Minggu, 24 April 2016

Saudara Ipar Membuatku Tepar

Jujur saja aku sudah mengenal seks sejak SMP. Pertama kali melakukannya dengan teman sekelas, sebut saja namanya Gunawan, di rumah neneknya saat kami mengisi waktu liburan. Kami tidak pacaran, hanya teman tapi mesra. Sejak itu aku mulai terbiasa berhubungan suami istri dengan siapapun yang kusuka dan menyukaiku, tanpa ada ikatan pacaran.

Hal itu berlangsung sampai aku SMA. Jadinya, kalau lama nggak begituan kepalaku jadi pening. Jika terpaksa nggak ada lawan tanding, aku melakukan masturbasi.

Sampai kemudian aku kenal dengan Didi (bukan nama sebenarnya). Dia itu adik kandung suaminya kakakku. Artinya aku dan Didi adalah saudara ipar. Kakak Didi bernama Budi, sedang kakakku namanya Henny (keduanya bukan nama sebenarnya).

Beberapa kali bertemu dengannya membuat gairah kewanitaanku melonjak. Wajahnya memang nggak begitu ganteng, tapi tubuhnya yang tegap dengan dada bidanglah yang membuatku blingsatan jika bertatap muka dengannya. Apalagi orangnya kalem. Kata Henny, Didi hobinya berenang dan sepak bola. Hmm, pantas saja bodinya atletis.

Saking kuatnya hasratku terhadap Didi, sehingga membuatku memutar otak untuk bisa mewujudkannya. Oh ya, Didi nebeng di rumah Budi dan Henny karena ia kuliah di kota yang sama dengan mereka. Aslinya ia berasal dari sebuah kota kecil di Sumatra Selatan dan merantau ke Jawa untuk kuliah.

Yang membuatku sering bertemu dengan Didi karena aku sering datang ke rumah Henny untuk membantu memasak buat café-nya. Budi dan Henny membuat café dekat stasiun di kotaku dan buka mulai jam 6 sore sampai jam 2 pagi.

Suatu hari, saat sibuk membantu Henny aku tak melihat Didi. Padahal biasanya ia ikut sibuk menyiapkan peralatan untuk dibawa ke café. Ternyata ia sedang berkonsentrasi belajar untuk menghadapi ujian semester. Dari situ aku tiba-tiba punya ide.

Biasanya, setelah menyiapkan semua masakan dan membawanya ke café, aku langsung pulang. Tapi hasrat birahiku yang sedang tinggi memaksaku kembali ke rumah Henny yang pastinya sedang kosong, karena Budi dan Henny berada di café, dan hanya ada Didi saja.

Sampai di rumah Henny aku langsung menemui Didi yang sedang memelototi bukunya. Ia tampak kaget melihat kedatanganku. Aku beralasan numpang mandi dan berbohong kalau air di rumah sedang mati. Aku pun memang terus mandi agar tubuhku wangi, setelah berkeringat saat memasak tadi. Selesai mandi kukenakan celana dalamku lalu kubalut tubuhku dengan handuk, sementara baju, celana jins dan BH kutenteng. Aku berharap, dengan tampil sexy akan membuat Didi terangsang dan bernafsu meniduriku.

Aku berusaha untuk tampil wajar saat masuk lagi ke kamar Didi. Didi menoleh sebentar ke arahku dan ia tampak agak tertegun, lalu kembali asyik dengan bukunya. Tapi aku pura-pura tak menyadari dan mulai melancarkan aksiku.

“Di, tolong pasangin BH-ku dong”, pintaku seraya mendekati Didi.

Lagi-lagi Didi tampak kaget dan memalingkan wajahnya ke arahku. Ia terlihat ragu saat beranjak dari tempat duduknya dan menerima BH yang kusodorkan. Aku berbalik membelakanginya sambil melepas handuk di tubuhku lalu menunggunya memasangkan BH. Tapi kutunggu beberapa saat Didi tak juga melaksanakan tugasnya. Padahal aku sudah berharap ia mendekapku, lalu mendorongku ke tempat tidur. Tapi aku tak kurang akal. Kubalikkan kembali tubuhku hingga kami berhadap-hadapan. Ia terlihat tertegun melihat dadaku yang dihiasi payudara berukuran 34.

Kuambil kembali BH-ku dan kulempar ke lantai. Tanpa ragu, kupagut dan kulumat bibir Didi dengan penuh nafsu. Herannya, ia diam saja tak membalas ciumanku. Di situ aku baru yakin kalau Didi adalah cowok lugu yang tak pernah bersentuhan sama cewek. Berarti ia masih perjaka ting-ting. Saat itulah kurasakan sesuatu menekan bagian tubuhku. Ia ereksi. Sambil memagut bibirnya kuraih tangan Didi dan kuletakkan di payudaraku sambil membimbingnya untuk melakukan gerakan remasan. Setelah ia mahir meremas kulepas tanganku untuk meraih milik Didi yang telah mengeras. Tanpa malu-malu kususupkan tanganku ke celana pendeknya. Aku terkesiap dalam hati. Dari remasanku di “senjata” Didi kurasakan kalau miliknya berukuran besar. Aku pun nggak tahan untuk meremasnya kuat-kuat.

Setelah berciuman kuarahkan wajah Didi ke dadaku.Meskipun lugu, ia paham dengan keinginanku. Mungkin ia juga ingin tapi malu. Begitu kusodorkan payudaraku, Didi langsung menghisap-hisap dengan penuh nafsu.

Gejolak birahi yang semakin besar membuatku makin nggak sabar. Aku jongkok di depan Didi, melepas celananya, lalu memasukkan miliknya ke mulutku seperti orang kelaparan. Saat membuka celananya aku takjub melihat begitu besar dan panjangnya “senjata” Didi, lebih besar dan panjang dari milik semua laki-laki yang pernah meniduriku. Mulutku terasa penuh dan itu masih kuingat sampai sekarang.

Didi hanya diam memandangiku yang sibuk dengan “senjatanya”. Kupuasi dahagaku pada organ vital laki-laki yang begitu indah dan memabukkan. Kurasakan milikku makin basah dan basah. Desahan Didi membuatku makin merajalela di “senjatanya” yang sangat keras.

Setelah puas aku beranjak dan menarik Didi ke tempat tidur. Kubaringkan tubuhku lebih dahulu sambil melepas celana dalamku, lalu merengkuh tubuh Didi di antara kedua kakiku yang mengangkang lebar.

“Cepat masukin, Di. Cepat, Di. Aku sudah nggak tahan”, pintaku dengan nada merengek manja. Dan Didi, meskipun lugu, tapi tahu apa yang harus dilakukan. Ia hunjamkan “senjatanya” ke dalam milikku dengan mulus karena sudah sangat basah. Aku memekik merasakan kenikmatan yang begitu dahsyat. Dan hunjaman demi hunjaman berikutnya membuat sendi-sendiku terasa lemas. Aku hanya bisa mendesah, mengerang, merintih dan suara-suara lain yang menggambarkan betapa nikmatnya saat itu. Dalam waktu yang tidak begitu lama aku menggelepar dalam puncak orgasme yang luar biasa. Kutahan tubuh Didi agar berhenti bergoyang. Nafasku tersengal, memburu hingga eranganku terputus-putus.

Kunikmati puncak kepuasan itu beberapa saat, sementara Didi mulai pandai beraksi. Ia remas-remas payudaraku bergantian untuk mengisi waktu menunggu permintaanku berikutnya.

Setelah agak tenang kuminta Didi untuk berbaring dan aku berada di atasnya. Lagi-lagi aku mengerang terhunjam “senjata” Didi yang masih tegak berdiri. Kugoyang tubuhku pelan-pelan, menikmati desiran birahi yang menghentak sampai ke ubun-ubun. Makin kuat birahi tercipta, makin cepat goyanganku. Sekali lagi aku orgasme. Kubaringkan tubuhku di dada Didi disertai desis manja dan pujian pada kehebatan Didi.

“Ohh, kamu kuat sekali, Di. Aku orgasme lagi”, cetusku tersendat akibat nafas yang memburu. Sambil berbaring kugoyang pinggulku karena masih merasakan denyutan nikmat yang tak bisa kugambarkan enaknya. Aku kembali bangkit untuk bergoyang saat rangsangan kembali menjalariku. Tapi tak berlangsung lama karena aku orgasme lagi. Aku heran begitu cepat orgasme, sedangkan Didi tampaknya masih belum ada tanda-tanda ejakulasi.

Aku beringsut dari atas tubuh Didi dan menungging di sampingnya.

“Ayo, Di, lagi…”, tantangku.

Dalam posisi menungging tampaknya Didi kurang ahli. Beberapa kali hunjamannya meleset dan membuatku tersenyum geli. Mau tak mau aku membimbingnya agar tepat sasaran. Begitu tepat aku mengerang panjang. Kugenggam erat seprai tempat tidur Didi seolah hendak mencabiknya saat kenikmatan kembali menjalariku. Tubuhku kembali terasa melayang ke awang-awang akibat begitu dahsyatnya kenikmatan dari setiap hunjaman Didi.

“Di, kalau mau keluar cepet dicabut ya…”, ujarku terbata-bata disela desah nafas yang memburu.

Didi semakin cepat menggoyang tubuhnya dan aku orgasme lagi. Tapi kubiarkan Didi terus bekerja sampai aku orgasme lagi dan tak kuat menungging. Kubaringkan tubuhku di ranjang hingga “senjata” Didi lepas. Bertepatan dengan itu Didi mengerang lalu kurasakan cairan hangat di punggung, pantat dan pahaku.

Kubalikkan tubuhku dengan lunglai dan kutatap Didi dengan wajah sayu.

“Gila kamu, Di. Aku sampe lemes banget…”, kataku dengan nada manja.

Didi pun membaringkan tubuhnya di sampingku. Nafas kami sama-sama memburu.

Setelah tenang aku beranjak dari tempat tidur. Seprai yang kutiduri basah oleh sperma Didi yang sangat banyak. Kuambil celana dalamku dan kulap ceceran cairan kenikmatan itu. Didi hanya memandangiku tanpa ekspresi. Mungkin ia masih belum percaya kalau baru saja menyetubuhiku yang notabene adalah saudara iparnya sendiri.

Kumasukkan celana dalamku ke dalam tas lalu kukenakan BH, baju dan celana jinsku. Kudekati Didi yang masih berbaring sambil meremas “senjatanya”.

“Aku pulang dulu ya, sayang… Tolong jangan kasih ini ke cewek lain yaaa…”, aku merajuk manja. Kusempatkan mengulum sebentar “senjata” Didi yang layu lalu pergi meninggalkannya. Aku benar-benar puas malam itu. Sampai di rumah aku langsung tidur. Didi benar-benar telah membuatku tepar.

Bisa ditebak, hari-hari selanjutnya kami kembali melakukannya dan melakukannya, karena situasi sangat mendukung. Hubungan gelapku dengan Didi terus berlangsung sampai aku lulus SMA dan baru berakhir saat Didi menyelesaikan studi sarjananya. Ia kembali ke kota asalnya dan bekerja di sana. Hanya saja, kadang kami masih sempat bergoyang ria jika Didi datang ke kotaku dan ada kesempatan untuk itu. Bahkan meskipun aku punya pacar baru, aku masih mendambakan gempuran Didi yang selalu dahsyat dan bikin ketagihan. (Nuri [bukan nama sebenarnya], 23 tahun, Bogor)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar