Kisah ini kualami ketika aku berusia 24 tahun. Waktu itu aku baru menyelesaikan sarjanaku di sebuah universitas swasta di Jawa Timur. Sambil mencari pekerjaan aku membantu bibiku menjaga toko konveksi miliknya di kota X yang berjarak 5 jam perjalanan dari tempat tinggalku. Setiap hari Senin sampai Jumat aku tinggal di rumah bibi, sedangkan Sabtu aku pulang naik bus antar kota.
Bibi punya seorang pembantu rumah tangga, sebut saja namanya Dewi. Sejak pertama melihat Dewi aku langsung terpukau. Wajahnya lumayan cantik dan kulitnya putih bersih. Tingkah laku dan tutur katanya sangat sopan. Aku sempat menyayangkan gadis seperti itu bekerja sebagai pembantu yang oleh kebanyakan orang dipandang rendah.
Mula-mula hubunganku dengan Dewi terasa kaku, karena aku merasa jengah sendiri melihat kesopanannya padaku yang menurutku tak perlu. Tapi dari sudut pandangnya, mungkin ia menganggap sebagai juragan karena aku adalah keponakan juragannya. Hatiku selalu berdesir setiap kali berpapasan dengannya, entah itu saat dia bersih-bersih rumah di pagi hari atau membukakan pintu untukku dan bibi di malam hari sepulang dari toko.
Namun ternyata, setelah mengenalnya agak lama aku baru tahu kalau Dewi menyenangkan kalau diajak ngobrol sambil aku menyeduh kopi di dapur sementara ia memasak. Tak heran jika kemudian kami jadi akrab. Hanya saja aku tak mau berakrab ria di hadapan bibi atau anak-anaknya. Aku tak ingin bibi mendamprat Dewi hanya karena bersikap seperti teman padaku. Tampaknya Dewi juga tahu diri untuk tidak banyak bicara denganku saat ada bibi atau anak-anak bibi yang berjumlah 2 orang dan semuanya perempuan.
Dari obrolan dengan Dewi aku sedikit demi sedikit tahu tentang dirinya. Aku memang sengaja mengorek informasi sebanyak-banyaknya dari Dewi sekedar memuaskan rasa penasaranku padanya. Ternyata Dewi berusia 2 tahun lebih muda dariku. Sebelum bekerja di rumah bibi ia penah kerja sebagai administrasi pabrik di kota asalnya. Ia kemudian berhenti, tapi tak menyebutkan dengan jelas alasannya. Hanya saja dia bilang ada masalah pribadi.
Perjalanan hidupnya membawa Dewi ke toko bibi. Ia berniat melamar kerja sebagai karyawan toko, tapi karena bibi sedang tidak butuh, Dewi ditawari jadi pembantu rumah tangganya. Demi sesuap nasi, Dewi menerima tawaran bibi dan jadilah ia bekerja sebagai pembantu di rumah bibi.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, hingga tak terasa aku tinggal di rumah bibi selama 5 bulan. Memang aku beberapa kali mendapat panggilan dari perusahaan yang kulamar, tapi tak ada kabar kalau aku diterima. DI lain pihak, kedekatanku dengan Dewi membuatku enggan mengirim lamaran kerja baru. Lagi pula, dari bibi aku mendapat gaji yang kurasa cukup untuk bujangan sepertiku.
Bulan kelima, saat pulang kampung aku bertemu teman sesama alumni perguruan tinggi. Sebut saja namanya Rudi. Rudi memberitahuku kalau perusahaannya sedang buka lowongan. Ia menawariku untuk melamar dan akan membantuku agar bisa diterima. Saat itu juga aku tercenung. Yang muncul dalam benakku adalah Dewi, gadis pembantu rumah tangga yang mencuri hatiku. Aku jadi tak ingin berpisah dengannya.
Setelah semalaman memikirkan tawaran Rudi, akhirnya kuputuskan untuk membuat surat lamaran. Aku sudah mempertimbangkan masak-masak, dan aku tak akan mungkin bisa bersama Dewi. Jika biasanya Minggu sore aku meluncur ke kota X, hari itu kutunda. Hari Senin aku mampir sebentar ke kantor Rudi untuk menyerahkan surat lamaran kerja, setelah itu menuju terminal bus untuk pergi ke kota X.
Sampai di tujuan aku tidak langsung ke toko bibi, tapi singgah dulu ke rumahnya. Itu sengaja kulakukan karena aku ingin leluasa ngobrol dengan Dewi. Kebetulan kedua anak bibi sedang kuliah semua, jadi aku hanya berdua saja dengan Dewi. Kuceritakan padanya tentang tawaran kerja itu dan sekilas kulihat wajah Dewi seperti murung. Entah kenapa hal itu membuatku keceplosan kalau aku menyukainya, sehingga membuat Dewi tertunduk. Tak kusangka, Dewi mengatakan kalau ia akan berhenti bekerja jika tak bisa bertemu lagi denganku. Sontak jantungku berdetak kencang. Ada rasa bahagia saat mendengar ia mengatakan itu. Berarti ia juga menyukaiku. Dengan spontan tanganku menggamit tangan Dewi dan meremas lembut sambil menghiburnya, bahwa aku akan sering datang mengunjunginya.
Pembicaraan kami terputus saat telepon berdering yang ternyata dari bibi. Dewi mengangkatnya. Bibi menanyakan apakah aku sudah datang dan Dewi menjawab kalau aku baru saja datang sambil mengulurkan telepon padaku. Aku bergegas pergi ke toko bibi dengan hati berbunga-bunga setelah menyadari kalau Dewi juga suka padaku.
Pada kesempatan berdua dengan Dewi aku mengajaknya untuk refreshing, ikut denganku ke kota asalku. Mulanya Dewi terlihat ragu, karena tak tahu bagaimana caranya. Kukatakan padanya agar pamit pada bibi untuk pulang kampung hari Sabtu pagi dan kemudian kami bertemu di terminal.
Pada hari Sabtu yang ditentukan, seperti biasa aku ke terminal untuk pulang kampung. Di gerbang terminal aku berdebar menunggu Dewi. Begitu melihatnya turun dari angkot aku bergegas menyambutnya dan kemudian mengajaknya naik bus jurusan kotaku. Sesampai di kota kampung halamanku aku dan Dewi check in di hotel melati tak jauh dari terminal.
Begitu masuk ke kamar spontan saja aku peluk Dewi erat-erat dan Dewi membalasnya dengan geliat mesra. Pelan-pelan kutengadahkan wajah Dewi hingga kami saling berpandangan. Kukecup bibir Dewi dengan lembut dan ia pasrah menerima kecupanku. Hanya berduaan dengan wanita yang kucintai membuatku lupa daratan. Kulumat-lumat bibir Dewi dengan penuh nafsu. Kemudian kubimbing Dewi ke tempat tidur dan kami melanjutkan cumbuan yang bergelora.
Dewi pasrah sepasrah-pasrahnya saat kulucuti dasternya. Aku leluasa mengecup seluruh tubuh Dewi yang putih mulus. Dadanya pun ranum dan aku tak puas-puasnya menghisap dan memilin putingnya dengan lidahku. Desah dan erangan Dewi membuatku makin tak kuasa menahan nafsu yang begitu membara, hingga akhirnya tak ada sehelai benangpun yang menutupi tubuh kami. Dengus nafasku dan nafas Dewi berpacu dengan deru kendaraan yang lalu lalang di jalan raya tempat hotel kami berada. Pada akhirnya tubuh-tubuh kami diam membisu dalam balutan peluh kenikmatan yang memabukkan.
Malam hingga pagi harinya aku dan Dewi menghabiskan waktu bersama diseling guncangan tubuh yang dilanda gejolak birahi, seolah tak ingin menyia-nyiakan waktu sedetikpun untuk sekedar memejamkan mata. Lima putaran kami lalui bersama dalam semalam itu dan terus berlanjut hingga tiga putaran berikutnya menjelang kami check out dari hotel untuk kembali ke kota X. Di sana Dewi kusuruh ke rumah lebih dulu dan sekitar satu jam kemudian aku menyusul, agar tak dicurigai oleh bibi.
Dua hari kemudian aku mendapat kabar dari Rudi kalau aku diterima bekerja di perusahaannya. Aku yang sedang dimabuk asmara pada Dewi tak terlalu antusias menanggapi. Semalaman aku tak bisa tidur memikirkan dua pilihan yang sulit. Jika kuterima pekerjaan itu, aku harus berpisah dengan Dewi, tapi jika tidak kuterima, aku mungkin akan kehilangan kesempatan untuk bekerja di perusahaan besar dengan gaji yang juga besar.
Akhirnya aku memutuskan untuk mengambil kesempatan bekerja di perusahaan itu, dengan pertimbangan, aku masih bisa mengunjungi Dewi seminggu sekali dengan trik seperti yang kami lakukan sebelumnya. Tapi skenarionya berubah. Dewi akan minta ijin pulang kampung sebagai alasan, dan aku sudah menunggunya di sebuah hotel di kota X juga.
Seperti yang kuskenariokan, meskipun aku dan Dewi berjauhan, tapi kami masih bisa bertemu untuk melepaskan kangen dan mereguk kenikmatan di hotel tempat aku menginap. Kadang seminggu sekali, kadang dua minggu sekali. Dan dengan semakin intimnya aku dan Dewi, rasa penasaranku selama ini pada Dewi sedikit demi sedikit terjawab.
Ternyata Dewi adalah seorang janda. Ya, pada usia 15 tahun ia dinikahkan oleh seorang tuan tanah kaya raya di kampungnya. Sebuah kisah klasik di mana orang tua Dewi berhutang budi pada sang tuan tanah dan ketika Dewi diminta jadi istrinya, mereka tak mampu menolak. Tapi 4 tahun kemudian Dewi dicerai karena tidak bisa memberikan anak.
Setelah bercerai Dewi meninggalkan kampung halamannya dan bekerja di sebuah pabrik sebagai tenaga administrasi. Tak sampai 2 tahun bekerja Dewi terpaksa keluar karena nyaris diperkosa oleh rekan kerjanya sendiri.
Dewi menangis saat menceritakan itu. Ia pasrah seandainya aku meninggalkannya setelah tahu kalau ia janda. Kupeluk tubuh telanjang Dewi erat-erat dan kuyakinkan dirinya kalau aku sangat mencintainya, tak peduli ia janda atau gadis. Dewi benar-benar telah menjerat hatiku dengan tingkah lakunya yang tetap sopan, meskipun telah kutiduri entah berapa kali. Dan yang membuatku makin mabuk kepayang padanya adalah cara ia melayaniku di ranjang. Kalau di awal ia masih terlihat takut-takut dan malu, saat itu ia telah sangat mahir membuatku terbang dalam geliat nikmat hingga ke ubun-ubun. Dengan senang hati ia melakukan apapun untuk memuaskanku.
Kejadian yang tak terduga pun terjadi. Suatu ketika, ibu dan ayahku memarahiku habis-habisan. Mereka katakan kalau aku telah menjatuhkan martabat seluruh keluarga besarku karena menjalin hubungan dengan pembantu. Aku kaget bukan main mendengar tudingan itu. Aku mati-matian menyangkal, tapi kemudian tertunduk lesu begitu mendengar penjelasan mereka. Ternyata, bibi merasa curiga karena seringnya Dewi minta ijin pulang kampung, hingga suatu ketika ia perintahkan salah seorang perempuan pegawai tokonya untuk menguntit Dewi. Ia melihat Dewi masuk ke hotel dan melaporkan ke bibi. Kemudian bibi menunggu di depan hotel dan melihatku dan Dewi keluar dari hotel. Bibi tidak langsung mendampratku, tapi melaporkannya ke orangtuaku.
Aku berusaha meyakinkan kedua orangtuaku bahwa aku sangat mencintai Dewi dan ingin menikahinya. Justru hal itu membuat ayah dan ibuku murka. Mereka tak sudi punya menantu pembantu rumah tangga. Darahku mendidih ketika mereka katakan kalau Dewi tak pantas menjadi anggota keluarga besarku. Kukatakan dengan nada tinggi, bahwa pembantu rumah tangga bukan pekerjaan hina. Yang hina adalah orang-orang bergelimang harta dari hasil korupsi, merampok dan sejenisnya. Bukannya mereda, kemarahan kedua orangtuaku makin menjadi-jadi.
Untuk meredakan situasi, aku tak menemui Dewi selama beberapa minggu. Tapi rasa cintaku padanya membuatku tak mampu menahan kerinduan padanya. Aku minta tolong pada teman wanita di kantor untuk menelepon ke rumah bibi dengan speaker kuaktifkan agar aku bisa mendengar suara penerima telepon. Jantungku berdebar kencang menunggu telepon diangkat. Ketika kudengar yang mengangkat telepon bukan suara Dewi, temanku kusuruh untuk pura-pura salah sambung.
Kerinduanku pada Dewi makin memuncak. Dengan berbekal informasi nama desa tempat tinggal Dewi yang pernah dikatakannya padaku, aku nekad pergi ke desa itu. Tak sulit bagiku menemukan rumah Dewi. Di sana aku ditemui seorang laki-laki setengah baya yang ternyata ayah Dewi. Ia bilang kalau seminggu sebelumnya Dewi pergi ke ibu kota untuk menjadi TKI. Aku tercenung mendengar itu. Tak banyak informasi yang bisa kukorek dari ayah Dewi dan aku pulang dengan hati hancur. Rupanya ia diusir oleh bibi sejak kami ketahuan keluar dari hotel berdua.
Berhari-hari aku tak bisa memejamkan mata. Aku merasakan kehilangan yang sangat besar karena tak bisa lagi bertemu wanita yang kepadanya kuserahkan jiwa dan ragaku. Terbayang olehku betapa hancur juga hati Dewi. Mungkin ia merasa, mencintaiku adalah sebuah kesalahan besar. Aku menangis memikirkan nasib Dewi yang begitu buruk. Aku ikut merasa bersalah telah mencintainya yang membuat ia terusir. Perbedaan status di antara kami begitu menyakitkan baginya, juga bagiku.
Saat ini usiaku sudah 43 tahun dan aku masih tak bisa melupakan Dewi. Besarnya cintaku padanya dan harapanku untuk bisa bertemu lagi dengannya membuatku tetap sendiri. Aku sudah tak bisa jatuh cinta lagi. Hanya Dewi yang kuharapkan menjadi pendamping hidup menghabiskan sisa umur bersama dalam mahligai perkawinan. (AGS, 43 tahun)
Seperti diceritakan oleh ybs kepada tim BBB.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar