setelah menikah ia memang tetap meneruskan kuliahnya. Begitu pun dengan suaminya yang tak lain adalah teman sekampusnya.
Saat menemuinya, ia sedang di rumah bersama bayinya dan seorang pembantu. Nikita tampak ceria seperti dulu. Bahkan kadang ia bersikap mesra padaku, baik melalui tatapannya maupun gerak-gerik tubuhnya. Tak kusangka, hampir 2 tahun tak bertemu, tahu-tahu ia sudah jadi seorang ibu. Padahal rasanya baru kemarin kami saling bercumbu, mendesah dan menggelinjang dalam nikmatnya hubungan intim.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar