Sabtu, 16 April 2016

Gara-gara Panggilan Telepon

Ketika bertemu untuk pertama kalinya lima tahun lalu sungguh aku tak berpikiran macam-macam yang menjurus mesum pada Tante Rosa. Tentu saja, karena ia adalah istri Om Toha, adik kandung ayahku.

Kuakui, selain cantik, Tante Rosa mempunyai tubuh yang bagus. Kulitnya pun putih bersih. Bolehlah kalau kusamakan ia dengan Tamara Bleszynski. Hanya lebih chubby sedikit dan rambutnya lebih bergelombang panjang di bawah bahu. Sayangnya ia tidak begitu diterima di keluarga besarku. Sebabnya, karena Tante Rosa adalah penyebab hancurnya rumah tangga Om Toha. Ya, tadinya Tante Rosa yang juga bawahan Om Toha di tempat kerja mereka adalah selingkuhan Om Toha. Hubungan mereka terbongkar yang berujung pada perceraian Om Toha dan Tante Tuti. Enam bulan setelah perceraian itu, akhirnya Om Toha menikahi Tante Rosa. Itulah sebabnya kenapa hubungan Om Toha dengan keluarga besarku kemudian merenggang. Apalagi Tante Rosa yang usianya terpaut lumayan jauh dari Om Toha, dicap sebagai perusak rumah tangga orang.

Setelah menikah, Om Toha dan Tante Rosa pindah ke kota lain dan memulai hidup baru di sana. Secara pribadi hubunganku dengan mereka berdua masih tetap baik. Om Toha sering meneleponku, menanyakan kabar keluargaku melalui aku. Dan saat liburan aku kadang bertandang ke rumah Om Toha dan menginap beberapa hari di sana. Aku diperlakukan seperti anak mereka sendiri.

Tapi sekitar dua tahun kemudian sikapku terhadap Tante Rosa berubah drastis, dari yang semula kuanggap sebagai ibu keduaku menjadi perempuan seutuhnya yang kudambakan sebagai kekasihku.

Ceritanya begini.

Suatu hari Tante Rosa meneleponku, mengabarkan kalau Om Toha dirawat di rumah sakit karena terserang stroke ringan. Saat kuceritakan hal itu pada orang tuaku, mereka terkesan acuh tak acuh. Rupanya orang tuaku masih menyimpan amarah pada Om Toha yang menyebabkan putusnya hubungan kekeluargaan dengan keluarga Tante Tuti, mantan istri Om Toha.

Mungkin untuk menunjukkan rasa iba, ayahku kemudian menyuruhku untuk menengok Om Toha. Meskipun saat itu aku tidak sedang libur kuliah, tapi aku berangkat juga, mengingat kebaikan Om Toha dan Tante Rosa padaku selama ini.

Sampai di kota tujuan sore harinya aku langsung menuju rumah sakit tempat Om Toha dirawat. Di sana ada Tante Rosa yang sedang menunggui suaminya. Setelah ngobrol-ngobrol sesaat, Tante Rosa memberiku kunci rumah dan menyuruhku mengambilkan baju bersih untuknya dan Om Toha di rumahnya sambil menyerahkan tas plastik berisi baju kotor, karena Tante Rosa menginap di rumah sakit. Kebetulan waktu itu pembantu mereka keluar karena menikah dengan pemuda di kampungnya. Tante Rosa berpesan agar aku tidak usah mencuci baju-baju kotornya.

Sampai di rumah Om Toha kuambil beberapa baju untuk Om Toha dan Tante Rosa di almari kamar mereka dan setelah itu aku kembali ke rumah sakit untuk mengantarkannya. Malamnya Tante Rosa menyuruhku pulang ke rumahnya, sementara ia tinggal di rumah sakit.

Pagi harinya, untuk menunjukkan baktiku pada Om Toha dan Tante Rosa, kucucikan baju kotor mereka dengan mesin cuci. Setelah itu kubersihkan rumahnya.

Siang hari, saat aku bersantai menonton TV, Tante Rosa datang. Katanya, kalau siang ia memang pulang untuk mengurusi rumah. Tapi ia kaget saat melihat baju-baju kotornya sudah kucuci. Begitupun ketika melihat rumahnya bersih. Ia kemudian memujiku dan mengatakan kalau aku tidak usah melakukan itu.

“Ah, nggak apa-apa, Tante. Daripada nganggur”, jawabku sambil cengar-cengir bangga.

Aku dan Tante Rosa kemudian makan siang bersama dengan menu makanan fast food yang dibeli Tante Rosa saat dalam perjalanan pulang tadi. Setelah itu Tante Rosa masuk kamarnya untuk istirahat dan aku kembali ke kamarku untuk chatting dengan teman-teman kuliahku melalui ponsel sambil memantau kegiatan kampus. Jika ada tugas, kukerjakan dengan laptop yang memang sengaja kubawa, lalu aku pergi ke warnet untuk mengirimkannya via email. Hingga tiga hari berikutnya, itulah yang berlangsung. Tiap siang Tante Rosa pulang untuk istirahat, aku membantu bersih-bersih rumahnya, dan malam hari Tante Rosa kembali ke rumah sakit.

Hari keempat, sepulang dari warnet aku mendapati suara sayup-sayup dering ponsel. Kucari-cari sumber suara tersebut, yang ternyata berasal dari ponsel Tante Rosa yang berada di dalam tasnya. Tas itu diletakkan di meja kecil di samping dispenser. Karena kupikir itu telepon dari Om Toha, kuberanikan diri mengambil ponsel Tante Rosa dari dalam tas. Tapi saat ponsel itu sudah terpegang olehku, suara deringnya berhenti. Kulihat, ada nama seorang wanita “Ella” di layar ponsel. Kupikir itu teman Tante Rosa.

Aku bermaksud mengembalikan lagi ponsel itu ke dalam tas Tante Rosa ketika tiba-tiba berdering lagi. Aku sempat kebingungan dengan apa yang harus kulakukan. Membiarkan saja agar tidak mengganggu istirahat Tante Rosa atau menyerahkannya ke Tante Rosa karena siapa tahu itu penting. Saat kulihat pintu kamar Tante Rosa tertutup rapat, aku jadi ragu sampai akhirnya deringnya berhenti lagi. Tapi tak lama kemudian berdering lagi dari nomor yang sama. Kupikir, jika seseorang menelepon sampai tiga kali, berarti ada sesuai yang penting, hingga akhirnya kuberanikan diri mengetuk pintu kamar Tante Rosa. Karena tak ada jawaban, kucoba membukanya yang ternyata tidak terkunci. Pelan-pelan kudorong pintu itu, lalu kulongokkan kepalaku ke dalam kamar Tante Rosa.

Aku terkesiap saat melihat di tempat tidur. Di situ tampak Tante Rosa sedang tidur lelap dengan posisi miring menghadap dinding dan dasternya tersibak hingga ke pinggul. Dasternya sangat tipis, tipis sekali, sehingga aku tahu kalau ia tak mengenakan bra. Celana dalam putih dan paha mulusnya terlihat jelas olehku. Sontak degup jantungku mengencang dan tanpa bisa kucegah, mengalir ke bagian bawah tubuhku yang pelan tapi pasti mengeras. Jika Anda laki-laki normal pasti paham hukum alam yang terjadi secara otomatis tersebut. Untungnya aku pakai celana jins, sehingga bisa meredam penampakan tak biasa di area syahwatku.

Agaknya Tante Rosa mendengar suara dering ponselnya. Ia beringsut lalu membalikkan tubuhnya. Aku yang masih terdiam di depan pintu mendadak jadi gugup.

“HP Tante bunyi ya, Rud?”, Tante Rosa bertanya sambil bangkit dan duduk di tempat tidur. Matanya masih terlihat sangat mengantuk.

Ucapan Tante Rosa menyadarkanku dan bergegas aku mendekatinya untuk memberikan ponsel kepadanya.

“I… iya, Tante. Sudah bunyi tiga kali ini”, aku menjawab tanpa bisa menyembunyikan kegagapanku.

Tante Rosa mengamati nama di layar ponselnya. “Oo, ini Ella, adik Tante”, katanya sambil memencet tombol ponselnya. Seger a saja ia terlibat obrolan di ponsel dan aku bergegas berlalu dari kamar Tante Rosa.

Benakku sudah tercemari bayang-bayang tubuh indah Tante Rosa dan itu membuatku tak tahu apa yan harus kulakukan selanjutnya, selain masuk ke kamar, mengganti celana jins dengan celana pendek yang biasa kupakai jika sedang di rumah, lalu berbaring. Tapi “tegangan tinggi” yang kurasakan tadi memaksaku untuk ke kamar mandi untuk buang air kecil.

Keluar dari toilet aku kembali tersengat arus birahi spontan karena bertemu Tante Rosa di depan ke kamar mandi yang menunggu giliran untuk memenuhi panggilan alamnya. Ia masih mengenakan daster tipis itu, hanya saja di bagian atas ditutup oleh jaket sweater. Meski begitu, tetap saja aku merasa jengah dan serba salah. Saat kutundukkan kepalaku terlihat celana dalam putihnya dan aku harus mencari obyek lain untuk kupandang sambil mempersilakan Tante Rosa masuk. Kecamuk di benakku makin tak menentu. Darah kelelakianku meletup-letup dan kurasakan kepalaku pening. Kuambil gelas, lalu mengisinya dengan air mineral dari dispenser dekat kulkas. Dua gelas kuteguk habis sambil berharap syahwatku reda. Tapi tampaknya hari itu aku sudah digariskan untuk sport jantung. Bertepatan dengan saat berjalan menuju kamar aku menuju kamar, Tante Rosa keluar dari kamar mandi.

“Ella bilang mau bezoek Om Toha nanti malam, Rud!”, ujar Tante Rosa dan aku hanya menjawab “O” sambil menatapnya sebentar lalu mengalihkan pandangan ke lukisan bunga di dinding. Aku bermaksud untuk berlalu, tapi Tante Rosa ternyata belum selesai bicara.

“Dia cakep lho. Nanti malam ikut aja ke rumah sakit, nanti Tante kenalkan sama Ella”.

Aku tersenyum kecut, “Ah, Tante ini. Nggak usah, Tante. Kebetulan aku lagi ada tugas”.

Tampaknya Tante Rosa sadar kalau sebenarnya aku punya kesibukan kuliah dan ia mempersilakanku untuk pulang. Spontan aku menolak dan akan tinggal di situ sampai Om Toha boleh pulang dari rumah sakit. Spontanitas yang muncul dari rasa berat akan kehilangan momen menakjubkan setelah melalui beberapa hari yang mulai terasa membosankan. Aku berharap momen ini akan lebih sering terjadi dan itu membuatku enggan pulang.

“Ya sudah kalau begitu. Tante cuma khawatir nanti kamu ketinggalan kuliahmu. Mudah-mudahan saja kamu nggak bosan di sini”, Tante Rosa menyunggingkan senyum manisnya. Usianya mungkin 45-an, tapi di mataku terlihat seperti 25 tahun dan sangat sexy. Ini pastilah karena pengaruh enzim syahwat.

“Sudah ya, Rud. Tante mau tiduran lagi sebentar. Soalnya kalau di rumah sakit nggak bisa nyenyak”, kata Tante Rosa sambil berlalu masuk kamar. Akupun kembali ke kamarku dengan membawa beban syahwat terpendam. Aku berusaha untuk tidur, tapi jelas saja tidak bisa. Yang terjadi justru aku berkhayal, membayangkan tubuh indah Tante Rosa yang begitu menggairahkan.

Dan itu adalah momen yang tak terlupakan selama hidupku. Aku gagal mengendalikan birahi yang terus saja menghentak untuk disalurkan. Entah dapat energi dari mana, yang jelas mataku agak kabur saat aku bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar Tante Rosa. Jantungku berdegup kecang melihat pintu kamarnya tidak tertutup rapat kali ini. Dengan jemari gemetar kudorong pintu kamar Tante Rosa. Mataku nanar menatap tubuh Tante Rosa yang tergolek di tempat tidur.

Tante beringsut dan melihat ke arah pintu saat terdengar suara “klek” dari gagang pintu yang kututup rapat.

“Oh, Rudi. Ada apa, Rud?”, Tante Rosa memandangku dengan tatapan heran sambil melepas senyum tipisnya.

Aku diam seribu bahasa. Sambil berjalan mendekatinya kulepas T-shirtku, lalu celana pendekku. “Senjata” yang sejak aku masuk sudah tegak berdiri spontan menyembul laksana kuda liar yang lepas dari kekangnya.

“Rudi, kamu mau apa?”, kudengar nada gugup dari suara Tante Rosa. Ia beringsut hendak bangkit, tapi aku sudah lebih dahulu menyergapnya, menghujaninya dengan cumbuan di dada dan lehernya.

“Rudi, apa-apaan kamu?!”, Tante Rosa mencoba mendorongku. Tapi aku bisa merasakan kalau dorongannya setengah hati. Mungkin ia masih tak percaya dengan perbuatanku. Ia cengekeram kuat-kuat kedua lenganku seolah mengisyaratkan kalau ia tak mau diperlakukan seperti itu. Tapi nafsuku yang sudah memuncak membuat energiku lebih kuat dari biasanya.Kucoba melumat bibirnya, tapi Tante Rosa melengos. Meski begitu aku masih punya banyak tempat untuk kupagut, kulumat dan kuhisap dengan lidah dan bibirku.

“Jangan, Rud..”, desis Tante Rosa sambil masih menahan tubuhku.

Tapi siapa yang bisa menahan laki-laki yang terbakar api birahi?

Tante Rosa hanya bisa menggeliat dan meronta, sementara aku telah menjadi serigala ganas yang sangat kelaparan. Sekujur tubuh putih mulus Tante Rosa telah kejelajahi dengan bibir dan lidahku. Dengus nafasku memburu.

Kudengar Tante Rosa memekik lirih saat lidahku menari di bagian bawah tubuhnya. Celana dalamnya basah oleh liur yang keluar dari mulut buasku. Aku merasa memenangkan etape awal ketika Tante Rosa tak lagi meronta. Tak ada perlawanan ketika pelan-pelan kulepas celana dalamnya. Justru ia semakin menggelinjang merasakan jemariku bermain-main di area kewanitaannya yang mulai terasa basah.

Pergulatan panas di siang menjelang sore yang terik berakhir dalam dengus nafas memburu kami berdua. Tubuh telanjang Tante Rosa menempel erat di tubuh telanjangku. Peluh membasahi, meski udara AC dalam kamar lumayan sejuk.

“Kamu kok berani sih, Rud? Aku ini Tantemu lho”, Tante Rosa berkata lirih sambil mengusap bulu-bulu lembut di dadaku.

“Habis Tante sih pakai baju sexy… Aku jadi terangsang”, aku mendengus tersenyum. Kukecup kening Tante Rosa yang basah oleh keringat. Tante Rosa mencubit lembut lenganku.

Babak baru dalam hidupku dan Tante Rosa dimulai. Kami sudah terlibat jauh dalam sebuah hubungan terlarang. Tapi aku, dan tampaknya begitu juga Tante Rosa, sangat menginginkan hal itu. Dan aku jadi merasa kesepian saat Tante Rosa pamit untuk pergi ke rumah sakit, setelah kami menuntaskan ronde kedua yang lebih panas dari sebelumnya.

Bergumul di ranjang kemudian menjadi aktifitas rutin kami saat Tante Rosa pulang dari rumah sakit. Sepanjang siang hingga sore tak ada waktu yang terlewatkan untuk tidak melakukan percumbuan dan hubungan intim yang memabukkan.

Aku dan Tante Rosa makin menggila. Ketika aku ikut ke rumah sakit bersama Tante Rosa untuk menjenguk Om Toha, kami melakukannya di rumah sakit. Ya, quickie di kamar mandi rumah sakit. Saat itu sudah malam. Om Toha sudah tertidur, sementara Tante Rosa menyiapkan baju-baju kotor yang harus kubawa pulang. Melihat Om Toha lelap, kenekadanku muncul.

“Tante, ke kamar mandi yuk”, bisikku padaTante Rosa saat ia berikan tas plastik berisi baju kotor.

“Ih, gila kamu! Besok saja di rumah…”, Tante Rosa turut berbisik sambil mengernyitkan dahi, lalu melirik Om Toha.

Tanpa meminta lagi, kugamit tangan Tante Rosa dan menariknya ke kamar mandi yang memang disediakan untuk kamar VIP.

Dengan langkah sedikit ragu Tante Rosa mengikutiku.

“Tante isep aja ya…”, bisik Tante Rosa yang langsung jongkok di depanku. Tanpa diminta, kulepas ikat pinggangku dan kuturunkan celana jins berikut celana dalamku.

“Aduh, kok nggak keluar-keluar sih? Udah ya, nanti ada suster datang gimana?”, pinta Tante Rosa untuk mengakhiri kegilaan itu.

Tentu saja aku keberatan. Sebelum tuntas, aku tak akan tenang tidurku. Kuminta Tante Rosa berdiri membelakangiku dan menungging dengan berpegangan di tepian bak mandi. Tante Rosa hanya pasrah saja saat kusingkap roknya dan lepas celana dalamnya. Tampaknya ia paham benar tentang laki-laki yang sedang terbakar nafsu, yang tak bakal bisa dicegah dengan alasan apapun, kecuali terjadi gempa bumi saat itu.

Tante Rosa berusaha keras menahan desah nafas dan erangannya saat aku melakukannya dari belakang. Aku pun tak ingin berlama-lama dalam situasi darurat seperti itu. Tante Rosa keluar lebih dulu dari kamar mandi untuk memastikan keadaan aman, setelah itu aku menyusulnya dengan wajah lega.

Sampai seminggu berikutnya, aku dan Tante Rosa benar-benar menikmati surga dunia, memuaskan hasrat birahi tanpa siapapun bisa mencegahnya. Dan ketika Om Toha diijinkan untuk meninggalkan rumah sakit, terbersit kekecewaan dalam hatiku yang sudah terlanjur tergila-gila pada Tante Rosa.
Momen-momen indah berbalur desah nafas dan gelinjang kenikmatan pun harus berakhir.

Tapi tampaknya Tante Rosa yang lebih paham situasi bisa mengerti kegalauanku. Ia memberikan solusi yang tak mungkin kutolak. Katanya, aku bisa datang ke rumahnya seminggu sekali dengan alasan untuk memantau kesehatan Om Toha. Ide yang cemerlang dan jelas terlihat kalau Tante Rosa juga sangat membutuhkanku.

Dan memang benar. Hari Sabtu, seminggu setelah aku pulang, aku datang lagi ke rumah Om Toha untuk menjemput kenikmatan bersama Tante Rosa di malam saat Om Toha sudah nyenyak tidurnya. Meski dapat jatah seminggu sekali, aku sudah cukup puas semalaman mengumbar nafsu, menikmati kehangatan tubuh Tante Rosa yang juga dibakar birahi.

Hal itu berlangsung sampai sekarang. Hanya saja frekuensinya berkurang karena aku sudah memasuki dunia kerja di kota lain yang agak jauh dari domisili Tante Rosa. Dan Tante Rosa selalu menyambut kehadiranku dengan pelayanan luar biasa di malam-malam yang panas bergelora.

Aku sadar spenuhnya telah berada di jalur yang salah. Tapi punya alasan tersendiri untuk pembenaran atas semua yang kulakukan bersama Tante Rosa. Om Toha sudah berumur, dan dengan sakit yang dideritanya, aku yakin ia tak lagi mampu memenuhi kebutuhan nafkah batin istrinya, sementara Tante Rosa berada di usia di mana kebutuhan biologis adalah mutlak untuk dipenuhi. Jika tidak denganku, ada kemungkinan dia berpaling ke laki-laki lain dan itu berarti bencana bagi keutuhan rumah tangga Om Toha.

Mungkin aku mengada-ada dengan opini itu sebagai dalih untuk melancarkan urusan syahwatku. Mungkin saja. Tapi saat ini, kuanggap itu jalan salah yang tebaik untuk kutempuh. Tante Rosa mencintaiku dan aku pun mencintainya. Kami sama-sama tahu bahwa kami tidak akan bisa saling memiliki seutuhnya, sampai kapanpun. Tapi setidaknya, rumah tangga Om Toha akan tetap utuh, sepanjang aku dan Tante Rosa bisa menjaga rahasia ini baik-baik. (Rudy, 27 tahun, somewhere)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar