Rabu, 23 September 2015

Satu Lawan Tiga

Ini pengalaman tak terlupakan waktu aku kuliah di Jogja sekian tahun yang lalu. Ketika libur semesteran aku sengaja tidak pulang kampung, karena diajak teman kuliahku, Joko dan Ucup (keduanya bukan nama sebenarnya) piknik ke Bali. Ucup adalah mahasiswa asal Bogor, sedangkan Joko asli Jogja.

Dengan mengendarai mobil milik Joko, bertiga kami berangkat menuju Bali. Sebelumnya kami mampir ke Jember untuk istirahat di rumah kerabat Joko yang tinggal di sana.

Esok harinya kami melanjutkan perjalanan. Sampai di Denpasar hari sudah senja. Kami langsung mencari warung untuk mengisi perut yang sudah kelaparan. Setelah kenyang kami mencari tempat yang tenang untuk istirahat. Karena membawa uang pas-pasan, kami mencari tempat untuk memarkir mobil sekaligus tempat bermalam.

Pagi harinya kami mencari toilet umum untuk mandi dan setelah itu kembali melanjutkan petualangan berkeliling pulau Bali. Tujuan kami hari itu adalah Tapaksiring untuk melihat istana presiden Soekarno.

Kami sesekali berhenti untuk berfoto-foto manakala menemui lokasi yang indah dan sayang jika tidak diabadikan. Dalam sebuah sesi foto-foto kami melihat dua orang wanita yang juga tengah asyik berfoto ria. Tiba-tiba muncul keisengan Ucup. Dia hampiri kedua wanita itu, mengajak mereka berkenalan, kemudian minta tolong untuk mengambil gambar kami bertiga.

Sebelum berpisah, salah seorang wanita yang bernama Sri (bukan nama sebenarnya) menawari kami tumpangan untuk menginap andai kembali ke Denpasar, karena ia tinggal di kota itu.

Singkat cerita, lima hari kami berada di Bali telah mengunjungi berbagai lokasi wisata yang ada di sana. Kami beruntung karena warga Bali sangat ramah dan murah hati dengan memberi kami tempat bermalam sehingga kami tak perlu tidur di dalam mobil.

Saat tiba kembali di Denpasar sore hari kami langsung menuju lokasi rumah Sri dari kartu nama yang ia berikan kepada kami. Ternyata kami baru tahu kalau Sri seorang janda beranak satu, seorang putri kelas 1 SD. Seperti halnya yang kami alami di tempat bermalam sebelumnya, Sri pun menyambut kami dengan hangat. Ia menyediakan satu kamar untuk kami bertiga, bersebelahan dengan kamarnya.

Kami agak terkejut ketika menunggu giliran mandi, kami mendapati beberapa lembar foto tergeletak di meja. Foto-foto Sri yang sedang mandi dalam berbagai pose! Kami saling berbisik (karena saat itu Sri sedang mandi) dan bertanya-tanya, kenapa foto-foto pribadi seperti itu diletakkan sembarangan.

Kata Ucup yang paling berpengalaman soal perempuan, foto itu sengaja ditaruh di situ sebagai isyarat dari Sri kalau ia memberikan tumpangan bermalam tidak cuma-cuma alias ada imbalannya.

Betul juga. Malam hari saat Sri usai menidurkan putrinya di kamar belakang, ia mengenakan baju tidur tipis sehingga kami bisa melihat dengan jelas tubuhnya yang berkulit hitam manis tak mengenakan bra. Aku tak tahu apa yang ada di pikiran Ucup dan Joko, tapi yang jelas naluri kelelakianku langsung bangkit. Baru kali itu aku melihat pemandangan seperti itu.

Kami berempat ngobrol di ruang tamu dan Sri terlihat biasa-biasa saja, seolah tak merasa kalau caranya berbusana mengundang hasrat laki-laki.

Menjelang tengah malam Sri pamit untuk tidur dan ketika masuk kamar, ia biarkan pintu kamarnya terbuka sedikit. Tanpa dikomando, Ucup langsung menyusul Sri dan menutup pintu kamar. Aku dan Joko hanya saling berpandangan dan menduga-duga apa yang dilakukan Ucup dan Sri.

Sekitar 15 menit kemudian Ucup keluar sambil senyum-senyum dan menyuruhku masuk kamar. Aku ragu karena belum pernah melakukan ini sebelumnya. Aku ganti menyuruh Joko yang masuk.

Sekitar sepuluh menit kemudian Joko keluar kamar sambil mengancingkan celananya. Serta-merta Ucup mendorongku untuk masuk ke dalam kamar. Dengan langkah agak ragu aku masuk ke kamar Sri. Cahaya di dalam kamar remang-remang, tapi aku bisa melihat Sri berbaring di ranjang tanpa busana. Tangan Sri terjulur padaku, mengisyaratkan agar aku mendekatinya. Keraguanku seketika sirna, berganti dengan gairah yang meletup-letup. Kuhempaskan tubuhku di atas tubuh Sri dan kamipun tenggelam dalam percumbuan yang panas.

Aku merasakan kalau Sri sangat bernafsu dan itu membuatku yang masih hijau soal hal-hal begini langsung “selesai” saat Sri melumat bagian vital tubuhku dengan ganasnya. Saat itulah aku melihat tubuh Sri tiba-tiba menggelinjang sendiri sambil melenguh dan sesekali mengatakan sesuatu yang tak jelas. Seperti orang mengigau. Aku sempat kebingungan melihat Sri dan tahu-tahu Sri menggamit tanganku dan menariknya hingga “masuk” ke dalam bagian vital Sri. Mula-mula ia membimbing tanganku melakukan gerakan keluar-masuk, dan aku paham apa yang diinginkannya. Aku lakukan itu makin lama makin kencang sesuai keinginan Sri, hingga akhirnya ia menggelepar dengan nafas terengah-engah.

Setelah melihatnya terbaring tenang, akupun beranjak keluar kamar. Ternyata kedua temanku tak ada di ruang tamu. Mereka sudah masuk ke kamar dan menungguku. Di dalam kamar tak banyak yang kami bicarakan tentang pengalaman masing-masing. Tampaknya mereka ingin hal itu menjadi rahasia pribadi mereka.

Pagi harinya, semua berjalan biasa saja, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Usai mengantar anaknya sekolah, Sri menyiapkan sarapan dan kami berempat makan bersama. Wanita yang kuperkirakan berusia sekitar 35 tahun itu terlihat ceria. Ia juga membawakan kami jajanan khas Bali untuk bekal kami di perjalanan kembali ke Jogja.

Sungguh pengalaman yang tak terlupakan, khususnya buat aku, karena baru kali itulah aku bersentuhan dan bercumbu dengan perempuan. (Andra - nama samaran - 48 tahun, Sukoharjo)

1 komentar :