Setelah melalui masa pacaran selama 5 tahun, pada 1997 aku menikah dengan Sasongko (sebut saja begitu). Kami berkenalan sejak awal menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Palembang. Aku sangat mencintainya, karena selain romantis, ia juga seorang yang ulet dan tekun belajar. Bahkan saat masih berstatus mahasiswa dia sudah bisa membiayai kuliahnya dengan hasil keringatnya sendiri, meskipun orang tuanya termasuk keluarga berada.
Tahun-tahun pertama berkeluarga, aku dan Sasongko menyewa kamar kos di Jakarta, karena kami sama-sama bekerja di kota metropolitan itu usai meraih titel sarjana. Karena biaya hidup di Jakarta tergolong tinggi, Sasongko terus berupaya mencari pekerjaan lain yang lebih baik agar bisa bertahan dan berkembang.
Di luar perhitungan kami berdua, ternyata Sasongko mendapatkan pekerjaan baru di Surabaya dengan gaji lumayan besar. Setelah mempertimbangkan dengan matang, akhirnya kami memutuskan untuk hijrah ke Surabaya, tepatnya 3 tahun setelah kami menikah. Kebetulan di Surabaya ada kakak kandungku yang sudah lebih dahulu tinggal di sana karena mendapatkan suami orang Surabaya. Di kota yang baru pertama kalinya kami menginjakkan kaki itu kami mengontrak rumah di sebuah komplek perumahan dekat perbatasan antara Surabaya dan Sidoarjo, karena lokasinya tenang.
Karena gajinya cukup besar, Sasongko memintaku untuk tidak usah bekerja lagi, tapi berkonsentrasi mengurus rumah dan mempersiapkan diri untuk kehadiran buah cinta kami. Namun sayang, tahun demi tahun berlalu, aku tak kunjung hamil. Aku sudah berupaya memeriksakan diri ke dokter spesialis manapun yang terkemuka di Surabaya, tapi semuanya tak membuahkan hasil. Meski demikian, kami tak berputus asa. Dengan penuh kesabaran suamiku memberikan pengertian kepadaku, kalau suatu saat kelak kami akan dikaruniai seorang anak.
Tahun 2002, prahara melanda rumah tanggaku. Berawal dari ketidak sengajaanku mendapati tagihan kartu kredit yang melonjak tajam, padahal aku tak pernah berlebihan dalam menggunakannya. Justru kartu kredit itu lebih sering dibawa Sasongko. Setelah aku konfirmasi ke bank bersangkutan, ternyata ada pembayaran untuk hotel berbintang di Surabaya, dan itu tidak cuma sekali. Saat kutanyakan ke Sasongko, ia sempat berkilah kalau kartu kreditnya pernah hilang, tapi ketemu lagi.
Beberapa hari aku tak bisa tidur memikirkan hal itu. Antara percaya dan tidak pada penjelasan Sasongko. Aku mulai menganalisa sikapnya akhir-akhir ini. Belakangan memang ia sering pulang larut dengan alasan ada masalah dengan sistem produksi di perusahaan yang harus ia tangani. Bahkan pernah ia tidak pulang, karena, menurut penjelasannya, ia harus stand by jika terjadi masalah lagi agar proses produksi tidak terganggu.
Perubahan yang paling menyolok adalah saat di tempat tidur. Ia selalu beralasan capek, padahal kami sudah berkomitmen untuk terus berjuang ‘membuat anak’. Hal ini terjadi berkali-kali dan aku mulai merasa ia sudah tidak lagi berambisi punya anak. Pertanyaannya, kenapa?
Suatu sore, saat rasa curigaku makin menguat, kuberanikan diri menelepon ke kantor Sasongko, tepat jam kerjanya usai. Betapa kagetnya aku ketika mendapat informasi kalau Sasongko ijin pulang lebih awal, sekitar jam 3 sore, dengan alasan akan mengantar aku ke dokter. Jantung berdetak makin kencang manakala hingga jam 8 malam ia tak kunjung pulang. Kuhubungi ponselnya, tapi tak dijawab.
Menjelang jam 12 malam kudengar suara mobilnya masuk ke garasi. Bergegas kuhampiri dia dan kucecar dengan pertanyaan-pertanyaan membabi buta. Mulanya Sasongko berkelit dengan berbagai alasan, tapi akhirnya ia mengakui satu hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Ia telah berselingkuh dengan mahasiswi yang magang di tempat kerjanya dan hubungan itu sudah berjalan hampir 5 bulan lamanya.
Oh, Tuhan! Aku nyaris jatuh terduduk mendengar pengakuannya. Sasongko merengkuh tubuhku yang limbung dan memapahku ke kamar, tapi secara refleks kutepis tangannya. Tiba-tiba saja aku merasa jijik padanya. Aku berusaha sendiri berjalan ke kamar dengan tertatih-tatih dan kuhempas kuat-kuat pintu kamar. Tak ada yang bisa aku lakukan selain menangis meratapi nasib. Dunia serasa kiamat. Aku tak menyangka Sasongko tega mengkhianati aku yang telah setia melayaninya selama 5 tahun berumah tangga.
Paginya, dalam keadaan lemah karena tak tidur semalaman, aku berjalan menuju dapur. Kudengar debur air di kamar mandi. Sasongko tengah mandi. Entah tidur di mana dia tadi malam, tapi aku tak peduli. Antara sadar dan tidak, kuraih obat nyamuk cair yang teronggok di lantai dapur. Tanpa pikir panjang kutenggak beberapa teguk obat nyamuk cair itu. Aku merasa lebih baik mati daripada menghadapi kenyataan menyakitkan seperti ini. Karuan saja aku langsung muntah-muntah. Cairan yang kutelan keluar semua dari perutku. Sasongko yang baru selesai mandi tampak kaget melihatku, dan buru-buru membopongku ke tempat tidur. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.
Ketika terbangun, kakakku dan suaminya duduk di tepi tempat tidurku. Tapi aku tak melihat Sasongko. Ternyata dia masuk kerja. Gila! Sasongko benar-benar sudah gila! Istrinya hampir mati bunuh diri dan ia tetap pergi bekerja. Apa sebenarnya yang terjadi padanya? Kenapa sikapnya bisa berubah 180 derajat, dari yang semula lemah lembut dan penuh perhatian, tiba-tiba tak peduli lagi padaku? Apakah perempuan jahanam itu penyebabnya? Yang lebih menyakitkan, saat kedua orang tuaku datang dari kampung (di Sumatra Barat) sama sekali tak dihiraukannya. Ia sudah tak punya rasa hormat sedikitpun kepada mertuanya, padahal sebelumnya ia adalah menantu kesayangan orang tuaku!
Hari demi hari berlalu dan aku mendapat kabar kalau mahasiswi yang telah mencuri hatinya ternyata telah hamil! Aku menuntut cerai tapi semula Sasongko tak mau. Ia minta aku tetap jadi istrinya dan ia juga akan menikahi gadis itu. Tentu saja aku menolak dimadu. Kami bercerai dan aku selama beberapa bulan kembali ke rumah orang tuaku.
Setelah pikiranku tenang, aku mulai menata diri dan mencari pekerjaan. Syukurlah tak butuh waktu lama aku menunggu, karena aku diterima bekerja di Batam. Dua tahun bekerja di sana, aku ditugaskan di kantor cabang perusahaan di Denpasar, Bali. Namun hanya sebentar, karena kemudian aku dipercaya untuk menangani kantor cabang di Surabaya. Saat diberi tahu tentang hal itu, aku sempat ragu. Betapa tidak. Kupikir aku tak akan menginjakkan kakiku untuk kedua kalinya di kota terbesar kedua di Indonesia, karena trauma itu masih melekat kuat di benakku. Setelah berkonsultasi dengan saudara-saudaraku, termasuk kakakku yang di Surabaya, akhirnya kumantapkan tekadku untuk menerma tugas itu.
Pada 2007 aku berkenalan dengan seorang lelaki asli Surabaya dan setelah berpacaran 3 bulan, kami pun menikah. Karena sulit memperoleh anak, aku kembali berkonsultasi dengan sejumlah dokter spesialis kandungan, hingga akhirnya pada awal 2011 lalu aku hamil. Sayangnya, saat usia 3 bulan kehamilanku, aku mengalami keguguran.
Meski demikian aku tidak berputus asa. Meski usia sudah tak lagi muda, aku masih berharap dan berusaha untuk mendapatkan momongan, karena ternyata ucapan Sasongko saat kami bersitegang tentang perselingkuhannya dulu yang menyatakan kalau aku mandul tidak terbukti.
Semoga di sisa usiaku ini Tuhan memberikan kepercayaan kepadaku untuk mengasuh dan membesarkan anak. Aku percaya, Tuhan akan mengabulkan doa-doa yang kupanjatkan setiap usai sholat.(Betty - nama samaran - 40 tahun, Surabaya)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar