Lima tahun yang lalu aku bekerja di kota S. Di sana aku tinggal di rumah yang dipetak-petak untuk disewakan. Letaknya di sebuah perkampungan yang memang dijadikan lahan untuk disewakan atau dikontrakkan, karena letaknya tak jauh dari daerah industri. Ada yang dikhususkan untuk laki-laki saja, perempuan saja, ada juga untuk suami istri.
Setelah beberapa minggu tinggal di situ aku tahu kalau gang di sebelah gang aku tinggal ada petak-petak rumah sewa yang ditinggali oleh perempuan simpanan alias istri siri yang oleh suaminya dikontrakkan di situ. Entah benar atau hanya sekedar kasak-kusuk orang saja. Memang setiap hari aku lewat gang itu, baik pergi maupun pulang kerja, suasananya hampir selalu sepi. Rumah-rumah petak berdinding batako yang berjajar sepanjang gang yang kulalui seperti tak ada tanda-tanda kehidupan. Sepertinya, para penghuni rumahnya sengaja mengurung diri. Hanya sesekali aku melihat perempuan sedang menyiram tanaman di sejengkal halaman di depan rumahnya. Atau sepeda motor terparkir, sementara rumah dalam keadaan tertutup rapat.
Beberapa bulan berlalu, suatu hari aku jalan-jalan ke mall pinggir kota untuk sekedar cuci mata. Seingatku, saat itu aku dapat libur shift hari Senin. Secara kebetulan aku berpapasan dengan seorang perempuan yang kuketahui tinggal di gang sebelah. Ia berjalan sendirian sambil menenteng tas belanjaan. Spontan aku menyapanya. Ia tampak kaget saat kusapa. Buru-buru aku memperkenalkan diri dan kukatakan padanya kalau aku beberapa kali melihatnya sedang menyapu teras. Rupanya ia mengenaliku, karena saat lewat rumahnya aku memberikan salam padanya dan ia membalas disertai senyuman. Ia pun memperkenalkan dirinya. Namanya, sebut saja Atika. Tubuhnya mungil dan kulitnya putih seperti orang Tionghoa.
Saat kulihat belanjaan yang dibawanya lumayan banyak, aku menawarkan diri untuk membantu. Atika tak menampik, karena terlihat sekali kalau ia kerepotan. Berikutnya, aku pun menemaninya belanja lagi. Begitu urusan belanjanya selesai, iseng-iseng kuajak Atika makan siang di restoran cepat saji yang kebetuhan kami lalui. Atika tampak ragu pada mulanya, tapi saat kugamit lengannya, ia pun mengikutiku.
Sambil makan kami ngobrol seperti teman lama yang baru bertemu kembali. Ternyata Atika kalau bicara suka blak-blakan, walaupun kami baru berkenalan. Ia bercerita tentang dirinya yang berasal dari Jawa Barat dan jadi broken home karena kedua orang tuanya bercerai yang menyebabkan ia putus kuliah di semester 3. Ia menceritakan dengan ekspresi ceria, seolah masa lalunya yang pahit hanyalah sebuah tahapan yang memang harus dilaluinya sebagai takdir dari Tuhan dan tak perlu disesali. Kemudian Atika juga bilang kalau suaminya adalah adik sepupu teman ayahnya yang berprofesi sebagai kontraktor kecil-kecilan. Mereka menikah baru setahun dan suaminya sering bepergian keluar kota sesuai dengan lokasi proyeknya. Semula Atika ikut kemanapun suaminya dapat proyek, tapi lama-lama ia jenuh berpindah-pindah tempat tinggal. Ia mengontrak di rumah petak untuk sementara sambil menunggu bisa membangun rumah sendiri.
Saat makan kami sempat bertukar nomor ponsel. Aku tak tahu apakah ada gunanya waktu aku minta nomornya, tapi tak apalah. Namanya juga bertetangga, siapa tahu suatu saat aku butuh bantuan atau sebaliknya.
Selesai makan kuantar Atika ke tempat parkir motor untuk pulang, sedangkan aku melanjutkan jalan-jalanku di mall. Hanya saja, pertemuan singkatku dengan Atika menumbuhkan getaran tak wajar di hatiku. Di mataku, Atika adalah pribadi yang menyenangkan. Kutepis bayang-bayang Atika di benakku, karena ia sudah ada yang punya.
Beberapa hari kemudian, saat istirahat kerja aku tergelitik untuk mengirim SMS ke Atika. Sekedar menanyakan kabarnya. Tak disangka, Atika membalas SMS-ku yang berujung kali saling berbalas SMS hingga berakhir waktu istirahatku. Aku berpikir, mungkin Atika kesepian di rumah sendirian dan butuh teman ngobrol. Benar saja. Sejak itu aku dan Atika makin intens berkomunikasi melalui SMS. Tak puas dengan hanya ber-SMS, aku pun memberanikan diri untuk menelepon langsung, karena aku kangen mendengar suaranya. Kebetulan aku dan Atika memakai operator yang sama, jadi nggak bakalan jebol pulsaku. Biasanya saat aku istirahat siang aku meneleponnya, sekedar mengatakan menu makan siangku atau kejadian menarik di tempat kerja.
Begitu seringnya aku menelepon Atika, hingga tak mendengar suaranya sehari saja aku jadi gelisah. Kadang Atika yang meneleponku duluan dan hatiku langsung berbunga-bunga.
Suatu malam, sepulang aku dari makan malam di warung dekat rumah, kukirim lagi SMS ke Atika. Dan Atika dengan antusias membalas setiap SMS yang kutulis. Kami baru berhenti chatting saat kukatakan kalau aku harus tidur agar tidak bangun kesiangan esok paginya.
Nyatanya mataku sulit terpejam malam itu. Wajah Atika kembali menggelayuti pikiranku. Berkali-kali kutepis pikiran itu, tapi tak bisa, hingga muncul hasratku untuk meneleponnya. Dengan tangan gemetar kupanggil nomor ponsel Atika sambil tiduran. Dadaku berdebar menunggu teleponku dijawab. Detak jantungku makin tak menentu saat kudengar suara Atika.
“Halo? Kok belum tidur, mas? Ntar bangun kesiangan lo”, kata Atika.
“Aku ngganggu nggak nih?”, aku berusaha menyembunyikan nada suaraku yang bergetar.
“Nggak lah. Aku belum tidur kok. Ada apa, mas?”
“ Aku nggak bisa tidur. Masih pengen ngobrol sama kamu.”
Aku lega karena Atika dengan senang hati meladeniku. Kami kembali terlibat obrolan nggak penting, tapi bagiku menyenangkan, karena bisa mendengar suara Atika. Dari cara Atika ngomong tiba-tiba saja muncul ide nakalku untuk bertanya hal yang bersifat pribadi.
“Lagi pakai baju apa nih?”, tanyaku. Sengaja kulirihkan suaraku, seolah takut ada yang mendengar, walaupun aku sendirian.
“Biasalah, mas. Daster.”
“Warnanya apa?”
“Merah, ada kembang-kembang di bawahnya. Kalo mas pake baju apa?”
“Nggak pake. Habis gerah banget sih. Cuma celana pendek aja”, dustaku. Padahal aku memakai kaos dan ada kipas angin yang menyejukkan kamarku.
“Enak ya jadi cowo. Nggak pake baju cuek aja.”
“Emangnya cewe nggak boleh? Boleh aja ‘kan? Orang di rumah sendiri ini.”
“Iya juga sih. Cuma aneh aja tidur nggak pake baju, hihihi… Ntar masuk angin.”
Jawaban demi jawaban Atika yang spontan membuatku makin berani dan diam-diam aku terangsang sendiri.
“Coba aja. Kalo udah biasa asyik-asyik aja kok”, aku terus memancing reaksi Atika dan menunggu sebuah kejutan menyenangkan. Beberapa saat lamanya Atika tak menjawab. Aku sempat khawatir kalau ia tak suka dengan arah pembicaraanku.
“Udah”, suara Atika langsung mencairkan kekhawatiranku.
“Udah apanya?”
“Nggak pake baju.”
“Ah, masa sih? Aku nggak percaya”, berdebar jantungku mengucapkan kalimat itu. Terbayang olehku tubuh mulus Atika tanpa busana.
“Datang aja ke sini kalo mau liat”, tantangnya diselingi tawa kecil. Aku ikut tertawa. Jelas aku tak akan berani datang ke rumahnya malam-malam begini.
“Gimana? Enak ‘kan nggak pake baju?”, pancingku.
“Iya juga, sih. Tapi takut masuk angin kena kipas angin”, katanya dengan nada mengeluh.
“Arahin aja kipas anginnya ke tembok biar mantul, jadi nggak kena langsung”, hiburku sambil berharap ia tidak mengenakan kembali dasternya. Dan Atika menuruti anjuranku.
“Ini lagi di kamar?”, kulanjutkan kenakalanku.
“Ya iya lah, mas. Masa di mall?”, cetusnya disertai tawa renyah.
Agar tak terlalu tampak kalau aku menggodanya, kualihkan pembicaraan pada hal-hal yang ringan dan Atika menanggapi dengan sikap khasnya yang ceria.
“Ngomong-ngomong, aku penasaran nih…”, aku kembali pada kenakalanku.
“Penasaran apa, mas?”
“Warna celana dalammu…”
“Ih, mau tau ajah”, tukas Atika. Lagi-lagi ia terkekeh. Kupikir ia tak suka aku menanyakan itu.
“Tebak apa hayo warnanya?”, Atika kembali menantangku.
“Mmmm… apa yaaa…?”, aku pura-pura berpikir.
“Putih?”, cetusku begitu saja.
“Idih, kok tau sih, mas? Ngintip ya?”, balas Atika. Nadanya kaget. Entah kaget beneran atau pura-pura, tak penting juga ‘kan?
“Aku ‘kan bisa ngeliat tembus tembok”, candaku yang dibalas Atika dengan tawa khasnya. Aku semakin tergoda untuk meminta lebih jauh dan memancingnya dengan kata-kata yang menjurus mesum.
“Aduh”, kataku.
“Lho, kenapa, mas? Jatuh dari tempat tidur yah?”, tukas Atika.
“Ini nih. Si otong kejepit. Habis jadi tegang sih ngebayangin kamu nggak pake baju”, cuek saja aku nyerocos. Sampai di titik ini aku yakin Atika tidak akan marah atau menganggapku cabul.
“Bentar, kulepas dulu celanaku…”, lanjutku.
“Idiih, porno mas ini.”
“Abis kasian si otong bangun sih”.
Kudengar Atika menggumam yang tak begitu jelas kudengar. Nafasku sedikit memburu dan tubuhku gemetar membayangkan Atika ada di depanku dan menatap “senjataku” yang tegak berdiri dengan pandangan bernafsu.
“Atika, kamu juga buka celana dong…” pintaku dengan nada lirih dan bergetar. Beberapa saat lamanya Atika tak bersuara. Ia pasti sedang melepas celana dalamnya.
“Udah?”, tak sabar aku bertanya.
“He’eh…”, Atika menjawab lirih. Detak jantungku mengencang.
“Aku ngebayangin kamu ada di sini trus ngelus-elus ‘senjataku’…”, aku mulai melancarkan rayuan dengan satu tujuan, mengajak Atika melakukan “phone sex” seperti yang dilakukan teman kantorku yang jauh dari istrinya.
“Aduh, enak banget pasti ya, mas…”, jawaban Atika cukup membuatku berani meminta seperti yang kuinginkan. Dan ia pun menurut saat kuminta memainkan “miliknya”, sementara aku memainkan “milikku”.
Sesaat kemudian kudengar desah lirih Atika. Aku terus menggiringnya dengan ucapan-ucapan merangsang yang bisa membuatnya makin bergairah. Dan malam itu kami terbuai dalam nikmatnya hubungan intim melalui ponsel, diiringi desah dan desis kenikmatan di jemari masing-masing. Erangan Atika di ponselku terdengar begitu menggairahkan. Aku tak menduga perkenalanku dengan Atika akan sampai seperti ini. Memang dari SMS dan telepon yang kami lakukan sebelum-sebelumnya bisa kusimpulkan, bahwa ia pun tertarik padaku. Ia semakin blak-blakan menceritakan padaku tentang suaminya yang 10 tahun lebih tua darinya dan bagaimana aktifitas ranjang mereka saat bertemu, setelah 2 atau 3 minggu tak bertemu. Saat secara spontan kukatakan kalau aku jadi “kepengen” Atika terbahak dan bilang, “Makanya buruan kawin. ..”
Aku tak begitu kaget saat Atika menyatakan kalau ia adalah istri kedua yang tidak diketahui istri pertama suaminya. Artinya, kasak-kusuk yang kudengar sejak awal aku kos benar adanya. Artinya, Atika adalah istri simpanan.
Nafasku memburu saat cairanku muncrat. Begitu pun dengan Atika yang terdengar ngos-ngosan diseling erangan panjang. Kami sama-sama mencapai orgasme dengan cara melakukan masturbasi bersama-sama melalui ponsel.
Selanjutnya, seolah ketagihan dengan yang pertama, kami melakukan lagi dan lagi. Yang lucu sekaligus menegangkan, saat aku sedang dapat shift malam Atika meneleponku dan mengatakan kalau ia sangat kepengen sambil mengatakan kalau ia sudah telanjang. Aku tentu saja jadi berhasrat juga. Kepada teman kerjaku kukatakan kalau aku dapat telepon penting dan harus meninggalkan pekerjaan sebentar agar bisa jelas mendengar suara telepon. Dengan langkah terburu-buru aku pergi ke belakang pabrik yang agak gelap dan pastinya sepi. Di situlah kunikmati hubungan intim melalui ponsel dengan Atika. Kukeluarkan “senjataku” melalui celah resleting celana dan menikmati sensasi “phone sex” di tempat kerja.
Tapi yang namanya manusia tidak pernah ada puasnya. Begitu pula denganku. Hasratku begitu besar untuk melakukannya secara langsung dengan Atika, hingga suatu hari kuberanikan diri untuk mengajaknya ketemuan di luar. Sesuai harapanku, Atika tak keberatan, hanya saja dia ragu, karena takut ketahuan orang. Aku mengusulkan untuk ketemuan di mall tempat kami pernah bertemu dan dia pun setuju. Untuk tempat berduaan aku menimbang-nimbang dan akhirnya kuputuskan di hotel melati yang dulu pernah kuinapi waktu pertama kali datang ke kota itu.
Pada hari yang telah kami rencanakan, aku dan Atika bertemu di mall jam 9 pagi. Lalu dengan menaiki motorku kami berdua menuju hotel. Dalam perjalanan Atika lebih banyak diam. Mungkin ada rasa takut pergi berdua denganku. Sampai di depan pintu kamar yang kusewa pun Atika terlihat ragu. Tapi begitu masuk ke dalam kamar, ia tampak lebih rileks. Bergantian kami ke kamar mandi untuk buang air kecil. Setelah berbincang kecil, aku dan Atika mulai hanyut dalam pagutan bibir yang begitu bergairah, seperti sepasang kekasih yang lama tak bertemu.
Saat kedua tubuh telanjang kami bergumul di ranjang, aku dibuat hanyut oleh permainan Atika yang begitu panas. Tubuh mungilnya menggelinjang, bergoyang dan meliuk dengan indahnya. Belum lagi erangan dan desahan yang keluar dari mulutnya yang dihiasi bibir tipis berbalut lipstik merah. Benar-benar tak kusangka kalau pada akhirnya aku berhasil menggaet Atika ke tempat tidur. Kami habiskan waktu siang itu dalam dua ronde percintaan sebelum kami kembali ke mall dan berpisah di sana. Atika pulang ke rumahnya, sedangkan aku langsung menuju tempat kerja.
Begitulah, pembaca. Hubungan gelapku dengan Atika yang panas dan bergelora berlangsung 11 bulan lamanya. Bisa dikatakan, 2 minggu sekali kami bergoyang ranjang di hotel short time untuk memuaskan hasrat birahi kami yang meledak-ledak. Hubungan kami berakhir saat Atika memberitahuku melalui ponsel kalau ia hamil. Aku tahu bukan olehku karena aku selalu memakai kondom. Oleh suaminya, Atika diboyong ke rumah adik perempuan sang suami agar bisa mendapatkan perhatian yang lebih. Maklum itu adalah kehamilan yang pertama. Aku kecewa sekali, tapi apa dayaku? Aku hanya termangu sedih mendengar penuturan Atika. Bagaimanapun aku harus merelakannya karena ia memang bukan milikku. Aku lah yang telah lancang menggodanya dan membuatnya menyelingkuhi suaminya. (Bam, 31 tahun)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar