Waktu berusia 23 tahun aku terpaksa merantau ke kota, meninggalkan dua anakku yang masih kecil-kecil. Ini kulakukan karena suamiku meninggal dunia akibat penyakit typhus 6 bulan sebelum kutinggalkan desa dan anak-anakku. Dengan berat hati kutitipkan kedua anakku pada kakak perempuanku yang tinggal di desa sebelah.
Karena tak punya keahlian apa-apa, aku harus cukup puas menjadi pembantu rumah tangga, sebagaimana kebanyakan orang desaku yang merantau ke kota besar. Tak sampai satu bulan aku tinggal di penampungan penyalur pembantu aku diterima bekerja di sebuah keluarga pejabat. Di sana sudah ada 2 pembantu lain yang bertugas bersih-bersih rumah dan memasak. Yang bertugas bersih-bersih seorang gadis masih muda dan ia baru bekerja di situ 4 bulan. Namanya, sebut saja Munah. Yang satu lagi sudah agak tua, namanya Mak Siti (bukan nama sebenarnya).
Di rumah majikan baruku aku kebagian tugas membantu Mak Siti belanja kebutuhan dapur dan mencuci baju. Majikanku, sebut saja namanya Tuan dan Nyonya Karta, punya tiga anak, semuanya laki-laki. Yang Sulung namanya Doni (bukan nama sebenarnya) sudah mahasiswa dan kuliah di kota lain. Satu atau dua bulan sekali ia pulang. Yang nomor dua, sebut saja namanya Roni, SMA kelas 1, sedangkan yang bungsu masih kelas 5 SD, namanya Soni (bukan nama sebenarnya). Ketiga anak majikanku memanggilku “mbak”, seperti halnya mereka memanggil Munah, sedangkan aku memanggil mereka bertiga “mas”, ikut kebiasaan Mak Siti dan Munah. Selain itu ada sopir pribadi, sudah agak tua, namanya sebut saja Pak Jaya.
Aku betah bekerja di situ karena majikanku baik dan tidak terlalu bawel. Baru 3 bulan aku bekerja, Munah dipecat oleh Nyonya Karta. Tak heran, karena ia setiap malam kerjaannya nongkrong bareng pembantu lain di depan salah sebuah rumah tak jauh dari rumah Tuan dan Nyonya Karta. Bahkan sering kali ikut nimbrung juga beberapa laki-laki yang entah dari mana asalnya. Tampaknya Munah kemudian berpacaran dengan salah satu laki-laki itu. Yang membuat Nyonya Karta berang adalah perbuatan Munah yang sering mengambil lauk makan malam untuk diberikan kepada pacarnya. Karena sudah dinasehati beberapa kali tak juga jera, akhirnya Nyonya Karta memecatnya. Hal ini membuat aku ketambahan beban pekerjaan bersih-bersih rumah. Untungnya Nyonya Karta berbaik hati memberiku gaji tambahan.
Aku jadi makin kewalahan ketika beberapa bulan kemudian Mak Siti mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kakinya lumpuh dan tidak mampu lagi bekerja. Oleh Nyonya Karta ia dipulangkan ke desanya dengan diberi pesangon. Nyonya Karta berjanji untuk mencari pembantu pengganti untuk meringankan bebanku. Tapi lama tak dapat pengganti membuatku terbiasa dengan beban kerja yang kujalani. Dan Nyonya Karta kembali berbaik hati menambah gajiku, hingga aku bisa mengirim uang lumayan banyak untuk biaya hidup anak-anakku di desa.
Waktu pun berlalu, hingga tak terasa 3 tahun sudah aku bekerja di rumah Tuan dan Nyonya Karta. Namun ada satu kejadian yang membuatku bimbang, antara keluar atau bertahan. Roni, anak kedua Tuan dan Nyonya Karta punya kebiasaan minta dipijat. Tadinya aku tak punya pikiran apa-apa dan senang hati menuruti keinginannya saat semua kerjaanku beres. Memang sejak kelas 2 SMA Roni mulai minta dipijat dan katanya pijatanku enak. Nyonya Karta yang mengetahui hal itu kadang juga minta kupijat dan ia mengatakan hal yang sama seperti Roni.
Suatu ketika, Tuan dan Nyonya Karta beserta Soni berlibur ke luar negeri selama 2 minggu. Roni tidak bisa ikut karena mulai kuliah sebagai mahasiswa baru. Sehari setelah keberangkatan Tuan Karta sekeluarga, Roni minta dipijat. Aku yang sedang menyetrika baju berjanji akan memijatnya segera setelah selesai.
Seperti biasa, tanpa prasangka apapun, aku masuk ke kamar Roni. Roni yang sedang nonton TV di kamarnya langsung bangkit dan melepas bajunya. Aku kaget, karena biasanya ia tak pernah buka baju saat dipijat. Tapi aku diam saja. Aku makin kaget waktu ia membelakangiku lalu melepas celana pendeknya, hingga ia telanjang bulat.
“Lho, ngapain buka baju dan celana, mas?”, cetusku bernada tak setuju.
“Udah nggak usah protes, mbak. Sini pijitin aku”, ujar Roni sambil merebahkan tubuhnya di tempat tidur dengan posisi tengkurap.
Dengan diliputi keraguan aku mendekat dan duduk di tepi ranjang. Aku makin terkejut waktu menoleh ke arah TV karena mendengar “suara tak wajar” dari TV. Darahku berdesir saat melihat adegan di TV, di mana seorang laki-laki dan perempuan bule sedang bersenggama.
“Ayo, mbak. Buruan dong mijitnya!”, suara Roni mengejutkanku.
Dengan tangan gemetar aku mulai memijit punggung Roni. Pikiranku tak bisa konsentrasi setiap kali terdengar suara desah dari TV. Sebagai perempuan yang hampir 4 tahun tak pernah disentuh laki-laki, hal itu sedikit banyak mempengaruhiku. Apalagi di depanku ada seorang laki-laki yang sedang tumbuh dewasa berbaring dengan telanjang bulat. Aku berusaha menekan perasaan dengan mengalihkan pikiranku pada anak-anakku di desa. Kulakukan pijatan seperti biasanya, hingga tak terasa seperempat jam berlalu.
“Sudah ya, mas…”, kataku sambil menghentikan pijatanku.
“Yang depan belum, Bi”, kata Roni. Ia balikkan tubuhnya dengan tiba-tiba dan aku terkesiap melihat “senjatanya” yang setengah berdiri.
Aku bermaksud menyingkir dengan mengatakan, “Nggak usah yang depan, mas”, tapi lenganku keburu dicengkeram Roni.
“Pokoknya harus”, nada suara Roni meninggi.
Terpaksa kuturuti permintaan Roni. Sambil memijit kedua kakinya kualihkan pandanganku ke arah lain. Aku merasa jengah melihatnya telanjang tanpa merasa malu sedikitpun padaku.
Saat tengah memijat, tiba-tiba Roni menarik tanganku dan meletakkannya tepat di senjatanya yang ternyata telah tegak berdiri. Aku berusaha menarik kembali tanganku, tapi cengkeraman Roni begitu kuat. Jujur saja perasaanku campur aduk saat itu. Antara risih dan nikmat. Risih karena Roni adalah anak majikanku yang tergolong masih sangat muda. Nikmat karena sudah lama aku tak menyentuh “senjata” laki-laki. Apalagi kurasakan punya Roni keras, besar dan panjang.
Roni memaksaku menggenggam senjatanya sambil menggerak-gerakkan naik turun.
“Sudah, mas. Nanti Nyonya marah…”, cetusku dengan nada bergetar sambil berusaha menarik tanganku dari cengkeraman Roni.
Bukannya menjawab, Roni malah menarik bagian belakang kepalaku dan mengarahkannya ke “senjatanya”. Mau tak mau mataku melihat “senjata” Roni dan seketika darahku berdesir. Aku meronta sebisaku, tapi Roni mencengkeram kepalaku kuat-kuat. Ia pun mendekatkan “senjatanya” tepat di mulutku.
“Isep, Bi. Ayo, isep… Tolong, Bi…”, Roni memerintah dengan nada agak memelas.
Aku mencoba mempertahankan harga diriku sebagai perempuan, tapi cengkeraman Roni di kepalau begitu kuatnya.
“Ja… jangan, mas…”, aku memohon sambil berusaha melawan dorongannya.
Aku tercekat saat “senjata” Roni dengan tiba-tiba masuk ke dalam mulutku saat mulutku menganga dalam upaya meronta dari cengkeraman Roni. Belum lagi aku menyadari untuk mencoba mengeluarkan “senjata” Roni dari mulutku, tangan Roni menarik dan mendorong kepalaku sambil menggoyang pinggulnya.
“Aahh, enak banget, mbak. Sambil diisep dong…”, pinta Roni sambil terus menggerak-gerakkan kepalaku yang diimbangi dengan goyangan pinggulnya.
Tanpa sadar muncul rasa nikmat dalam diriku saat itu. Selama berumah tangga dengan almarhum suamiku, belum pernah sekalipun aku melakukan itu. Tapi harga diriku memaksaku untuk menolak perlakuan Roni padaku. Sayang ia terlalu kuat untukku.
Beberapa saat kemudian, sambil tetap mencengkeram belakang kepalaku, Roni beringsut bangkit dari tempat tidur, sehingga ia berada dalam posisi duduk dan aku jongkok tepat di selangkangannya. Setelah itu ia kembali menggerak-gerakkan kepalaku sambil mendesah-desah.
Entah berapa menit aku dipaksa mengulum “senjatanya”, tapi ia baru berhenti setelah keluar cairan yang memenuhi mulutku. Kumuntahkan kembali cairannya melalui sela-sela bibirku, hingga berceceran di lantai. Begitu cengkeraman Roni melunak buru-buru aku pergi meninggalkan kamarnya. Beberapa kali aku berkumur untuk menghilangkan cairan Roni di rongga mulutku, setelah itu aku ke kamarku yang ada di bagian belakang rumah dengan batin bergolak.
Sepanjang sore hingga malam aku berdiam diri di dalam kamar. Ada rasa marah, malu dan terhina atas perlakuan Roni padaku. Untuk menyiapkan makan malam sengaja kulakukan lebih awal agar aku tak bertemu Roni di ruang makan. Aku sendiri kehilangan nafsu makan memikirkan kejadian itu. Dan yang paling sulit kulupakan adalah “senjata” Roni yang besar dan panjang. Beberapa tahun tak pernah merasakan nikmatnya “senjata” laki-laki membuat rasa marah, malu dan terhina itu berangsur sirna. Aku berusaha menepis pikiran itu, tapi sia-sia.
Paginya, saat baru selesai mandi lagi-lagi aku dibuat kaget oleh Roni. Ia sudah menungguku di balik pintu kamarku dengan telanjang bulat. Dengan suara serak kuminta ia keluar dari kamarku. Matanya nanar menatap tubuhku yang hanya berbalut handuk panjang seperti kebiasaanku habis mandi sejak aku kecil. Dengan tubuhnya ia dorong pintu kamarku hingga tertutup dan setelah itu menyergapku. Dilumatnya bibirku, sementara tangannya melucuti handukku. Aku berusaha meronta, tapi dekapan Roni begitu kuatnya. Bahkan dengan mudah ia dorong tubuhku hingga terbaring di tempat tidur. Dalam keadaan seperti itu aku makin tak kuasa menahan tubuhnya yang menindihku. Bibirku kembali dilumat-lumatnya hingga aku tersengal, sementara tangannya menggerayangi dadaku. Dengus nafasnya memburu yang menunjukkan kalau ia sudah sangat bernafsu.
Aku terus meronta dan memintanya untuk keluar, tapi justru ia makin agresif. Setelah puas memagut bibirku, ia ganti melumat kedua dadaku. Kurasakan lidah dan mulutnya memilin-milin kedua putingku bergantian, sedangkan tangannya berpindah menjelajahi bagian bawah tubuhku. Kepalaku terasa berkunang-kunang, mencoba untuk bertahan dari dorongan nafsu yang mulai menjalar di tubuhku. Tapi rasa nikmat yang diciptakan oleh Roni atas diriku membuatku lunglai tak berdaya dan pasrah pada perlakuan Roni. Apalagi ketika kemudian mulut dan lidah Roni berpindah di bagian bawah tubuhku. Aku berusaha mengatupkan kedua kakiku, tapi kedua tangan Roni lebih kuat, hingga aku terkangkang dibuatnya. Aku menggeliat saat kurasakan bagian bawahku didera kenikmatan luar biasa oleh lidah dan mulut Roni yang begitu buas.
Tanganku mencengkeram kepala Roni dengan maksud agar ia menghentikan perlakuannya di bagian bawah tubuhku yang sudah sangat basah, tapi ia tak mempedulikannya. Aku tak mampu menahan eranganku saat puncak kenikmatan telah kucapai. Kuangkat pinggulku, sementara Roni terus saja menjilati sambil mendesah-desah.
Tubuhku terasa tak bertulang merasakan kenikmatan yang sudah lama tak kurasakan. Nafasku memburu. Tak lama kemudian Roni bangkit dan berlutut di depan selangkanganku. Disibaknya kedua kakiku, dan saat aku mengangkang, “senjata” Roni menghunjam ke dalam “milikku”. Secara refleks aku mengerang panjang merasakan kembali kenikmatan itu. Aku hanya pasrah saat ia mulai menggoyang tubuhnya.
Tak lama kemudian Roni memintaku untuk berada di atasnya. Seperti kerbau dicocok hidungnya, aku menurut saja. Kenikmatan demi kenikmatan yang diberikan Roni padaku seketika menyirnakan rasa marah dan malu. Bahkan dengan sukarela kugoyang tubuhku di atas tubuh Roni, semetara kedua tangannya asyik meremas-remas payudaraku, menambah getaran nikmat di sekujur pori-poriku.
Dengan posisi di atas membuatku cepat orgasme lagi. Tapi Roni tak memberiku kesempatan untuk mengatur nafas yang terengah-engah. Ia menyuruhku menungging dan menghunjamku dari belakang. Setelah beberapa goyangan, Roni mengerang panjang. Buru-buru dicabutnya “senjatanya”, lalu kurasakan cairan hangat membasahi pantat dan punggungku. Kurebahkan tubuhku di tempat tidur dengan posisi tengkurap. Setelah mengusap-usapkan “senjatanya” di pantatku, Roni keluar meninggalkanku. Beberapa saat lamanya aku berbaring tengkurap merasakan denyut sisa-sisa kenikmatan. Aku tak tahu, apakah harus marah pada Roni atau justru berterima kasih atas perbuatannya padaku. Yang jelas, aku yakin akan terulang lagi, karena hanya aku berdua dengan Roni selama beberapa hari. Pak Jaya pun libur selama Tuan dan Nyonya Karta serta Soni pergi.
Benar saja. Malam harinya Roni mendatangi kamarku setelah makan malam. Digandengnya tanganku menuju kamarnya. Dan aku pun hanya menurut, walau sebelumnya menolak sebagai basa-basi. Di dalam kamar Roni kami kembali melakukan hubungan intim. Dengan senang hati kuturuti kemauannya untuk menghisap “senjatanya” hingga tegak berdiri sebagai pemanasan. Dan malam itu entah berapa kali kami bercinta dan aku pun tertidur di kamar Roni sampai pagi.
Aku dan Roni jadi seperti pengantin baru. Tiada hari untuk dibiarkan berlalu begitu saja. Kami bercinta di kamar Roni, di ruang tamu, di ruang keluarga dan di kamar mandi. Aku benar-benar telah terbuai dalam nikmatnya hubungan intim setelah bertahun-tahun “puasa”. Dari Roni aku banyak belajar tentang variasi dan posisi persetubuhan. Saat hendak mencapai orgasme beberapa kali Roni minta dikeluarkan di dalam, tapi selalu kutolak. Aku tak ingin ada masalah di belakang hari. Rupanya Roni tak kehilangan akal. Ia gunakan kondom, sehingga tak perlu buru-buru mencabut saat ingin “keluar”.
Roni pun mulai banyak tuntutan. Mulai menyuruhku mencukur habis bulu kemaluanku, kalau tidur aku tak boleh pakai baju, sampai memintaku menelan cairannya. Semuanya kupenuhi agar ia tak merengek terus. Waktu menelan cairannya untuk pertama kali, rasanya aku mau muntah karena terasa lengket di batang tenggorokanku. Aku harus banyak minum untuk menggelontornya hingga mulut dan tenggorokanku bersih. Lama-lama aku terbiasa dan Roni tampak senang sekali setiap kali aku melakukan itu.
Di sisi lain, Roni memanjakanku dengan membelikan aku pakaian dalam 5 pasang dengan warna yang berbeda. Ada hitam, merah, biru tua, biru muda, dan putih. Semuanya berbentuk seksi. Selain itu aku juga diberi baju tidur tipis berwarna biru, sesuai dengan warna kesukaanku. Saat aku memakainya usai mandi, tak bosan-bosannya aku bercermin mematut-matut diri. Aku terlihat seksi sekali. Mata Roni pun terlihat berbinar menatap tubuhku.
“Wah, mbak seksi banget lo. Kaya artis”, cetus Roni yang membuat hidungku mekar karena bangga. Belum pernah aku dipuji seperti itu. Dan hal itu membuatku jadi agresif saat melayani Roni.
Saat Tuan dan Nyonya Karta kembali dari berlibur ke luar negeri, aku dan Roni masih bisa mencuri-curi kesempatan untuk bercinta. Bisa dikatakan tiga hari sekali ia menyelinap ke kamarku malam-malam saat semua orang sudah tidur. Atau siang hari ketika rumah dalam keadaan sepi. Karena Soni sekolah dan Tuan dan Nyonya Karta ngantor.
Mungkin sekitar 2 tahun aku terlibat hubungan gelap dengan anak majikanku, hingga suatu ketika Roni mengajak seorang gadis cantik ke rumahnya untuk dikenalkan kepada orang tuanya. Sejak itu Roni tak pernah lagi menyentuhku. Memang ia masih bersikap manis padaku, tapi hanya sebatas bercakap-cakap biasa. Tak ada lagi goyang ranjang di malam-malam yang dingin atau siang yang sunyi. Seperti bocah yang dapat mainan baru, mainan yang lama disingkirkan begitu saja. Aku menyadari kedudukanku yang tak pantas untuk mempertanyakan hal itu, tapi sebagai manusia, aku pun merasakan cemburu dan sakit hati ini saat melihat Roni begitu mesra dengan pacarnya. Apalah aku ini. Aku tak lebih dari penyaluran birahi seorang anak yang beranjak dewasa.
Sakit hatiku terobati saat aku mudik ke desa. Seorang laki-laki yang masih ada hubungan kerabat denganku walaupun jauh, melamarku untuk jadi istrinya. Laki-laki itu, sebut saja namanya mas Bandi, baru menduda 6 bulan waktu itu, karena bercerai. Istrinya selingkuh dan lebih memilih laki-laki selingkuhannya ketimbang mas Bandi. Usia mas Bandi 10 tahun lebih tua dariku.
Setelah menjalani masa perkenalan selama 3 bulan, aku dan mas Bandi menikah. Dari dia aku ketambahan satu anak laki-laki yang usianya lebih tua dari anak sulungku. Oleh mas Bandi aku diminta keluar dari pekerjaanku sebagai pembantu karena penghasilannya sebagai seorang pedagang ayam sudah lebih dari cukup. Dengan demikian aku menjalani hidupku sebagai ibu rumah tangga. Dalam jangka waktu 3 tahun aku hamil dua kali, hingga anakku berjumlah 5 orang.
Meski pengalamanku dengan Roni sudah berlalu 15 tahun lamanya, tapi aku tak bisa melupakan kenangan itu. Mungkin dengan mas Bandi aku tak lagi merasakan kenikmatan seperti yang kureguk bersama Roni. Mas Bandi jarang sekali bisa membuatku orgasme. Selain itu gaya bercintanya juga tidak bervariasi. Sejak pertama kali Roni memainkan lidah dan mulutnya di bagian bawah tubuhku, aku jadi ketagihan. Aku suka sekali diperlakukan begitu. Tapi entah kenapa mas Bandi tak pernah melakukannya untukku. Selalu aku yang mengulum “miliknya”, sedangkan ia sama sekali tak berminat menjilati “milikku”, padahal aku selalu menjaga kebersihannya. Mungkin itu sebabnya, setiap kali mas Bandi menyetubuhiku, aku membayangkan yang melakukannya adalah Roni. Dan hal itu berlangsung sampai sekarang.
Perlakuan Roni telah memberikan kesan yang begitu mendalam padaku. Aku tahu semua yang pernah kulakukan bersama Roni adalah dosa, tapi kenikmatan yang diberikannya padaku sungguh sulit kulupakan. (Inem - nama samaran, 40 tahun)
Seperti diceritakan ybs kepada kontributor BBB.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar