Seandainya ibuku tak pernah memaksaku untuk mengunjungi adik bungsunya yang biasa kupanggil mbak Ita (bukan nama sebenarnya), aku mungkin tak akan pernah mengalami kejadian itu. Kenangan yang terjadi 10 tahun lalu dan sampai sekarang masih membekas dalam ingatanku.
Mbak Ita memang seharusnya kupanggil bibi Ita, tapi karena perbedaan usiaku dengannya hanya terpaut 7 tahun, maka sedari kecil aku memanggilnya mbak. Dan tak pernah kubayangkan sebelumnya kalau kemudian aku menidurinya, selama beberapa kali.
Ibuku adalah anak kedua dari 8 bersaudara, 3 laki-laki dan 5 perempuan dan seperti yang kusebutkan tadi, mbak Ita adalah anak paling bontot. Waktu aku berumur 5 tahun orang tuaku pindah ke lain kota dan sejak itu aku jarang bertemu dengan mbak Ita. Lebaran pun belum tentu ketemu, terutama sejak mbak Ita menikah dengan seorang laki-laki berkebangsaan Jepang yang bekerja di Singapura dan kemudian ia ikut suaminya pindah ke sana.
Waktu aku baru lulus dan mulai bekerja, suami mbak Ita meninggal dunia. Tinggallah mbak Ita sendirian karena tak punya anak. Kakak-kakak mbak Ita, termasuk ibuku, beberapa kali membujuknya untuk kembali ke Indonesia, tapi mbak Ita menolak. Sejak suaminya meninggal, mbak Ita bekerja di sana dan tampaknya sudah betah tinggal di Singapura walaupun sendirian.
Setelah bekerja selama 2 tahun aku menikah dan 2 tahun berikutnya lahir anak pertamaku. Seiring berjalannya waktu, karirku pun meningkat. Aku sering ditugaskan ke luar negeri sebagai bagian dari pekerjaanku. Termasuk ke Singapura. Hanya saja aku tak pernah mengunjungi mbak Ita karena tak tahu di mana dia tinggal.
Hingga suatu ketika, aku ditugaskan lagi ke Singapura dan ibuku memberiku alamat dan nomor HP mbak Ita. Ibu memintaku untuk menyempatkan diri menemui mbak Ita. Dan saat aku berada di hotel di Singapura kutelepon mbak Ita. Ia terdengar senang sekali saat kukatakan kalau aku ingin mampir ke apartemennya.
Malam hari, setelah urusan kerjaanku selesai aku pergi ke apartemen mbak Ita. Ia menyambutku dengan suka cita, karena kami tak pernah bertemu lebih dari 10 tahun lamanya. Aku terpesona melihat mbak Ita yang tampak makin cantik dan terlihat lebih muda dari usianya. Mbak Ita memintaku menginap di apartemennya, tapi kutolak karena sudah tinggal di hotel dan esok paginya sudah harus kembali ke Indonesia. Tapi aku berjanji akan menginap jika dapat tugas lagi ke sana.
Sekitar 3 bulan kemudian aku kembali bertugas ke Singapura. Kutepati janjiku untuk tinggal di apartemennya. Selama 3 malam aku menginap di rumah mbak Ita dan saat itulah terjadi sesuatu yang tak kusangka-sangka.
Selama tinggal di apartemen mbak Ita, aku dibuat jengah oleh kebiasaannya. Ia suka mengenakan T-shirt tanpa rok atau celana pendek saat di apartemen. Jadinya, tak jarang celana dalamnya terlihat saat ia bergerak atau duduk di sofa. Ia sepertinya tak ambil pusing tentang hal itu. Selain itu, ia tak pernah menutup pintu rapat-rapat, baik saat mandi atau tidur. Seperti yang kualami di malam pertama aku tinggal di apartemennya.
Pulang dari urusan kerjaan, aku langsung nyelonong ke kamar mandi untuk buang air kecil. Aku kaget karena ternyata di dalam ada mbak Ita sedang mandi. Tubuh telanjangnya yang basah terguyur shower otomatis membuat mataku terbeliak sesaat sebelum kututup pintu kamar mandi. Sebaliknya, mbak Ita tak tampak kaget sama sekali. Ia hanya menoleh ke arahku sambil berkata, “Sudah pulang ya…”, lalu melanjutkan mandinya. Aku pun masuk ke kamarku untuk ganti baju.
Aku minta maaf pada mbak Ita karena masuk ke kamar mandi tanpa permisi saat ia telah selesai mandi, tapi mbak Ita hanya tersenyum dan menjawab, “Ah, ngapain minta maaf? Biasa aja laah…” Aku hanya tersenyum kecut, karena bagiku hal itu tidak biasa. Tak urung, tubuh telanjang mbak Ita yang begitu indah membayang terus di benakku.
Malam itu mbak Ita mengajakku makan di restoran favoritnya dan setelah putar-putar keliling kota, kami kembali ke apartemennya. Sekali lagi mbak Ita membuatku kagok dengan tidur telanjang bulat dan pintu kamarnya dibiarkan terbuka lebar. Saat tengah malam hendak ke kamar mandi yang terletak di sebelah kamar tidur mbak Ita, aku melihatnya sendiri. Hanya tubuh bagian bawahnya yang tertutup selimut putih. Ia tidur miring menghadap dinding, sehingga punggung hingga pinggulnya yang terbuka tampak jelas di mataku. Aku menghela nafas dan menepis getar birahi yang menggelitikku.
Pagi harinya, saat sarapan berdua, naluri kelelakianku kembali diuji. Mbak Ita mengenakan kamerjaas (baju tidur) sebatas paha dengan bagian belahan dada agak terbuka, hingga menampilkan pemandangan yang menggoda iman laki-laki. Tapi dengan mengatasnamakan kepantasan, karena mbak Ita adalah adik ibuku, kubuang jauh-jauh hasrat yang menyesakkan dada itu.
Dan di malam kedua, dalam keadaan letih, aku kembali disuguhi godaan yang menggetarkan naluri kelelakianku. Meski letih mendera, tapi aku sulit memejamkan mata. Sekilas sebelumnya saat aku hendak ke toilet, tampak mbak Ita tidur telentang dengan selimut kusut di ujung kakinya yang terlipat satu, sehingga tubuh telanjangnya terpampang jelas dalam keremangan cahaya lampu tidur.
Dalam kegamangan di tempat tidur dengan tubuh mbak Ita yang terus menggelayut di pelupuk mataku, imanku pun bobol. Aku bangkit dari tempat tidur dengan mata berkunang-kunang akibat gelegak birahi yang meletup-letup. Kudatangi kamar mbak Ita dan kupandangi lekuk liku tubuhnya yang begitu indah menggoda. Kulepas T-shirt dan celana pendekku dan pelan-pelan aku naik ke ranjang dengan posisi di atas tubuh mbak Ita.
Akal sehatku rontok oleh dorongan syahwat yang tak tertahankan melihat tubuh sintal mbak Ita yang telentang tanpa sehelai benangpun. Kukecup bukit di dada mbak Ita dengan pagutan lembut bergantian. Mbak Ita menggeliat kecil diiringi desah lirih. Pagutanku meningkat intensitasnya, disertai dengan hisapan dan permainan lidah di putting mbak Ita yang berwarna merah kecoklatan. Mbak Ita kembali menggelinjang. Tangannya mendekap dan mengelus rambutku. Rupanya ia terbangun.
“Belum tidur kamu, Yan?”, mbak Ita bicara dengan nada menggumam seraya mendesah.
Pertanyaan retorika yang tak perlu kujawab dan menjadi lampu hijau bagiku untuk melanjutkan cumbuanku. Menit demi menit berlalu dan aku kemudian menyadari betapa luar biasa permainan ranjang mbak Ita.
Entah karena ia sudah lama menjanda atau ia memang sepanas itu jika bercinta, yang jelas aku dibuat megap-megap meladeninya. Dalam hitungan 30 menit kemudian kami sama-sama mengejang merasakan klimaks yang nikmatnya sulit diucapkan dengan kata-kata.
Dan malam itu menjadi malam yang panjang bagiku dan mbak Ita, seolah malam tak ingin segera berakhir.
Pagi harinya kami lagi-lagi bercinta saat mandi bersama sebelum memulai aktifitas hari itu. Mbak Ita mengantarku ke tempat meeting, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke kantornya.
Sejak itu, aku dan mbak Ita aktif melakukan kontak lewat telepon, seperti sepasang kekasih yang di mabuk asmara. Dan setiap ke Singapura, kami tak melewatkan barang sedetikpun waktu untuk memanaskan ranjang di apartemen mbak Ita. Selama 2 tahun aku dan mbak Ita terlibat affair dan sejauh itu semuanya aman-aman saja. Sampai kemudian aku mendapatkan promosi ke jabatan yang lebih tinggi dan tujuan dinasku bukan lagi sekitar Asia, tapi Eropa dan Amerika. Tentu saja hal itu membuat frekuensi pertemuanku dengan mbak Ita jauh berkurang. Tapi kami tak kekurangan cara untuk mengatur pertemuan rahasia untuk menyalurkan kerinduan dalam panasnya hasrat birahi yang seolah tak ada surutnya.
Saat kami ngobrol usai percintaan di tengah malam iseng-iseng kutanyakan pada mbak Ita kenapa ia suka tidur bugil. Kata mbak Ita, ia ketularan kebiasaan almarhum suaminya yang biasa tidur telanjang. “Mula-mula sih masuk angin dan aneh, tapi lama-lama biasa. Malahan kalo tidur pake baju risih rasanya”, imbuhnya.
Selain itu kutanyakan juga bagaimana caranya ia menyalurkan birahinya saat suaminya tiada, dan dengan blak-blakan mbak Ita menjawab,"Ya, masturbasi dong, Yan". Kemudian ia mengambil "mainannya" dari dalam laci. Tak tanggung-tanggung, ia punya 3 macam alat bantu seks. "Sebulan dua sampai tiga kali aku pakai ini", ujar mbak Ita enteng sambil tersenyum.
Skandal kami baru benar-benar berakhir 5 tahun kemudian saat mbak Ita memutuskan untuk menikah dengan rekan kerjanya yang berkebangsaan Belanda. Sebenarnya mbak Ita tak ingin mengakhiri hubungan kami, tapi kupikir cukup sudah bermain kucing-kucingan seperti itu. Berat rasanya, tapi sebelum semuanya terbongkar, lebih baik menyudahinya. (Biyan - nama samaran, 43 tahun, Tangerang)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar