Sabtu, 11 Juli 2015

Gairah Asmara Kakak Ipar

Sebelumnya, salah seorang kakak iparku, sebut saja namanya Angie, adalah sosok paling menyebalkan di mataku. Sengaja kukasih nama samaran Angie soalnya type wajahnya mirip Angelina Sondakh. Memang cantik sih, dan juga sukses, tapi nggak gitu-gitu juga kaleee. Angkuh-angkuh gimana gitu.

Angie adalah istri dari Bang Ade (bukan nama sebenarnya), anak pakdeku. Awalnya aku nggak percaya kalau Bang Ade bisa punya istri secakep itu, padahal menurutku sih tampang Bang Ade biasa-biasa aja. Cuman menang kaya doang.

Padahal dulunya, waktu Bang Ade sama Angie pacaran, sering banget pinjem mobil papaku. Tapi begitu mereka kerja dan sama-sama sukses, mulai deh kelihatan aslinya, terutama Angie.

Waktu aku mahasiswa adalah puncak-puncaknya kesebelanku pada Angie. Dia yang waktu itu mulai menanjak karirnya bertingkah kayak orang kaya baru pada umumnya. Tiap ngumpul lebaran di rumah Oma (nenek), dia itu paling getol bergaya. Dandanannya kayak artis. Yang diomongin sekitar kesuksesannya melulu. Dia dan Bang Ade datang dengan mobil yang selalu baru tiap lebaran.

Makin hari makin sebel aja aku sama Angie, sampai-sampai punya pikiran buat naklukin dia. Dan bukan Popo namanya kalau nggak bisa bikin Angie bertekuk lutut. Kebetulan waktu itu ada kesempatan. Bang Ade nelepon aku kalau Angie mau ke kotaku (tempat aku kos) buat ketemuan sama klien barunya.

Pada hari H-nya kujemput Angie di bandara pakai taksi, lalu kuantar ke hotel tempat ia booking. Setelah basa-basi, aku balik ke kos. Sorenya aku ke hotelnya lagi, soalnya sudah janjian mau ngajak dia jalan. Ketemuan sama kliennya baru besok siangnya.

Waktu aku sampai di kamarnya, aku tertegun melihat Angie lagi pakai baju tidur agak tipis. Ia cuek aja ngajakin aku ngobrol sambil ganti baju. Aku juga pura-pura nggak peduli sama penampilannya, padahal jantungku dag dig dug ngeliat bodinya yang aduhai banget. Singkat cerita sore sampai malam itu aku keliling kota yang baru pertama kali ini didatanginya. Habis itu Angie ngajak makan malam. Kubawa dia ke restoran yang lumayan mewah dan makanannya enak-enak. Aji mumpung lah, hehehe… Kapan lagi aku bisa makan enak gratis, pikirku. Waktu makan Angie berpesan kalau besok aku nggak usah datang ke hotelnya karena jadwalnya padat.

Malamnya setelah ngantar Angie balik ke hotel, aku langsung pulang ke kos. Tapi aku susah tidur mikirin body Angie yang sexy banget. Kebayang buah dadanya yang ranum tak tertutup BH di balik baju tidurnya dan celana dalam sexy berwarna merah marun yang samar-samar terlihat. Kupikir, mumpung ia ada di kotaku, aku harus bisa memanfaatkan kesempatan untuk menaklukkannya.

Meskipun Angie sudah melarangku untuk datang ke hotelnya, tapi aku nekad datang juga sorenya. Kupikir, masa sih dia mau seharian sibuk dengan urusan kerja. Pas sampai di lobby, kulihat Angie baru keluar dari resto hotel. Ia sama seorang laki-laki berjas dan berdasi. Tadinya mau langsung kusapa, tapi ia keburu masuk ke dalam lift. Aku pun menyusulnya dengan lift satunya. Begitu aku keluar lift, kulihat Angie sedang membuka pintu kamar dengan kuncinya sementara si laki-laki menunggu di belakangnya. Jantungku langsung berdebar-debar. Kutunggu beberapa sampai mereka masuk ke kamar.

Aku termenung sendirian di sofa yang ada di pojokan dekat jendela. Sesekali mataku melihat ke arah deretan kamar di mana salah satunya adalah kamar Angie. Sudah 20 menit aku duduk di situ. Pikiranku menduga-duga, apa yang mereka lakukan berdua di dalam kamar hotel? Jika itu memang benar klien Angie, kenapa diajak ke kamarnya? Kuhibur diriku dengan membaca-baca majalah dan koran yang tersedia di situ sambil merokok. Tapi pikiranku tak tenang. Jelas ada yang tak beres dengan perilaku Angie. Satu jam berlalu, tak ada tanda-tanda Angie atau laki-laki itu keluar kamar. Apalagi yang dilakukan sepasang laki-laki dan perempuan yang hanya berdua saja di dalam kamar kalau bukan “bersenang-senang”?

Benakku terus berkecamuk dugaan-dugaan negatif tentang Angie. Besar kemungkinan laki-laki itu bukan sekedar klien, tapi selingkuhannya. Sudah 2 batang rokok kuhabiskan untuk menenangkan pikiranku. Andai aku Bang Ade, pasti sudah kudobrak pintu kamar Angie dari tadi.

Saat aku hendak menyulut rokok ketiga, pintu kamar Angie terbuka dan laki-laki itu berjalan keluar. Aku pura-pura baca koran untuk menutupi badanku, tapi sudut mataku mengamati laki-laki itu yang melangkah menuju lift dekat tempat aku duduk. Lumayan ganteng dan gagah, pikirku.

Begitu si laki-laki masuk lift, aku langsung mendatangi kamar Angie. Dia tampak sangat kaget waktu membuka pintu sedikit dan mengintip dari baliknya. Tanpa menunggu disuruh masuk, aku nyelonong saja ke dalam. Aku pun tak kalah kagetnya melihat Angie berbaju tidur tipis tanpa menggunakan apa-apa di dalamnya. Sesaat kemudian ia bersikap ramah, bahkan jauh lebih ramah dari sebelumnya. Melihat caranya berpakaian, sudah pasti telah terjadi “sesuatu” antara Angie dengan laki-laki itu. Apalagi tempat tidurnya masih kusut dan baju yang tadi dipakai Angie waktu keluar dari resto hotel berceceran di karpet.

Aku melihat sebuah kesempatan emas. Ia langsung kucecar dengan pertanyaan seputar laki-laki yang barusan keluar dari kamarnya.

“Kak, tadi aku papasan sama cowok, kayaknya dia baru keluar dari kamar kakak, deh”.

Angie terlihat gugup mendengar pertanyaanku yang pasti tak diduganya. Dia bilang itu kliennya dan mereka mampir sebentar untuk mengambil dokumen di kamarnya.

“Akh, masa sih nemuin klien pakai baju ginian?”, sergahku.

“Kakak barusan aja ganti baju terus kamu datang”, nada suara Angie bergetar pertanda ia bohong. Jelas bohong lah. Waktu antara laki-laki itu keluar kamar hingga kudatangi Angie ke kamarnya tak sampai 1 menit. Mana mungkin ia secepat itu ganti baju. Dipikir dirinya Supergirl kali ya?!? Tapi aku nggak berusaha menyanggah jawabannya.

“Lagian ngga pantas lah nemuin klien di kamar. Berduaan lagi. Coba kalo aku ini Bang Ade udah pasti kuhajar cowok itu”. Angie terdiam mendengar ucapanku. Ia pasti ketakutan sekali kalau kulaporkan perbuatannya pada Bang Ade. Selama ini, Bang Ade lah yang banyak berjasa padanya, mulai dari mencarikan Angie kerja sampai cari klien. Apalagi orang tua Bang Ade kaya raya. Hidup mewah Angie pastilah karena campur tangan mertuanya.

Sambil menunjukkan tampang marah, kutatap ranjang yang kusut bed covernya. Lalu mataku tertuju pada calana dalam model sexy berwarna hitam teronggok di karpet. Kuambil celana dalam itu dan kugenggam erat-erat. Angie masih terpaku di tempatnya.

Lalu aku duduk di tepi ranjang sambil mengamati ranjang. Kulihat ada sesuatu yang basah di bed cover. Saat kucolek, rasanya dingin dan agak kental. Kutunjukkan jariku ke Angie.

“Apa ini? Kalo ngga salah ini sperma. Iya ‘kan?”, kataku dengan nada setengah membentak.

Tiba-tiba Angie bersimpuh di depanku dengan wajah mengiba. Kedua tangannya bertumpu di lututku.

“Tolong jangan bilang Bang Ade, Po … Please …”

“Aku bukan type tukang ngadu orang, kak. Tapi kakak sudah keterlaluan. Pamitnya ke Bang Ade mau ketemuan sama klien. Ternyata sama pacar gelap!”

“Kakak khilaf, Po. Swear …”, ujar Angie memelas.

“Kamu mau apa aja kakak kasih, tapi jangan bilangin Bang Ade ya?”, lanjutnya sambil mengusap-usap lututku. Dadaku berdebar kencang. Kupikir, itulah saatnya aku mewujudkan fantasiku.

“Apa aja? Bener nih?!”, kataku dengan nada tinggi.

“Iya. Swear … Ngomong aja kamu mau apa, pasti kakak kasih”, raut wajahnya berubah agak cerah.

“Oke, aku minta kakak buka baju”, ujarku asal nyeplos.

Tak kusangka, tanpa malu-malu Angie langsung berdiri dan melucuti baju tidurnya. Dua bukitnya yang penuh berisi dan bulu-bulu kemaluannya yang tipis terpampang tepat di mukaku. Kupandangi sekujur tubuhnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kulitnya putih mulus. Wangi pula. Otomatis kelelakianku bangkit dan mengeras.

Angie yang semula hanya berdiri di depanku berjalan menghampiriku. Ia pegang bahuku, sementara satu kakinya di naikkan di tepi ranjang, sehingga perutnya tepat berada di wajahku. Kemudian ia dorong tubuhku hingga terbaring di ranjang. Sesaat kemudian Angie melepas resleting celana jinsku lalu memelorotkannya hingga ke ujung kakiku. Tangannya mengusap lembut “milikku” yang telah mengeras di balik celana dalamku. Setelah itu Angie melepasnya. Begitu celana dalamku terlepas mulutnya langsung menyergap “senjataku” dengan hisapan dan kuluman lembut.

Makin lama kulumannya makin dahsyat karena disertai hisapan agak kuat. Sesekali matanya menatapku, sesekali berkonsentrasi pada “milikku”. Aku biarkan saja ia melakukan tugasnya. Rasa nikmat yang menjalar makin terasa setiap kali lidahnya terjulur-julur di ujung “senjataku”. Pacarku sudah terbiasa melakukan hal itu padaku, tapi tidak sedahsyat Angie. Kalah pengalaman kali ya …

Keadaan berlanjut menjadi semakin panas ketika Angie memintaku untuk bergeser ke tengah ranjang. Ia mengikuti naik ke ranjang dan memposisikan diri di atasku. Kemudian ia membungkuk dan melumat bibirku dengan bernafsu. Aku pun membalas pagutannya. Sambil berciuman Angie menggeser-geser “miliknya” di “milikku” hingga akhirnya masuk. Mula-mula ia hanya bergoyang-goyang kecil dan hanya fokus pada ciuman. Lama-lama goyangannya makin heboh. Angie pun kemudian bangkit karena berganti fokus pada hunjaman “milikku” di “miliknya”.

Berkali-kali Angie mendesah dan mengerang. Kuremas-remas buah dadanya yang kencang. Maklum ia belum punya anak.

“Aduuhh, enak, sayang … Enak, sayang …”, ucapnya dengan mata terpejam. Sesekali ia ikut meremas buah dadanya sendiri sambil terus bergoyang.

Beberapa saat kemudian ia rebahkan tubuhnya di tubuhku. Dibenamkannya kepalanya di leherku sambil berujar dengan suara bergetar, “Ooohhh, kamu hebat, sayang … Kamu hebaaat … Ohhhh …”

“Gantian aku yang di atas, kak …”, kataku.

“Bentar dong, sayang … Masih enak nih … Ohhh …”, desah Angie. Nafasnya memburu dan goyangannya melemah.

“Nggghhh …”, Angie mengejang dengan giginya yang putih terkatup rapat. Tampaknya ia telah mencapai orgasme.

“Nungging dong, kak ..”, pintaku.

Begitu Angie beringsut dari atasku dan mengambil posisi nungging, kulepas bajuku dan kemudian menghujamkan “milikku” ke dalam “milik” Angie yang sudah sangat basah. Angie mengerang lirih. Erangannya berubah menjadi pekik terputus-putus saat aku mulai menggoyangnya.

“Oh, oh, oh, oh, oh …”, begitulah suaranya yang terdengar sangat merdu di telingaku, pertanda ia merasakan kenikmatan dari setiap hunjamanku. Ini adalah posisi yang paling aku suka karena aku bisa melihat pantat lawan mainku bergetar-getar tiap kali digoyang. Kumain-mainkan irama goyanganku, kadang cepat, kadang lambat, kadang menghentak tiba-tiba. Angie menggelepar-gelepar sambil mengeluarkan suara-suara menggairahkan, hingga akhirnya merebahkan tubuhnya. Kuikuti ia sambil terus melancarkan serangan. Meskipun Angie tengkurap, tapi “senjataku” tetap bisa mencecarnya dengan tusukan-tusukan maut, karena “senjataku” lumayan panjang.

Setelah puas melakukan serangan belakang, Angie kuminta telentang dan kemudian kuhujani lagi dengan hunjaman bertubi-tubi. Sesekali kurebahkan tubuhku di atas tubuhnya dan sambil terus bergoyang kulumat habis bibir Angie. Kedua tangannya membelit erat bahuku disertai dengan cengkraman kuat.

Terlalu lama bergoyang membuat tubuhku terasa letih. Nafasku memburu. Meski begitu nafsuku masih menggebu-gebu karena belum mencapai klimaks. Akhirnya Angie kuajak ke meja rias dekat ranjang. Ia kusuruh duduk di meja, dan aku kembali menancapkan “tugu Monasku” ke dalam “miliknya”. Dengan cara begitu tenagaku tak terlalu terkuras. Aku bisa memain-mainkan goyanganku sambil mencumbui bibir dan buah dada Angie.

“Ohh, kamu kuat sekali, sayang … Ohh, terus en**t aku, sayang … Ohhh, terusss …”, gumam Angie di telingaku. Aku jadi makin bersemangat hingga meja bergoyang cukup keras, sehingga perlengkapan Angie, seperti parfum, lipstik, dan deodoran, yang ada di atas meja terguling semua. Setelah itu Angie turun dari meja dan menungging dengan bertumpu di meja. Dalam posisi itu, baik aku maupun Angie bisa melihat langsung aksi kami di depan cermin.

“Aku mau keluar, kak …”, kataku saat kurasakan air maniku sampai di ujung “senjataku”. Buru-buru Angie jongkok di depanku dan aku terus mengocok “milikku” sampai tumpah di mulut dan wajah Angie. Kemudian Angie mengulum “milikku” dengan penuh perasaan. Hisapannya terasa geli tapi nikmat.

Setelah membersihkan diri, Angie dengan masih telanjang bulat membaringkan tubuhnya di atasku dan memintaku untuk menginap di situ. “Siapa takut?!”, pikirku. Malam itu aku benar-benar puas telah berhasil membuat Angie bertekuk lutut. Dan hubungan kami tidak berakhir ketika Angie kembali ke Jakarta. Ia sangat aktif menghubungiku lewat HP. Kadang menelepon, kadang hanya SMS. Kata-katanya sangat mesra, seperti orang sedang dilanda asmara. Bahkan ia mengajakku melakukan sex phone malam-malam saat Bang Ade tidak di rumah.

Tak sampai 1 bulan kemudian ia datang lagi ke kotaku dan khusus untuk menemuiku. Ia menginap di hotel yang sama selama 2 hari, dan selama itulah kami berbagi kenikmatan ranjang. Meskipun usianya sudah hampir mencapai angka 4, tapi goyang ranjangnya tak kalah dengan pacarku. Bahkan Angie lebih banyak berinisiatif. Seperti misalnya waktu kami jalan naik mobil sewaan, ia tak segan-segan membuka resleting celanaku dan menghisap “milikku” saat kami melewati jalan yang sepi dan agak gelap. Pokoknya Angie top dah …

Kedekatanku dengan Angie membuatnya lebih terbuka padaku. Curhat lah. Katanya, Bang Ade makin jarang menyentuhnya. Ia terlalu sibuk dengan urusan bisnisnya. Itulah sebabnya ia tergoda pada teman SMA-nya, yang tak lain adalah laki-laki yang pernah kulihat di hotel. Tapi Angie bilang kalau ia sudah “putus” dengan laki-laki itu. Ia berjanji tak ingin lagi selingkuh dari laki-laki lain karena telah mendapat kepuasan dariku (walaupun sebenarnya itu termasuk selingkuh juga ‘kan?). Bisa dikatakan, sebulan sekali Angie datang untuk sekedar melepaskan hasrat birahinya bersamaku. Aku pun pernah datang ke Jakarta atas permintaannya. Waktu itu libur semesteran. Selama seminggu di Jakarta aku tak hanya mendapatkan kepuasan rohani dari Angie, tapi juga materi. Ia memberiku berbagai hadiah, seperti HP, baju, celana, dan kartu debet yang rutin ia isi setiap bulan sebagai tambahan uang sakuku.

Hubunganku dengan Angie berjalan lancar, selancar hubunganku dengan pacarku, sebut saja namanya Lily. Tapi pada Angie aku mengaku jomblo.

Satu setengah tahun sejak aku jadi “simpanan” Angie, aku dikejutkan dengan telepon darinya. Ia cerita kalau Bang Ade sudah kawin lagi dengan sekretarisnya dan itu sudah berlangsung hampir 3 tahun. Bang Ade punya 1 anak dari istri barunya. Angie cerita sambil nangis. Besoknya ia datang ke kotaku dan cerita lagi tentang itu. Terus terang aku nggak tahu harus berbuat apa, karena kupikir, Angie termasuk bersalah juga karena juga selingkuh. Tapi ia sepertinya tidak merasa bersalah. Ia sangat kecewa dan kesal pada Bang Ade yang telah membohonginya. Asyiknya, ia tumpahkan kekesalannya dengan melakukan hubungan intim denganku. Ia amat sangat hot, jauh lebih hot dari sebelumnya, seperti wanita jalang yang haus seks. Angie tak segan-segan mengungkapkan kenikmatannya melalui erangan dan lenguhan keras. Saat spermaku keluar, ia menelannya bulat-bulat tanpa merasa jijay (jijik). Bahkan ia memintaku untuk melakukan anal sex! Seharian kami begumul di ranjang, seolah besok akan kiamat.

Entah ronde ke berapa malam itu, saat tengah memacu birahi Angie ingin aku keluarkan spermaku di dalam. Sambil terengah-engah ia bilang kalau ia ingin hamil. Aku tentu saja tak mau. Urusan bisa tambah runyam. Saat aku orgasme, cepat-cepat kucabut “senjataku” dan kutumpahkan di pantatnya (waktu itu Angie dalam posisi nungging). Angie terlihat kesal setelah itu, tapi aku tak peduli. Aku hanya ingin bersenang-senang dengannya dan tak ingin dilibatkan dalam masalah yang dihadapinya. Lagipula, kupikir ia sedang emosional dan berpikir panjang.

Ternyata itu adalah pertemuan terakhirku dengan Angie. Ia tiba-tiba saja menghilang tak ada kabarnya sama sekali. Mungkin ia kecewa karena aku tak “ko-operatif” dengan menolak menghamilinya. Aku sempat merasa kehilangan dia, tapi setelah kupikir-pikir, mungkin lebih baik begitu. Cukup sudah petualangan seksku dengan Angie. Sepertinya keadaan berbalik. Dulu tujuanku adalah menaklukkannya, tapi kemudian berkembang, sepertinya aku yang menjadi obyek seksual Angie untuk mengisi kesepiannya karena jarang dibelai Bang Ade.

Di lain pihak, aku sudah terlalu banyak berbohong pada Lily sejak ada Angie. Memang Angie telah banyak memberi warna dalam hidupku, tapi ia hanyalah seseorang yang numpang lewat yang hadir di hatiku dan kemudian pergi lagi.

Pada lebaran-lebaran berikutnya Angie tak pernah datang. Begitu pun Bang Ade. Tapi dari kasak-kusuk kerabat-kerabatku, mereka tidak bercerai. Angie tetap jadi istri Bang Ade, hanya saja statusnya jadi istri pertama. Sampai hari ini mereka tidak dikaruniai anak, sementara dari istri kedua Bang Ade sudah punya 2 anak. [Popo (nama samaran), 29 Tahun, Jakarta]

4 komentar :