Gara-gara patah hati dengan cinta pertamaku membuatku enggan untuk berpacaran lagi. Tapi berkat bantuan dari teman kantor yang menjadi mak comblang, akhirnya aku menemukan kembali cintaku. Aku dikenalkan dengan salah seorang kerabatnya. Tadinya aku ragu, karena usiaku tergolong tua, yaitu 38 tahun, sedangkan gadis itu, sebut saja namanya Venny, masih 23 tahun. Tapi yang namanya jodoh, jadi juga aku berpacaran dengan Venny, anak tunggal seorang pengusaha kaya raya di kotaku.
Saat usia pacaran kami 7 bulan, ayah Venny meninggal dunia. Hal ini membuat keluarga Venny menetapkan agar kami segera menikah di hadapan jenazah ayah Venny. Padahal sebenarnya antara keluargaku dengan keluarga Venny sudah sepakat untuk menikahkan kami 3 bulan lagi. Karena keadaan itu, pernikahan kami dipercepat.
Setelah menjadi suami istri aku tinggal di rumah Venny, bersama mamanya yang bernama Tanti (bukan nama sebenarnya). Karena sudah menjadi mertuaku, aku pun memanggilnya Mama.
Selama 6 bulan mengarungi rumah tangga, hidup kami baik-baik saja. Sampai suatu hari, aku baru pulang dari dinas luar kota selama seminggu. Dengan pesawat paling pagi, aku tiba di rumah sekitar jam 12 siang dan berencana untuk tidak ngantor karena jamnya tanggung. Kutelepon Venny yang sedang bekerja bahwa aku sudah sampai rumah.
Di rumah megah berlantai 2 dan memiliki 7 kamar tidur itu aku berniat untuk istirahat setelah makan siang bareng Mama. Tapi sebelum masuk kamar aku bersantai di ruang keluarga membaca-baca koran yang terlewat olehku selama seminggu. Tengah asyik membaca koran HP-ku berbunyi. Ternyata dari Mama. Memang hal biasa jika aku ataupun Venny berkomunikasi melalui HP dengan Mama karena saking besarnya rumah yang kami tinggali.
“Ya, Ma. Ada apa?”
“Jef, Mama bisa minta tolong. Kamu ke kamar Mama yah…?”, suara Mama terdengar agak sedikit bergetar. Tidak seperti biasanya yang lugas dan ceria. Kupikir Mama sakit, karena waktu makan siang bareng tadi ia terlihat lebih pendiam.
Kulipat koran di tanganku lalu aku bergegas ke kamar Mama. Waktu pintu ku buka, cahaya kamarnya temaram. Darahku berdesir saat kulihat Mama berdiri di samping ranjang, mengenakan baju tidur tipis berwarna hitam, sehingga dua buah gunungnya terlihat tanpa ada BH yang menutupinya.
Meskipun usianya sekitar 55 tahun, tapi body Mama masih terlihat bagus. Maklum orang berada, apapun bisa dilakukan demi menjaga keindahan tubuhnya. Beberapa detik lamanya aku tertegun di depan pintu sampai suara Mama menyadarkanku.
“Tutup pintunya, Jef. Lalu kamu ke sini ya…”, pinta Mama. Tatapannya sendu dan suaranya agak sedikit serak.
Kuikuti perintah Mama dan dengan dada berdebar kudekati dia. Begitu aku mendekat Mama merengkuhku dalam pelukannya.
“Jefry, tolong Mama ya sayang… Mama sudah ingin banget… Mau ya sayang…?”, Mama berkata agak berbisik sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku.
“T…tapi, Ma…”, aku masih tak percaya dengan sikap Mama yang tak biasa itu.
“Mama tau Mama mertuamu, tapi tolonglah… sekarang ini anggap Mama orang perempuan biasa yang butuh kehangatan dari laki-laki”, Mama menatapku dengan mata berkaca-kaca. Terlihat sekali kalau sangat mengharapkan sesuatu.
“Please, Jef. Sekali ini saja lakukan untuk Mama…”, suara Mama makin serak.
Jujur saja, saat melihat mama mertuaku dalam keadaan seperti itu aku langsung terangsang. Tapi akal sehatku memaksaku untuk bertahan, karena kupikir, mana mungkin aku meniduri mama dari istriku sendiri? Hanya saja, begitu Mama memelukku erat dan kulit kami saling bersentuhan, ditambah suasana kamar yang sejuk karena AC, aroma parfum Mama yang begitu merangsang, dan keadaan yang sepi (karena semua pembantu Mama yang berjumlah 3 orang ada di belakang) membuatku lupa diri. Kupagut bibir Mama dengan lembut dan Mama membalasnya dengan hangat. Baru begitu kurasakan desah nafas Mama yang menguat, menandakan kalau ia amat sangat mendambakan kehangatan lelaki.
Memang sejak awal aku mengenal orang tua Venny, mereka terlihat selalu mesra dan harmonis. Itulah mungkin sebabnya Mama sangat kehilangan ketika suaminya meninggal dunia. Ia menahan kebutuhan biologisnya selama hampir setahun sampai akhirnya tidak tahan lagi dan memintaku untuk memenuhinya.
Tadinya kupikir wanita seusia Mama sudah tidak butuh lagi hubungan intim, tapi rupanya aku salah. Sesaat setelah bibir kami berpagutan, Mama sudah menunjukkan betapa besar gairah seksualnya. Ia terlihat begitu agresif, seiring dengan dengus nafasnya yang memburu hingga terdengar terengah-engah. Dilucutinya baju dan celanaku dan setelah itu dicumbuinya sekujur tubuhku dengan kecupan bibir dan lidahnya yang terasa hangat.
Hal itu tentu saja membuatku makin terangsang. Aku pun memberikan perlawanan yang tak kalah panas. Ranjang yang telah lama dingin saat itu menjadi panas oleh pergumulan tubuh telanjang kami. Mama pun tak segan memekik dan mendesah, merespon cumbuan demi cumbuan yang kulancarkan di sekujur tubuhnya. Terlebih saat ia mengisyaratkan untuk melakukan oral di bagian bawah tubuhnya, ia tak henti-hentinya menggelinjang, meregang dan merintih. Sampai-sampai kuku-kuku jemarinya menancap kuat di tubuhku yang menunjukkan kalau ia sangat bernafsu.
Yang juga tak kalah heboh adalah cara ia memainkan “senjataku” dengan mulutnya. Tak ada sejengkalpun bagian yang terlewat oleh hisapan, pagutan dan jilatannya di bagian bawah tubuhku. Itu dilakukannya sambil menggumam dan mendesis, kadang terputus kadang panjang.
Dan Mama jugalah yang mulai melakukan penetrasi. Ia duduk di atasku dan menggoyang tubuh sintalnya bagaikan mesin tumbuk menggilas daging. Sungguh tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa siang itu aku bergumul dengan mama mertuaku seperti halnya yang kulakukan pada istriku. Mama terkapar di ranjang dengan nafas tersengal setelah kubuat ia orgasme empat kali dalam empat gaya yang berbeda. Entah berapa kali ia berucap terima kasih padaku. Wajahnya terlihat ceria dan bahagia saat ia memelukku dengan mesra.
Sebetulnya aku masih bisa membuatnya orgasme lagi, tapi rupanya Mama sudah tak berdaya. Dan ia melakukan yang tak pernah dilakukan oleh Venny. Mama menghisap lagi “senjataku” yang sudah basah oleh cairannya tanpa rasa jijik sedikitpun. Bahkan ia melakukannya dengan lahap sampai akhirnya cairanku tumpah di dalam mulutnya. Ia tak segera mengeluarkan “senjataku”, tapi masih terus melakukan hisapan-hisapan kecil sampai “senjataku” bersih. Sungguh luar biasa.
Mama memintaku untuk istirahat di kamarnya sambil menunggu sampai deru nafas kami kembali normal. Aku pun tak keberatan karena tak ingin kehilangan pemandangan tubuh telanjang Mama yang putih mulus dan wangi itu. Dan Mama terus saja memuji keperkasaanku dan bilang betapa beruntungnya Venny bersuamikan aku.
“Pantesan Venny selalu ceria. Habis kamu bikin puas terus sih dia…”, seloroh Mama yang seakan tak mau lepas dari pelukanku. Aku pun hanya tersenyum menanggapinya.
Aku merasakan pedih di beberapa bagian tubuhku akibat cakaran Mama, tapi tak kutunjukkan pada Mama. Aku tahu ia tak sadar melakukannya. Kenikmatan telah membuatnya berbuat sesuatu di luar kesadarannya dan aku memaklumi hal itu karena Venny juga sering melakukannya saat sangat terangsang.
Satu jam kami berbaring di ranjang dan saat aku hendak beranjak untuk berpakaian, Mama menahan pinggulku dan mulai memasukkan “senjataku” ke mulutnya.
“Bentar ya, Jef. Mama pengen ngisep sebentar…”, pinta Mama sebelum melakukan itu. Aku pun menuruti keinginannya. Tapi rupanya hal itu membuatku terangsang lagi. “Senjataku” kembali bangun.
“Eh, kok udah bangun lagi, Jef?”, Mama menatapku dengan senyum sambil tangannya meremas lembut.
“Iya nih, Ma. Mama mau lagi nggak?”, ajakku.
Mama tidak menjawab. Ia kembali melumat “senjataku”. Kubiarkan ia menikmatinya, karena akupun juga merasa nikmat. Tak lama kemudian Mama membaringkan tubuhnya di ranjang sambil menarik pinggulku.
“Ayo, sayang…”, pinta Mama.
Sekali lagi aku dan mama mertuaku bergumul dalam gairah birahi yang meledak-ledak. Kunikmati setiap jengkal tubuh mulus Mama, entah itu dengan mulutku dan juga dengan “senjataku”. Sekali lagi pula tubuh kami terkapar letih dengan deru nafas memburu dalam puncak kenikmatan hubungan intim yang seharusnya tidak boleh kami lakukan. Seperti sebelumnya, cairan spermaku berakhir di dalam perut Mama dan Mama terlihat menikmati sekali cairan kentalku itu.
Aku kembali ke kamarku dalam keadaan letih. Dan meskipun pikiranku berkecamuk memikirkan kejadian itu, aku tertidur juga. Aku terbangun saat sebuah kecupan hangat mendarat di pipiku. Rupanya Venny sudah pulang. Kulihat jam menunjukkan pukul 7. Memang sekitar jam segitu Venny pulang kantor.
Ada yang berbeda ketika aku, Venny dan Mama makan malam. Wajah Mama terlihat cerah dan ceria. Tak seperti sebelumnya yang lebih banyak terlihat muram yang kupikir karena masih belum bisa melupakan suaminya. Pikiranku terbelah dua. Antara senang bisa membahagiakan mama mertuaku dan rasa bersalah pada Venny atas pengkhianatanku. Ada sejumput penyesalan sebetulnya dan aku berjanji dalam hati untuk tidak mengulanginya. Lagipula Mama bilang dia minta sekali itu saja. Semoga saja ia tidak ingin minta lagi.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, hingga tak terasa dua bulan berlalu. Sampai sejauh itu memang benar Mama tidak pernah minta diberi jatah lagi. Tapi entah kenapa justru aku yang tersiksa sendiri. Rasa sesal lambat laun hilang dan berganti menjadi keinginan untuk mengulangi lagi dengan mama mertuaku. Keinginan untuk merasakan lagi sensasi kenikmatan bercinta dengan wanita paruh baya yang memiliki nafsu birahi berapi-api. Aku berusaha keras menahan hasrat itu, tapi setiap kali menatap tubuh sintal Mama gairahku menggelegak, serasa ingin menerkam lalu menggumulinya saat itu juga. Aku sangat berharap ada kesempatan untuk mereguk kenikmatan sekali lagi bersama Mama.
Akhirnya kesempatan itu pun datang juga. Suatu hari Venny harus pergi Singapura untuk urusan bisnis selama 3 hari. Malam pertama tanpa Venny di rumah aku berdebar menunggu “panggilan” dari Mama. Tapi saat makan malam Mama tak menunjukkan tanda-tanda ingin mengajakku. Kami berkomunikasi biasa-biasa saja sampai makan malam selesai. Begitu juga waktu nonton TV berdua, Mama pun bersikap wajar, tak ada isyarat khusus yang memintaku datang ke kamarnya. Tak heran jika malam itu aku sulit tidur, menunggu-nunggu Mama menelepon atau malah datang ke kamarku. Tapi itu tak terjadi. Tampaknya Mama benar-benar menepati janjinya. Tinggallah aku merana dalam balutan birahi yang tak tersampaikan.
Malam kedua aku sudah tak tahan lagi. Aku tak ingin kesempatan emas itu terbuang sia-sia. Sekitar jam 10 malam kudatangi kamar Mama. Untung kamarnya tidak terkunci. Dengan sedikit berjingkat kumasuki kamar Mama yang temaram. Kulihat Mama berbaring di tempat tidur dengan selimut menutupi tubuhnya, tapi entah sudah tidur atau belum aku tidak tahu. Dadaku berdegup tak beraturan saat pelan-pelan kudekati dia. Aku pun nekat naik ke ranjangnya dan dengan hati-hati kusibak selimutnya, bermaksud hendak berbaring di sampingnya agar bisa memeluknya.
Tapi alangkah kagetnya aku saat mengetahui kalau ia telanjang bulat di balik selimutnya itu. Akupun bergegas melepas baju dan celanaku sebelum berbaring lagi di samping Mama. Dengan lembut kucumbui Mama. Tak lama kemudian Mama menggeliat lalu membuka matanya. Tatapannya sendu seperti perempuan sedang ingin.
“Kenapa baru sekarang, Jef…”, ujar Mama lirih sebelum memagut bibirku dan melumatnya seperti dulu. Ternyata kemarin pun sebetulnya Mama sudah berharap aku datang ke kamarnya.
Aku tak menjawab pertanyaannya. Itu nanti saja setelah selesai urusan ranjang, kataku dalam hati. Akhirnya aku pun terkapar puas telah tersalurkan hasratku pada Mama. Mama pun sangat puas telah kubuat orgasme tiga kali. Sambil masih terengah-engah Mama bilang kalau ia sangat ingin melakukan lagi, tapi gengsi. Ia berharap akulah yang memintanya lebih dahulu. Kami tertawa bersama saat menyadari kalau telah saling salah sangka. Dan malam itu dan keesokan malamnya aku tidur di kamar Mama. Tentunya tidak benar-benar tidur, karena semalaman kami sibuk mengumbar birahi, memanfaatkan kesempatan yang ada.
Sejak saat itu, tiap ada kesempatan, walau sekecil apapun, kami manfaatkan untuk bermesraan. Misalnya, saat Venny mandi, aku dan Mama menyempatkan diri untuk berciuman atau melakukan oral kecil-kecilan. Atau malam hari sepulang mengantar Mama belanja ke mall saat Venny tidak bisa ikut karena belum pulang kantor. Dalam perjalanan pulang Mama melumat “senjataku” sambil aku mengemudi mobil. Kulewatkan mobilku di jalan alternatif menuju komplek perumahan kami yang masih sepi dan agak gelap. Aku harus memutar mobilku sampai tiga kali di jalan itu sampai cairanku tumpah di mulut Mama.
Tak terasa dua tahun aku dan mama mertuaku menjalin hubungan gelap. Tahu-tahu Mama mengeluh padaku kalau ia merasa sudah menopause. Kami sempat melakukan dengan bantuan cairan pelumas, tapi Mama merasa tidak nyaman. Ujung-ujungnya, aku sajalah yang merasa puas setelah Mama melakukan oral padaku.
Lambat laun, kami tidak pernah lagi melakukannya. Akupun memaklumi hal itu. Untungnya kemudian Venny hamil dan melahirkan anak laki-laki yang ganteng dan lucu. Mama sangat terhibur dengan kehadiran cucu pertamanya. Ia pun punya kesibukan baru mengurusi anak kami saat aku dan Venny bekerja. (Jeffry [bukan nama sebenarnya], 41 tahun, Jakarta)
Situs bokep terbesar di Indonesia komplekbokep.blogspot.com/ menghadirkan beragam macam kategori bokep yang terupdate untuk anda, seperti : 1. Film Bokep , 2. Foto Bokep , dan 3. Informasi Bokep , so, langsung saja kunjungi situs Komplek Bokep
BalasHapusNumpang promo ya kak ... Rumus-Rumus Bocoran Togel Terupdate Lihat disini ya Rumus Perhitungan Togel Terbaru Segera kunjungi sekarang juga, Salam JP ^_^
BalasHapus