Satu bulan tak dapat jatah dari istri bikin kepalaku pening. Yang terpikir di otak hanya ‘begituan’ saja. Sudah kucoba menyibukkan diri dengan kegiatan lain, tapi tetap saja dorongan birahi dalam diri ini tak bisa diajak kompromi. Jadilah akhirnya aku dan istri melakukan quickie di rumah sakit.
Lho, kok bisa? Gimana ceritanya?
Kejadiannya sekitar 7 bulan lalu. Waktu itu istriku, sebut saja namanya Reni, harus menjaga ibunya yang opname di rumah sakit di Makassar selama 3 minggu, sedangkan aku tetap tinggal di Surabaya karena harus bekerja dan merawat 2 anakku yang masih ABG.
Waktu mendengar kabar kalau kondisi ibu mertuaku membaik dan sudah boleh pulang, aku senang sekali. Maklum, 3 minggu tidur sendirian membuatku kesepian. Pada hari yang ditentukan kujemput Reni ke bandara dengan naik motor. Ia tiba di bandara jam 9 malam. Sudah terbayang di benakku, sampai di rumah aku akan langsung ‘menghabisinya’ dengan goyang ranjang terpanas laksana pengantin baru.
Tapi rencana tinggal rencana. Dalam perjalanan dari bandara aku mengalami kecelakaan. Aku tak apa-apa, tapi Reni mengalami retak tulang lengannya. Akhirnya, bukannya menuju rumah, aku dan Reni langsung ke rumah sakit. Di rumah sakit Reni harus menjalani opname, yang artinya aku masih harus menambah kesabaran untuk menggoyangnya.
Karena kamar kelas 2 sesuai plafon dari perusahaanku penuh, begitu juga kelas 3 dan kelas 1, terpaksa Reni ditempatkan di pavilyun yang notabene lebih mahal tarifnya. Reni sekamar dengan pasien lain, seorang perempuan paruh baya yang terkena serangan jantung.
Lima hari di rawat di rumah sakit, kondisi Reni berangsur pulih, walau lengan kirinya masih terbebat gips. Saat itu siang hari, seperti biasa aku menjenguknya sendiri setelah ijin dari perusahaan tempatku bekerja. Begitu masuk ke kamar Reni, kulihat ibu tua sedang tidur dengan suara dengkur yang tak kalah nyaring dengan dengkurku. Tempat tidur Reni dan ibu tua hanya terpisah kain korden.
Waktu ngobrol dengan Reni (ngobrolnya sambil bisik-bisik karena khawatir mengganggu pasien sebelah), dasternya tersingkap saat ia beringsut. Aku langsung ‘greng’ melihat paha mulus dan sedikit celana dalamnya. Kudekati Reni dan kucumbui pelan-pelan. Reni sempat melotot dan berbisik agar aku tak mengusiknya karena khawatir sewaktu-waktu suster datang untuk mengontrol pasien. Tapi aku bersikeras mencumbuinya sambil merengek kalau aku sudah nggak tahan. Lama-lama Reni kasihan juga padaku. Ia pun duduk di tepi ranjang dan mengimbangi pagutan bibirku.
Sambil berciuman kukeluarkan ‘senjataku’ yang sudah sangat kelaparan dari balik resleting celanaku, lalu menggesek-gesekkannya ke ‘milik’ Reni yang masih tertutup celana dalam. Rupanya ia pun sebenarnya juga sudah sangat ingin, sehingga ikut menggoyang pinggulnya mengimbangi gerakanku.
Reni tak menolak saat kulepas celana dalamnya. Saat jemariku merasakan ‘milik’ Reni sudah basah, pelan-pelan kutancapkan ‘senjataku’ ke ‘miliknya’. Aku melakukannya ekstra hati-hati karena satu tangan Reni diinfus dan satu lagi yang mengalami patah tulang. Reni pun kemudian rebah menyilang di ranjang dengan kedua kaki terkangkang lebar, sementara aku menghujamnya dengan goyang pinggulku.
Mulut Reni terkatup rapat berusaha menahan desah, namun dengus nafasnya yang memburu tetap saja terdengar dalam ruangan yang sepi itu. Untungnya ibu tua itu tetap mendengkur dibuai mimpi indah. Birahiku yang tertahap sebulan lamanya terpuaskan dengan tumpahnya cairanku di dalam ‘milik’ Reni. Meskipun kondisi darurat, tapi nikmatnya terasa sampai ke ubun-ubun.
Agaknya itu adalah hari keberuntunganku. Saat Reni di dalam kamar mandi untuk membersihkan diri dan aku sedang membuang tisu di tempat sampah, suster datang untuk mengontrol sang ibu tua. Aku tak bisa membayangkan andai aku dan Reni sedang bergoyang dan suster tiba-tiba nongol. Bisa-bisa kami diusir dari rumah sakit saat itu juga. (Andika, 35 tahun, Surabaya)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar