Sabtu, 31 Oktober 2015

Kubayar Uang Kos dengan Tubuhku

Ketika menginjak jenjang kuliah, itulah untuk pertama kalinya aku jauh dari orang tua dan kampung halamanku di Sumatra, karena aku diterima di universitas negeri di Jawa Timur. Ayahku yang seorang kontraktor sangat mampu membayar uang kos yang bagus untukku. Bahkan ia memberiku sebuah mobil untuk transportasi kuliahku.

Sayangnya waktu semester 3 bisnis ayahku hancur. Mobil pemberiannya untukku ditarik kembali untuk dijual guna menutup hutang-hutangnya. Awalnya, kalau hanya untuk membayar kosku saja orang tuaku masih mampu. Tapi belakangan uang bulanan yang dikirim makin tersendat, sehingga aku terpaksa berhutang sana-sini untuk membayar kos dan membiayai hidupku.

Rabu, 21 Oktober 2015

Kupuasi Dahaga Bibiku

Seandainya ibuku tak pernah memaksaku untuk mengunjungi adik bungsunya yang biasa kupanggil mbak Ita (bukan nama sebenarnya), aku mungkin tak akan pernah mengalami kejadian itu. Kenangan yang terjadi 10 tahun lalu dan sampai sekarang masih membekas dalam ingatanku.

Mbak Ita memang seharusnya kupanggil bibi Ita, tapi karena perbedaan usiaku dengannya hanya terpaut 7 tahun, maka sedari kecil aku memanggilnya mbak. Dan tak pernah kubayangkan sebelumnya kalau kemudian aku menidurinya, selama beberapa kali.

Jumat, 09 Oktober 2015

Syahwat Bukan Dosa Tapi Fitrah

Ya, orang punya syahwat bukan kesalahan, dan yang tidak bersyahwat atau nafsu seks itu kesalahan. Nafsu berhak muncul pada siapa saja dan umur berapa saja dalam agama islam. Makanya lebih mengetahui makhluknya oleh karenanya tidak akan muncul hukum kecuali itu adalah kebenaran. Makanya solusi agama itu tidak ada kesalahan sedikitpun.

Kesalahan besar adalah menyalurkan fitrah itu dengan cara yang salah di mana itu disukai syetan biar manusia terjurumus.

Quickie di Rumah Sakit

Satu bulan tak dapat jatah dari istri bikin kepalaku pening. Yang terpikir di otak hanya ‘begituan’ saja. Sudah kucoba menyibukkan diri dengan kegiatan lain, tapi tetap saja dorongan birahi dalam diri ini tak bisa diajak kompromi. Jadilah akhirnya aku dan istri melakukan quickie di rumah sakit.

Lho, kok bisa? Gimana ceritanya?

Kamis, 08 Oktober 2015

Sudah Bosan Aku Ditinggalkan

Pertama aku bertemu Asep aku melihat dia seperti orang yang baik. Itulah sebabnya aku tak menolak waktu ia menyatakan kalau ia cinta aku. Kami pun pacaran.

Setelah berpacaran selama 5 bulan hubungan kami pun sudah sampai pada tahap kebablasan. Aku dan Asep mulai sering melakukan hubungan sebagaimana layaknya suami istri dan itu berlangsung sampai 3 tahun lamanya.

Belakangan aku merasakan kalau perilaku Asep semakin berbeda dari yang kukenal saat pertama. Dia jadi kasar, tetapi bersikap manis jika sedang menginginkan sesuatu...

Senin, 05 Oktober 2015

Jadi Simpanan Istri Simpanan

Lima tahun yang lalu aku bekerja di kota S. Di sana aku tinggal di rumah yang dipetak-petak untuk disewakan. Letaknya di sebuah perkampungan yang memang dijadikan lahan untuk disewakan atau dikontrakkan, karena letaknya tak jauh dari daerah industri. Ada yang dikhususkan untuk laki-laki saja, perempuan saja, ada juga untuk suami istri.

Setelah beberapa minggu tinggal di situ aku tahu kalau gang di sebelah gang aku tinggal ada petak-petak rumah sewa yang ditinggali oleh perempuan simpanan alias istri siri yang oleh suaminya dikontrakkan di situ. Entah benar atau hanya sekedar kasak-kusuk orang saja. Memang setiap hari aku lewat gang itu, baik pergi maupun pulang kerja, suasananya hampir selalu sepi. Rumah-rumah petak berdinding batako yang berjajar sepanjang gang yang kulalui seperti tak ada tanda-tanda kehidupan. Sepertinya, para penghuni rumahnya sengaja mengurung diri. Hanya sesekali aku melihat perempuan sedang menyiram tanaman di sejengkal halaman di depan rumahnya. Atau sepeda motor terparkir, sementara rumah dalam keadaan tertutup rapat.

Sabtu, 03 Oktober 2015

Pelayan Nafsu Anak Majikan

Waktu berusia 23 tahun aku terpaksa merantau ke kota, meninggalkan dua anakku yang masih kecil-kecil. Ini kulakukan karena suamiku meninggal dunia akibat penyakit typhus 6 bulan sebelum kutinggalkan desa dan anak-anakku. Dengan berat hati kutitipkan kedua anakku pada kakak perempuanku yang tinggal di desa sebelah.

Karena tak punya keahlian apa-apa, aku harus cukup puas menjadi pembantu rumah tangga, sebagaimana kebanyakan orang desaku yang merantau ke kota besar. Tak sampai satu bulan aku tinggal di penampungan penyalur pembantu aku diterima bekerja di sebuah keluarga pejabat. Di sana sudah ada 2 pembantu lain yang bertugas bersih-bersih rumah dan memasak. Yang bertugas bersih-bersih seorang gadis masih muda dan ia baru bekerja di situ 4 bulan. Namanya, sebut saja Munah. Yang satu lagi sudah agak tua, namanya Mak Siti (bukan nama sebenarnya).