Seandainya waktu itu aku tak menuruti perintah Mama, kejadian tak terlupakan ini pasti tak akan pernah kualami. Waktu itu aku sedang masa percobaan sebagai calon karyawan. Aku ditugaskan di salah satu kantor cabang perusahaan di kota B selama 1 bulan. Aku sudah berencana untuk tinggal di tempat kos, tapi Mama memaksaku untuk tinggal di rumah Om Jaka (nama samaran) kerabat jauh Mama. Sebetulnya aku kurang begitu suka nebeng di rumah orang, walaupun itu kerabat sendiri, karena merasa kurang leluasa. Tapi Mama sudah keburu menelepon Tante Priska (bukan nama sebenarnya), istri Om Jaka.
Singkat cerita aku pergi ke kota B dan tinggal di rumah Om Jaka dan Tante Priska. Mereka punya seorang anak yang lebih tua sedikit dariku, sebut saja namanya Indra. Sepertinya Indra sudah cukup mapan hidupnya, karena ia sudah tinggal di rumah sendiri. Kadang-kadang saja datang ke rumah Om Jaka untuk menengok orang tuanya.
Om Jaka dan Tante Priska belum tua-tua amat. Kutaksir usianya belum sampai 50 tahun. Rumah yang mereka besar dan memanjang ke belakang. Kamar utama dan kamar bekas milik Indra ada di bagian depan, dekat ruang tamu dan ruang keluarga. Aku menempati salah satu dari 4 kamar kosong yang berderet ke belakang, di mana di depannya ada taman dan kolam ikan dan di seberangnya adalah dapur, kamar pembantu dan tempat jemuran. Di ujung taman yang berpagar tembok tinggi terlihat sebuah gazebo. Oleh Tante Priska aku diberi kamar dekat kamar mandi tak jauh dari ruang keluarga. Tepat di sebelah kamarku digunakan untuk gym, karena di dalamnya kulihat peralatan fitness.
Waktu aku kecil dulu sudah sering bertemu Om Jaka dan Tante Priska, karena mereka tinggal sekota dengan kami. Tapi setelah itu mereka pindah ke kota B dan kami tak pernah bertemu lagi. Om Jaka gemuk dan agak botak, beda dengan yang terekam di memoriku sejak kecil yang langsing dan gagah. Tante Priska sendiri nyaris tak berubah. Hanya sedikit lebih gemuk. Maklum sudah ibu-ibu.
Seminggu pertama tinggal di situ aku mulai merasa nyaman. Apalagi kamarku, seperti kamar-kamar lainnya ber-AC. Selain itu, tak banyak penghuninya. Hanya Om Jaka, Tante Priska dan seorang pembantu. Hanya saja Om Jaka jarang kutemui. Pagi-pagi sekali ia sudah berangkat kerja dan pulangnya malam sekitar jam 9-10’an.
Satu hal yang membuatku sering merasa jengah adalah kebiasaan Tante Priska. Kalau di rumah ia suka pakai baju yang terbuka bagian lehernya, sehingga terlihat sebagian gunung kembarnya yang saling merapat. Mungkin ia merasa biasa saja, tapi bagiku luar biasa. Hampir tiap hari, sepulang dari magang jam 4 sore, jantung ini deg-degan melihatnya sedang tidur siang dengan pintu dibiarkan terbuka lebar. Posisi tidurnya itu yang membuat darah muda berdesir. Bagaimana aku tidak melihat, orang jalan menuju kamarku selalu melewati kamarnya.
Selain itu, waktu itu hari Sabtu pagi dan aku libur magang, Tante Priska fitness di sebelah kamarku. Ia memang setiap hari fitness, hanya saja aku tak pernah melihatnya karena aku tak di rumah. Pakaian fitnessnya itu yang membuatku tak berani berlama-lama menatapnya. Modelnya sexy dan pastinya dengan bagian dada terbuka. Ia mengajakku untuk berolahraga juga dan sebagai basa-basi aku menurutinya, walaupun sebenarnya tak tertarik.
Memasuki minggu kedua, aku agak heran melihat Tante Priska masih berbaring di tempat tidurnya sambil berselimut. Biasanya ia selalu menungguku setiap aku hendak berangkat magang. Kata pembantunya, Tante Priska sakit. Aku pun spontan melongok ke kamar Tante Priska. Kebetulan saat itu ia beringsut yang semula tidur menghadap dinding berbalik menghadap pintu.
“Tante sakit ya?”, tanyaku di depan pintu.
“Kayaknya flu berat nih”, kata Tante diselingi senyuman.
Tante Priska melanjutkan, “Kamu sarapan sendiri ya. Tante sudah duluan, soalnya mau minum obat”. Aku mengangguk dan selesai sarapan aku berpamitan padanya untuk kerja magang.
Sorenya, aku sempatkan mampir di kamar Tante Priska untuk menanyakan keadaannya. Waktu itu ia sedang nonton TV sambil berbaring dengan kepala disandarkan di sandaran ranjang.
“Udah agak mendingan nih. Demamnya udah turun”, jawab Tante Priska.
Saat aku akan beranjak naik, Tante Priska memanggilku dan aku berbalik lagi melongok ke kamarnya.
“Kamu bisa ngerokin nggak?”, tanya Tante Priska.
“Aduh, belum pernah ngerokin, Tante. Kalo dikerokin sih sering”, jawabku mengumbar senyum, sambil mencoba menawar, “Saya panggilin Bi Ijah saja ya, Tante?”. Bi Ijah (bukan nama sebenarnya) adalah pembantu Tante Priska.
“Dia tuh alergi sama balsem”, Tante Priska menimpali.
“Kamu pasti bisa laaah … Kerokin Tante ya? Kamu nggak alergi’kan?”, pinta Tante Priska yang membuatku gelagapan panas dingin.
“Ayo, sini … Tutupin sekalian pintunya”, Tante Priska melambaikan tangannya. Dengan langkah sedikit ragu kututup pintu, lalu mendekati ranjang.
“Taruh dulu dong ranselnya”, lagi-lagi Tante Priska memerintahku. Kuturunkan ransel dan kutaruh di kursi rias, lalu kulepas jaketku. Dinginnya udara AC seperti tak terasa akibat gerah yang tiba-tiba kurasakan. Gerah karena deg-degan.
Tanpa ba-bi-bu, Tante Priska berlutut di ranjang dengan posisi membelakangiku, lalu sekonyong-konyong membuka bajunya. Deg! Jantungku serasa berhenti berdetak melihatnya hanya mengenakan celana dalam berwarna hitam yang kontras dengan kulitnya yang putih mulus. Meskipun di tubuhnya sudah ada lipatan-lipatan, tapi tetap saja terlihat menggairahkan. Kemudian Tante Priska menggunakan bajunya untuk menutupi dadanya sambil memerintahku untuk mengambil balsem dan keping kerokan di meja riasnya, lalu rebahan dengan posisi tengkurap.
Terus terang tanganku gemetar saat mengoleskan balsem di punggung Tante Priska, lalu mulai mengerokinya. Sebetulnya aku pernah sih ngerokin kakak laki-lakiku, tapi tadi sengaja aku berkilah untuk menghindari “tugas berat” ini, bukan berat di fisik, tapi di mental. Dan aku tidak bisa mencegah rangsangan yang tiba-tiba saja mengalir ke pembuluh darahku dengan kencang setiap kali tanganku bersentuhan dengan kulit mulus Tante Priska. Lebih-lebih jika pandanganku terarah ke pantatnya yang terlihat masih kencang dan membulat, dibalut celana dalam hitam dengan model semi sexy.
“Agak keras dikit dong ngeroknya. Tante nggak krasa nih”, cetus Tante Priska. Aku memang sengaja tak terlalu keras menekan kerokannya karena khawatir ia kesakitan.
Beberapa kali Tante Priska menggumam sendiri saat kerokanku sampai di sekitar pinggulnya. Mungkin ia berusaha menahan rasa geli. Aku pun mulai terbiasa dengan situasi yang semula terasa canggung itu. Apalagi selama ngerok Tante Priska mengajakku ngobrol yang diselingi dengan candaan ringan. Celakanya, hal itu membuat rangsangan dalam diriku makin menguat dan terakumulasi di organ vitalku, hingga terasa geli-geli enak.
Begitu kerokannya selesai, kuusap sekali lagi punggung Tante Priska dengan balsem, kuselingi dengan pijatan-pijatan kecil. Maksudku sebenarnya sih sekalian untuk membersihkan sisa-sisa balsem yang melekat di telapak tanganku. Rupanya hal itu membuat Tante Priska merasa keenakan. Samar-samar kudengar desis lirihnya.
“Kamu pinter mijat juga ya, Zal? Enak banget nih …”, kata Tante Priska disertai desisan lirih tapi panjang yang di telingaku terdengar begitu sensual.
“Ah, asal aja kok, Tante”.
Ingin rasanya aku menanyakan, “Dadanya dikerok sekalian, Tante?”, tapi tak berani mengucapkan. Kuberesi balsem dan kerokannya dan kutaruh lagi di meja rias, setelah itu kuambil jaket dan ranselku. Saat itulah Tante Priska bangun lalu duduk di ranjang dan mengenakan lagi baju dasternya dengan posisi membelakangiku.
“Makasih ya, Zal”, kata Tante Priska.
“Sama-sama, Tante”, aku menjawab sambil membuka pintu dan menutupnya kembali, lalu bergegas ke kamarku. Denyutan di area sensitifku memaksaku untuk langsung mandi dan menyalurkan birahiku dengan melakukan onani. Kalau tidak disalurkan kepalaku bisa pusing tujuh keliling.
Saat aku dan Tante Priska bersiap makan malam, Indra datang. Waktu kecil kami cukup akrab, itulah sebabnya kami tak canggung lagi berbincang sambil makan malam. Indra minta maaf baru bisa datang hari itu karena ada kesibukan pekerjaan. Setelah makan ia mengajakku keliling kota dan kemudian nongkrong di sebuah café. Tante Priska membekaliku kunci pagar dan pintu utama, agar jika aku pulang kemalaman bisa masuk sendiri tanpa membangunkan penghuni rumah.
Kuakui cewek kota B cantik-cantik, tapi entah kenapa pikiranku tak bisa lepas dari bayang-bayang Tante Priska yang setengah telanjang. Meskipun aku sudah onani, tapi rekaman kejadian sore itu, tubuh mulus Tante Priska, pantatnya yang tertutup celana dalam hitam dan desahnya, terus saja menari-nari di benakku.
Hampir tengah malam Indra mengantarku kembali ke rumah Tante Priska dan ia langsung pulang. Aku pun segera masuk setelah mengunci kembali pagar depan dan pintu utama. Sialnya, aku tak bisa langsung tidur, meskipun sejak tadi menguap terus. Itu gara-gara aku kebanyakan minum waktu di café, sehingga beberapa kali keluar masuk toilet.
Saat baru keluar dari toilet entah untuk yang ke berapa kalinya, sayup-sayup kudengar derit pintu dari ruang utama. Dengan berjingkat aku melongokkan kepala dari balik tembok. Kulihat Tante Priska berjalan ke ruang keluarga yang temaram, menyalakan TV, lalu duduk di sofa panjang. Aku penasaran kenapa Tante Priska tengah malam begitu masih sempat-sempatnya bangun dan nonton TV. Sekilas kulihat di tangannya ada suatu benda seperti logam mengkilat berbentuk tabung.
Beberapa saat kemudian Tante Priska merebahkan tubuhnya di sofa. Jantungku berdegup kencang saat melihat Tante Priska menyibak dasternya, lalu mulai memainkan tangan di bagian bawah tubuhnya yang tertutup celana dalam putih. Lama-lama tangannya menyusup ke celana dalamnya disertai goyangan tubuhnya. Ya, Tante Priska melakukan masturbasi. Aku menahan nafas menyaksikan adegan itu. Jarak antara aku dengan Tante Priska sekitar 5-6 meter,sehingga aku bisa mendengar desah nafasnya.
Sepertinya Tante Priska makin terangsang, terlihat dari gerakan tubuhnya yang begitu erotis. Disibaknya bajunya sampai kedada yang diikuti dengan remasan di kedua bukitnya, sementara tangan satunya bermain di bagian bawah. Sesaat kemudian Tante Priska mengambil benda berkilat yang tertindih tubuhnya, lalu menggesek-gesekannya di celana dalamnya. Ternyata benda itu adalah vibrator, alat bantu seks untuk perempuan.
Setelah sesaat menggesek-gesekkan vibrator, Tante Priska melepas celana dalamnya. Mula-mula ia gesek-gesekkan lagi, habis itu mulai mengarahkan ke liang kemaluannya. Saat itulah aku terkesiap mendengar desahnya.
“Oohh, enak sekali, Zal. Pelan-pelan sayang …”.
Kukira aku salah dengar, tapi begitu Tante Priska memasukkan dan mengocok-ngocok vibrator dalam miliknya, desahnya makin jelas.
“Ohh … enak, Zal. Enaaaak, ooohhh … Terus, Zal, terusssss …”
Aku tak tahu apakah “Zal” itu aku atau orang lain yang sedang dibayangkan Tante Priska, tapi yang jelas bukan nama suaminya. Detak jantungku makin tak beraturan menyaksikan kegiatan TantePriska yang makin hot. Kakinya mengangkang lebar dengan satu kaki nangkring di sandaran sofa, sementara satunya di lantai.
Beberapa menit berlalu tanpa terasa, peluhku mengalir sebesar butiran jagung menyaksikan Tante Priska meletakkan mainannya, lalu mengejang dengan kedua tangannya membekap kuat-kuat bagian bawah tubuhnya. Dadanya naik turun dengan cepat. Tampaknya ia sudah mendapat orgasme. Ingin rasanya aku berlari mendekat dan mencumbuinya, tapi aku tak berani. Mastubasi adalah kegiatan dengan privasi level dewa. Aku khawatir Tante Priska malu kupergoki dan marah padaku. Aku hanya bisa mengelus-elus “senjataku” yang tegak berdiri sambil terus mengintip.
Saat Tante Priska bangkit dari sofa kupikir sudah selesai. Ternyata tidak. Tante Priska naik ke sofa dengan posisi menungging, kemudian memasukkan lagi vibrator itu ke “miliknya”. Ia kembali mendesah dengan beberapa kali menyebut “Zal” saat pinggulnya bergerak maju-mundur. Kedua payudaranya yang menggantung jadi berguncang-guncang di setiap gerakannya. Entah berapa menit ia melakukan itu, yang akhirnya mengejang dan rebah tengkurap di sofa. Sesekali pantatnya masih bergoyang, mungkin masih merasakan sisa-sisa kenikmatan dari vibratornya.
Begitu kulihat ia berberes, aku bergegas kembali ke kamarku dan kutumpahkan cairanku yang sejak tadi hendak meletup di tisu. Aku jadi heran, kenapa Tante Priska melakukan masturbasi, sementara suaminya ada. Besar kemungkinan ia tak puas dengan pelayanan Om Jaka dan melanjutkannya dengan bermasturbasi. Kalau kupikir-pikir, sejak tinggal di situ, entah sudah berapa kali aku mendapat godaan yang menggelitik gairah mudaku.
Kuakui, aku sendiri bernafsu besar. Aku sudah sering melakukan hubungan intim dengan cewek-cewek yang pernah kupacari. Senggolan sedikit saja sudah membuat birahiku NKO (naik ke otak). Tapi terhadap Tante Priska aku harus berjuang ekstra keras menahan nafsu, karena takut dengan dampaknya di kemudian hari.
Tapi, sekuat-kuatnya perjuanganku akhirnya bobol juga. Saat itu hari Sabtu. Paginya, seperti biasa aku dan Tante Priska fitness bersama. Godaan pertama hari itu adalah busana fitness Tante Priska yang ketat dan begitu menggoda. Di tahap ini aku masih bisa menahan diri. Selesai fitness, godaan kedua menggedor imanku. Tante Priska keluar dari kamar mandi yang ada di ruang fitness dengan tubuh hanya dibalut handuk yang sepertinya kekecilan. Kembali gejolak nafsuku makin meronta-ronta dan ingin rasanya kutubruk Tante Priska, menelanjanginya, lalu mencumbuinya di ruang fitness. Ingin sekali aku merasakan bercinta dengan perempuan yang jauh lebih tua dariku. Tapi itu hanya di lubuk hatiku. Prakteknya, aku memalingkan muka pura-pura sibuk membereskan peralatan fitness sampai Tante Priska berlalu dan masuk ke kamarnya.
Usai sarapan aku pamit pada Tante Priska untuk jalan-jalan sebentar menikmati suasana kota sambil mengalihkan pikiranku dari hal-hal ngeres. Jam 2 siang aku kembali dengan membawa oleh-oleh kue untuk Tante Priska dan Om Jaka. Kudapati rumah dalam keadaan sepi. Biasanya kalau Sabtu Om Jaka pulang jam 1, tapi saat melewati kamar Tante Priska yang pintunya selalu terbuka kulihat hanya Tante Priska sendiri tidur. Imanku kembali goyah saat melihat Tante Priska yang tidur dengan busana tersibak hingga paha mulusnya terlihat jelas. Kuhela nafas dalam-dalam dan berlalu menuju ruang makan, kuletakkan oleh-olehku di meja, lalu aku makan siang sendirian.
Benakku yang terus saja dibayangi body montok Tante Priska membuatku kehilangan gairah makan. Kuambil sedikit nasi dan lauk lalu makan, sekedar untuk formalitas. Selesai makan aku masuk ke kamar. Batinku berkecamuk akibat dorongan nafsu dari dalam yang tak henti-hentinya berdenyut. Ingin rasanya aku beranjak ke kamar Tante Priska, tapi takut kalau tiba-tiba Om Jaka pulang.
Saat tengah melamun, aku dikejutkan dengan suara ketukan di pintu. Aliran darahku berdesir saat kulihat Tante Priska berdiri di depan pintu.
“Udah makan kamu, Zal”, tanya Tante Priska yang kujawab, “Sudah, Tante”.
“Pijitin Tante, dong”, kata Tante Priska yang tak selalu lepas dari senyum di bibirnya. Karuan saja tubuhku panas dingin. Aku bermaksud akan keluar kamar karena kupikir pijatnya di kamar Tante Priska, tapi ia lebih dulu melangkah masuk.
“Di sini aja”, katanya. Ia pun menutup pintu dan sekilas kudengar suara “ceklek” yang berarti pintu itu dikuncinya.
Aku terpaku di tempatku karena menyimpan kekhawatiran kalau-kalau Om Jaka pulang dan tercetus dalam pertanyaan, “Om Jaka sudah pulang Tante?”.
Tampaknya Tante Priska bisa menebak kekhawatiranku dan menjawab, “Om Jaka tadi udah pulang, terus dijemput Indra, diajak ke kebun”.
“Kebun? Kebun apa, Tante?”
“Kebun cabe di …”, Tante Priska menyebut nama sebuah kota kecil di lereng pegunungan sambil menghempaskan pantatnya di kasur, lalu berbaring.
“Katanya sih mau nginap di sana”, lanjut Tante Priska. Lega rasanya aku mendengar itu. Langkahku ringan menuju tepi ranjang dan duduk di situ.
“Tante kok nggak ikut?”, kulanjutkan basa-basi untuk menyembunyikan kencangnya debaran jantungku.
“Nggak ah. Tante bilang masih agak enak badan. Padahal males aja”, jawabnya diselingi tawa kecil sambil berbalik tengkurap.
Tanpa diminta aku langsung memijat punggung Tante Priska. Andai ia menoleh ke celanaku, ia pasti akan melihat meggelembung akibat desakan sesuatu yang membesar di dalamnya. Aku berusaha tetap tenang, karena rasa takutku untuk dianggap kurang ajar masih lebih besar daripada birahiku, meskipun desah Tante Priska begitu menggoda.
“Kaki dong, Zal”, pinta Tante Priska setelah 15 menit aku memijat punggungnya. Tanpa banyak tanya pijatanku beralih ke kakinya. Mula-mula di bagian betis, lalu naik ke paha. Aku sengaja memijat dengan dorongan ke arah selangkangan Tante Priska agar dasternya tersibak. Tante Priska sama sekali tak protes saat pijatanku hampir mencapai pantatnya yang otomatis sibakan dasternya makin tinggi. Justru ia mengangkat sedikit tubuhnya, sepertinya malah ingin dasternya dinaikkan. Hal ini membuatku berani memijat pantatnya yang begitu kenyal dan Tante Priska bereaksi dengan suara erangan.
Meskipun udara kamar dingin karena AC, tapi peluhku bercucuran. Mungkin karena dorongan nafsu yang tertahan. Dorongan nafsu jugalah yang mendesakku untuk mengucap, “Bajunya dibuka aja, Tante. Kayak kerokan kemarin itu”. Untung-untungan aku berkata begitu. Maksudku, andai ia tak mau aku tak rugi, kalau mau berarti rezeki, hehehe … Ternyata yang kudapat adalah rezeki, karena tiba-tiba Tante Priska bangkit dan langsung melepas dasternya, tepat di depan mataku! Aku yang tak menduga hal itu akan terjadi hanya terdiam dengan pandangan tertuju ke bukit kembarnya yang ranum dan menggantung dengan indahnya. Tanpa sadar aku menelan ludah.
“Idih, genit kamu!”, colekan ujung telunjuk Tante Priska di pipiku membuatku tersentak kaget dan tersipu malu. Ia berbaring lagi dan menungguku mulai memijat lagi. Saat itulah nafsuku meledak. Kubuka baju dan celanaku, lalu aku naik ke ranjang dan kubaringkan pelan-pelan tubuhku tepat di samping Tante Priska. Tanganku pun seketika itu mengelus-elus punggungnya. Sekejap tubuh Tante Priska tersentak seperti kaget, lalu terdiam. Aku yakin ia merasakan kalau aku sudah telanjang, karena “senjataku” menempel erat di pantatnya. Tapi karena ia tak marah, aku mulai mencumbui punggungnya, menciumi, menjilat, dan sesekali menghisap dari tengkuk sampai ke pinggulnya. Tante Priska mendesah lirih, tapi tetap tak bergerak. Sementara bibirku bekerja, satu tanganku menyusup ke celana dalamnya dan meremas-remas pantatnya sebentar, lalu berusaha memelorotnya. Tante Priska mengangkat sedikit pinggulnya yang berarti lampu hijau buatku untuk melepas celana dalamnya.
Sambil menurunkan celana dalamnya, ciumanku beralih ke pantat, bagian atas pahanya, lalu menyusup di antara selangkangannya. Lidahku terjulur-julur berusaha menggapai “milik” Tante Priska. Rupanya Tante Priska makin terangsang oleh ulahku. Ia pun berbalik telentang. Aku langsung menindihnya, lalu mendekatkan wajahku ke wajah Tante Priska. Ia menyambutku dengan pagutan bibirnya. Lama kami berciuman disertai permainan lidah, sementara tanganku leluasa menjamah buah dadanya, lalu turun ke “miliknya”. Ketika cumbuanku beralih ke kedua putingnya, tangan Tante Priska ikut beraksi dengan meremas “senjataku”. Ia tak henti-hentinya mendesah, mengerang dan menggeliat seperti yang merasa nikmat sekali.
Percumbuanku dengan Tante Priska berakhir tanpa penetrasi, karena aku keburu “keluar” di mulut Tante Priska. Sesaat setelah ejakulasi aku seperti orang yang terbangun dari mimpi indah. Tante Priska berbaring di sampingku sambil melingkarkan tangannya di dadaku. Aku tak tahu harus bagaimana atau ngomong apa dalam keadaan seperti itu. Yang jelas, fantasiku selama 2 minggu di rumah Tante Priska akhirnya jadi kenyataan.
Sambil berbaring kami ngobrol mesra yang kemudian berujung pada pertarungan ronde kedua yang berjalan lebih lama dan seru. Tante Priska benar-benar panas di ranjang. Aku terengah-engah dalam buaian kenikmatan yang begitu luar biasa. Meski begitu, aku tetap saja tak percaya kalau itu sungguh-sungguh terjadi.
Tak lama kemudian Tante Priska beranjak dari tempat tidur dan mengenakan kembali pakaiannya. Kupandangi tubuh sintalnya yang basah oleh peluh lekat-lekat. Tubuh sintal yang sebelumnya hanya ada dalam khayalanku.
Itu adalah awal dari hubungan khususku dengan Tante Priska yang justru terjadi di hari-hari terakhir aku tinggal di rumahnya. Tampaknya Tante Priska tak ingin menyia-nyiakan waktu yang tersisa. Setiap ada kesempatan, kami melakukannya. Dari situ aku akhirnya tahu kalau ternyata Indra adalah anak angkat Tante Priska-Om Jaka. Mereka memungut Indra sejak ia masih bayi. Rahasia lain yang diungkap oleh Tante Priska hubungannya dengan Om Jaka. Ternyata mereka sudah 10 tahun tidak saling menyentuh gara-gara Om Jaka ketahuan selingkuh. Hal itu mempengaruhi psikologis Tante Priska. Setiap kali hendak berhubungan, Tante Priska merasakan sakit yang luar biasa. Hubungan yang terlihat harmonis hanyalah sebagai sandiwara.
Aku tercengang mendengar pengakuan blak-blakan dari Tante Priska, termasuk kegemarannya melakukan masturbasi untuk sekedar menyalurkan libidonya, karena ia sudah tak bisa lagi berhubungan intim dengan Om Jaka. Dengan terus-terang Tante Priska cerita kalau ia selalu terangsang setiap kali membangunkanku dan melihat “senjataku” tegak di balik celanaku dan mengaku sangat bahagia bisa menyalurkan hasratnya padaku yang notabene keponakannya sendiri.
Tak heran saat aku harus pulang Tante Priska menangis karena berat melepasku. Tapi mau tak mau kami harus berpisah. [Rizal (nama samaran), 34 tahun, Medan]
Tidak ada komentar :
Posting Komentar