Bagian 3
Benarkah?
Aku memasuki rumah, dan lihatlah siapa yang ada disini, Papaku. Kenapa dia datang? Bukan maksudnya aku tidak menyukai kedatangan papa, hanya saja kenapa tiba-tiba di larut malam seperti ini? Papa sedikit berubah, mukanya lebih kusut, penampilannya memang cukup keren tapi seperti tidak terawat dengan mata yang terlihat lelah itu. Apa dia punya banyak masalah?
Setelah menyapa mama dan papa yang sepertinya memerlukan berbicara berdua, aku merebahkan diri di atas kasur sambil menghubungi nomor Ares. Aku ingin bercerita padanya tentang papa yang tiba-tiba datang, tentang Bu Murgana yang membuatku repot, dan tentang pertemananku dengan Hendra. Dentingan pertama tidak diangkat, yang keduapun bernasip sama, apa dia sudah tidur? pikirku sambil melihat kearah jam dinding.
“Ya, Halo.” seseorang di seberang sana menjawab dengan singkat dan terdengar sedikit ketus.
“Kamu belum tidur?”
“Apa aku bisa menjawab teleponmu kalau aku tidur, Liv?”
“Ah ya, maafkan aku untuk basa-basi yang sangat basi tadi, Res.”
Ares hanya berdehem menjawabku.
“Apa kamu sudah makan?”
“Kamu sendiri sudah makan?” dia malah bertanya balik.
“Sudah.”
“Ya, aku tahu.”
Apa maksud yang dia katakan? “Kamu tahu?”
“Aku melihatmu makan tadi.”
Aku menegang. Kenapa ini malah terdengar seperti sinetron saat sang kekasih memergoki pacarnya yang makan dengan selingkuhan? Tapi tunggu dulu, Hendra itu bukanlah selingkuhanku jadi kasus ini tidak sama.
“Apa kamu marah?” tanyaku pelan.
“Apa aku punya hak untuk marah?” jawabannya malah ingin membuatku meraung saja. Apa maksud anak ini sih?
“Kamu kenapa, Res?” teriakku menahan tangis yang mungkin sebentar lagi akan pecah.
Dia tertawa miris. “Kamu naksir boss baru itu, Liv.”
“Jangan berlebihan, Res! Aku hanya makan dengannya, lalu apa itu salah? Kamu seperti anak kecil saja!”
“Baiklah, aku salah dan kamu benar,” dia menjawab dengan sedikit mengeraskan suara, seperti sedang melawan suara kendaraan disekitarnya. Apa Ares sedang dijalan?
“Kamu lagi dimana?”
“Nanti aku hubungi lagi.” tanpa menjawabku, ia langsung mematikan ponselnya.
Kurasa dia marah besar. Baiklah, aku tahu ini adalah kesalahanku, tapi tidak bisakah dia marah lain waktu saja? Aku benar-benar sangat membutuhkannya saat ini.
Setelah bersusah payah untuk tidur namun tetap tidak bisa, aku memutuskan turun ke bawah melihat kedua orangtuaku yang mungkin masih berbincang. Namun ada yang membuatku terkejut, Ares ternyata ada disana ternyata.
Ingin rasanya aku berlari memeluk Ares sebelum memutuskan untuk mendengar percakapan mereka yang mampu mengubah segala hidupku.
“Kenapa papa ada disini?” Ares terkejut sambil menatap papaku yang kemudian berdiri.
“Kamu kenapa disini, Res?” Papa mengenal Ares, eh?
“Kamu mengenal Ares, Mas?” tanya Mama mewakili pertanyaan dalam hatiku. Ini benar-benar membingungkan, bolehkan aku menguping sebentar walaupun itu tidak baik seperti yang dikatakan Hendra?
“Dia anakku dengan Susi.” jawaban papa membuatku merasa udara disekitarku memanas.
Apa?
“Apa kamu gila? Dia itu pacarnya Olivia, kamu jangan bercanda!” pekik mamaku sementara Ares memandang mereka bergantian.
Papaku seperti terkejut mendengarnya. Ekspresinya membuatku tahu jawaban dari pertanyaan mama. Jadi itu benar Pah? tanyaku dalam hati.
“Maksudnya ini apa?” Ares membuka suara.
“Dia ini papa Olivia, Res.”
Aku melihat Ares lebih terkejut, sama sepertiku. Tentu saja, ini bukan leluconkan? Kumohon buatlah aku tertawa dengan hal ini.
“Jadi maksud ini semua apa?” teriak Ares.
Mengalirlah semua cerita dari mulut papa. Dulu mama menceraikan papa karena papa berselingkuh. Aku tahu itu, tapi yang tidak aku dan mama ketahui adalah, selingkuhan papa ternyata mama Ares. Aresku, kekasihku, berarti dia juga saudara kandungku atau saudara tiriku? Tidak penting hal itu, yang pasti aku tahu bahwa dia sedarah denganku. Kenapa rasanya hati ini sakit Tuhan?
Papa melanjutkan semua ceritanya. Ternyata dia datang kesini ingin mengajakku untuk berjumpa dengan anak selingkuhannya! Pantas saja, waktu itu Ares bekata bahwa papanya, maksudku papaku juga, datang ke Indonesia untuk berbicara hal penting. Mengenai inikah?
Ares diam mendengarkan, aku tahu kepalan tangannya, kerutan dahinya, napasnya yang berusaha ia atur, sedang menujukan semua amarahnya.
“Jangan sampai Olivia tahu.” Itulah kata-kata terakhir Ares yang ku dengar sebelum aku memutuskan untuk masuk ke kamar dan mengunci diri disana. Satu detik yang lalu Ares adalah kekasihku, detik berikutnya dia berubah menjadi saudaraku. Hanya satu detik, tapi dengan mudah mampu mengubah segalanya bukan?
Adilkah Tuhan? Kenapa harus Ares? Kenapa ini malah terdengar lebih daripada sebuah lelucon? Aku benci mengatakannya, tapi ini benar-benar membuat hatiku sakit. Sekuat tenaga aku berusaha untuk menutup mulut dengan tangan agar isak tangis ini tidak terdengar dengan mereka.
Tiba-tiba saja pintu kamarku diketok. Siapa itu? Aku melihat kearah pintu yang sudah terkunci.
“Olivia.”
Itu suara Aresku. Ya Tuhan rasanya aku ingin menangis kencang sekarang ini. Apa yang ingin dikatakan Ares? Apa dia mau menceritakan semua yang ternyata sudah ku dengar?
Aku diam.
“Liv.”
Demi Tuhan aku tidak sanggup menahan tangis lagi. Pergilah Ares, kumohon untuk saat ini jangan berada di dekatku atau aku akan kehilangan kendali! Sepertinya Tuhan mendengar doaku, karena setelah cukup lama, aku tidak mendengar suara Ares, sepertinya dia sudah pulang. Saat itulah aku menangis, lagi dan lagi.
-----
Butuh usaha yang ekstra untuk beranjak dari tempat tidur. Setelah kejadian tempo malam, rasanya aku sangat malas untuk melakukan segala kegiatan. Tapi mengingat Hendra adalah boss yang sedikit menyebalkan, maka mau tidak mau aku menuju kantor juga.
Masih teringat jelas malam itu, kejadian itu, keadaan itu, segalanya yang berhubungan dengan Ares, menyakitkan. Sungguh sangat menyakitkan. Biasanya setiap pagi, aku selalu sarapan diselingi candaan bersama mama, tetapi pagi ini sepertinya aku bahkan tidak sanggup melihat wajah mama tanpa teringat papa juga.
“Mau berangkat, Liv?’ tanya mama menyiapkan sarapan seperti biasanya.
Aku hanya mengangguk sekilas dan makan tanpa bersuara.
“Gimana hubungan kamu sama Ares?”
Aku menegang ditempat, tapi dengan cepat mampu mengontrol diri. Setelah berusaha untuk tetap tenang, aku menjawab “Baik, Mah.”
Dengan cepat aku menyelesaikan sarapan, lalu memutuskan berangkat meskipun ini masih terlalu pagi.
-----
Sesampainya di kantor, ku kerjakan semua yang bisa di kerjakan, sebisa mungkin aku melibatkan diri dengan pekerjaan tanpa memperdulikan apapun, termasuk telepon Ares. Aku harus menyibukkan diri untuk tidak teringat akan Ares bukan? Bahkan sapaan, teguran maupun perdebatan yang berusaha dipancing Hendra pun berusaha kuabaikan.
Saat sudah menunjukan jam makan siang, kembali aku memeriksa teleponku dan memberi pesan singkat pada Ares bahwa aku tidak bisa makan bersamanya sekarang dengan alasan ada banyak pekerjaan. Sepertinya dia paham, karena dia tidak memaksaku kali ini.
Setelah menemukan cafe kecil di dekat kantor, aku hanya dapat memesan kopi hangat tanpa menu berat lainnya. Aku melihat keluar jendela, sepertinya akan turun hujan karena langit sudah mendung. Dan benar saja, tidak lama kemudian hujan turun. Menyenangkan sekali menatap hujan dengan cara seperti ini. Jika saja ada Ares, pasti lebih menyenangkan bagiku.
Aku suka hujan, tapi takut berada di bawah hujan. Mau tahu kenapa? Rasanya aneh saja saat jutaan bahkan ribuan air turun dan menerpa diriku secara sadis. Aku selalu merasa kasihan setiap ada orang yang sedang melakukan pekerjaan di luar dan tiba-tiba hujan datang menerpa segalanya. Aku juga sedih saat melihat orang sedang mengendarai kendaraannya di waktu hujan. Bisa saja sesuatu terjadi karena dia tidak dapat melihat dengan jelas saat hujan, bukan? Tapi dibalik itu semua, aku tetap bersyukur karena hujan datang.
“Hei, kok malah nongkrong disini?”
Aku tidak menoleh pada pria yang sedang menyapaku. Aku tahu dari suaranya, dia adalah Hendra. Untuk apa pria itu kesini?
“Aku tidak membuntutimu.” ujarnya seakan tahu apa yang sedang kupikirkan. Lalu Ia duduk tanpa meminta izinku. Tetap menyebalkan ternyata.
“Lantas?”
“Tadi aku sedang berjalan dari kantor lalu hujan turun dan aku memutuskan untuk mampir saja kesini.”
Meskipun yang diucapkan Hendra tidak penting, tapi aku tetap melihat dan menunggunya melanjutkan cerita itu.
“Tapi begitu melihat seorang wanita cantik yang duduk di dekat jendela seperti sedang mengasihani diri sendiri, maka aku putuskan untuk menemaninya,” dia berkata sambil menatapku.
Matanya menyejukan ternyata. Aku kembali diam, tidak berniat membalas perkataannya.
“Kalau lagi ada beban berat maka harus diringankan, Liv.” katanya lagi.
“Dengan cara apa?” suaraku terdengar aneh bahkan untuk di telingaku sendiri.
“Kamu punya aku. Dan kamu bebas cerita apapun yang bisa buat hati kamu lega.”
“Kamu tidak tahu apa yang kurasakan.”
“Oh ya? Aku memang tidak akan tahu apa yang kamu rasakan kalau kamu tidak membaginya denganku.”
Dia benar. Tapi apa dia bisa dipercaya untuk menjadi tempat ceritaku? Aku memang tidak mempunyai teman dekat selain orang-orang yang ada dikantor, jadi bolehkah aku bercerita padanya Tuhan?
“Aku mencintai seseorang.” kataku akhirnya dengan suara yang sangat pelan.
Hendra menatap seolah menungguku melanjutkan.
“Dan dia juga mencintaiku.”
“Itu bagus, lalu apa masalahnya?”
“Tapi dia adalah seseorang yang tidak boleh kucintai dan tidak boleh mencintaiku juga.” Mataku sudah mulai berkaca-kaca. Aku yakin dia pasti bingung dengan yang ku katakan. Karena akupun sama, aku merasakan bingung juga dengan kejadian yang kuceritakan ini.
“Kalau itu memang sangat menyakitkan, maka kamu tidak perlu cerita.”
Apa dia bercanda? Bukankah tadi ia sendiri yang memintaku bercerita?
“Kamu tahu, terkadang yang kita butuhkan bukanlah berbagi cerita pada orang lain agar merasa lega. Yang kamu perlukan adalah melepaskan dan mengikhlaskannya. Kamu boleh nangis sampai air mata darah sekalipun, tapi pastikan bahwa itu hanya akan terjadi sekali. Kamu tidak boleh menangisi hal yang sama untuk kedua kalinya.”
Aku terdiam. Haruskah aku meninggalkan Ares? Sanggupkah aku? Lantas jika aku tidak mau, apa yang akan terjadi padaku?
“Dia adalah saudaraku. Kami mempunyai Papa yang sama.” kataku dengan sendirinya.
Dia merangkulku. Aku tahu ini tidak boleh, tapi aku malah menangis di dekatnya.
“Bolehkah… bolehkah aku… tetap mencintainya?” ujarku terisak. Dia mengusap lembut kepalaku seakan ingin menenangkanku, dan hal itu malah membuatku ingin menceritakan semua perasaanku padanya.
“Hendra.”
“Iya, Liv”
“Ndra”
“Aku disini.”
“Aku mencintainya, sungguh sangat mencintainya,” tangisku kembali pecah.
Aku tidak peduli ada berapa banyak orang yang berada di dalam sini dan melihat kearah kami. Aku juga tidak perduli apa yang akan mereka pikirkan tentang seorang wanita yang menangis di dekapan pria tampan ini. Dan bahkan aku juga tidak mau peduli jika saja aku menimbulkan kegaduhan karena tangisanku ini. Sungguh saat ini aku tidak perduli.
“Tenanglah Liv. Kamu tahu, kita punya Tuhan yang besar.” ujarnya.
Aku berusaha menahan isak tangisku untuk mendengar perkataannya yang tepat di telingaku.
“Saat kamu mengangkat tangan. Disitulah Tuhan menurunkan tangan.”
Dan untuk saat ini, pertama kalinya aku mengharapkan mujizat datang.
-----
Kalau boleh menukar nasib, maka aku adalah orang pertama yang mendaftar. Aku mencintainya, dia mencintaiku, tapi bagai kurang cukup ternyata kami adalah saudara. Aku tidak akan melupakannya, sungguh tidak akan. Tapi aku akan menghilangkan rasa cinta padanya. Setidaknya akan ku usahakan.
Sore ini sepulang kerja, aku niat mendatangi Ares ke tempat kerjanya. Untuk apa aku kesanapun sebenarnya aku tidak tahu. Tapi yang aku tahu, aku sangat merindukannya.
Dia ada, tapi sedang mengurus pasien konsultasi di ruangannya. Aku menunggu sedikit lama. Sekarang pukul 18.45, aku memutuskan untuk membeli minuman di lantai bawah rumah sakit ini.
Aku tidak memberitahu Ares bahwa aku datang, tapi aku memberitahu Hendra soal ini. Dia sepertinya paham, namun tetap memintaku untuk menghubunginya apabila ada hal buruk yang terjadi.
Sudah sejam setelah aku kembali dari kantin dan ternyata Ares masih sibuk juga. Aku berusaha sabar.
Arlojiku menunjukan pukul 20.30 dan Ares belum juga keluar. Apa menjadi dokter harus sesibuk ini? Banyak orang berlalu-lalang disini dan aku merasa hanya diriku yang seperti patung menunggu berjam-jam.
Entah karena sakit yang kurasakan sekarang sangat hebat sehingga aku tidak merasakan lagi sakitnya menunggu sampai jam segini, maka aku tetap duduk diam.
Pintu dibuka, aku langsung berdiri. seorang pasien yang dari dalam ruangan Ares keluar. Apa Ares sudah tidak sibuk lagi sekarang? Sebelum berniat masuk, Ares ternyata lebih dahulu keluar. Dia terkejut melihatku. Aku tersenyum.
“Hai,” hanya itu yang bisa aku ucapkan saat melihatnya.
Dia menuntunku masuk ke dalam ruangannya. Aroma rumah sakit memang sangat terasa disini. Ruangan ini putih bersih. Walaupun aku sudah hampir sering kesini, tapi tetap saja aku suka memperhatikan dari sudut ke sudut ruangan.
“Kamu sudah makan?”
Aku menganggukan kepala. Sebenarnya belum, tapi entah kenapa aku tidak merasa selera makan. Dia menarik napas panjang dan bersandar di kursinya.
“Aku tidak tahu kamu akan datang.” kata Ares.
“Sengaja.” jawabku.
“Kenapa?”
“Biar kamu terkejut.”
Dia tertawa, “Sudah lama datang?”
“Belum.” Hanya dua jam, Res.
Dia mengangguk.
Kami seperti tidak memiliki bahan obrolan sekarang. Tapi aku yakin bahwa dia belum tahu jika aku sudah mendengar masalah mengenai papa.
“Liv.”
“Ya?”
Dia diam lagi. Aku tahu pasti sangat susah berbicara dengan masalah yang sedang menjadi penghalang seperti saat ini.
“Aku pulang dulu ya,” aku beranjak dari kursi. Bukan karena marah, tapi lebih karena aku tidak bisa berkata-kata saat bersamanya. Dan itu menyakitkan juga ternyata.
“Aku antar.”
“Aku bawa mobil.”
“Tinggalkan saja.”
“Res,” aku menghentikan langkahnya.
“Aku bisa pulang sendiri, kamu masih ada jadwalkan?
Dia mengangguk paham dan melepaskan tanganku.
“Hati-hati di jalan.”
Aku melangkahkan kaki keluar ruangan ini, rasanya menyedihkan. Hatiku ternyata masih sepenuhnya bersama Ares. Aku menutup pintu dengan pelan sekali, seakan-akan ada seorang anak bayi yang terlelap di dalam sana. Ingin rasanya menangis sekarang, tapi ku urungkan. Masih lamakah aku sampai di rumah?
Ares berlari mengejar dan memelukku. Aku menangis, biarkan saja dia bertanya mengapa aku menangis, aku janji tidak akan menjawabnya. Biarkan saja dia kebingungan, tapi aku benar-benar ingin menangis didekapnya.
“Maaf membuatmu menungguku terlalu lama.”
Aku masih menangis sambil menggelengkan kepala.
“Maaf membuatmu kelelahan.”
Bolehkan aku membasahi bajunya dengan air mata?
“Maafkan aku, sungguh aku minta maaf.”
Hentikan waktu sekarang juga, kumohon. Aku rela memberikan apa saja asalkan waktu berhenti detik ini juga. Aku tidak menangis untuk itu, Ares. Aku menangis untuk kita.
Berapa lama waktu yang kami habiskan untuk saling berpelukan, aku tidak tahu. Berapa lama Ares menenangkanku, aku juga tidak tahu. dan berapa banyak air mata yang sudah tumpah semenjak kemarin aku lebih tidak tahu. Yang aku tahu hanyalah, rasa sakit di dadaku. Hanya itu.
-----
Kata orang, awal yang baik itu dimulai dari bersyukur. Maka hari ini aku mengikutinya. Pagi sekali aku sudah bangun, mempersiapkan makanan untuk mama, membawa makanan itu ke dalam kamarnya dan bersiap pergi kekantor. Sepanjang perjalanan aku bersyukur. Entah untuk apapun juga aku tetap mengucap syukur dalam hati.
Jalanan masih sepi sehingga mempercepatku sampai ke kantor. Aku memarkirkan mobil di parkiran depan. Lalu berjalan menaiki tangga, belok kekiri dan membuka pintu ruanganku. Tapi hari ini sepertinya ada yang berbeda di meja. Ah ya, ada bunga mawar putih disana. Dari siapa? Tidak mungkin Ares, karena dia tidak suka hal-hal seperti ini.
Aku melihat kiri kanan dan tidak ada orang disana. Apa salah kirim? Aku mencium bunga itu, wangi. Beruntung sekali wanita yang diberikan bunga ini. Langsung saja aku menyimpannya ke dalam laci, mana tahu milik orang lain.
Beberapa menit kemudian kantor sudah ramai, aku melihat jam di dinding sudah menunjukan pukul 07.38.
Pintu ruanganku dibuka, itu dia Hendra baru saja datang.
“Sudah menerimanya?”
Oh jadi bunga itu dari Hendra, pikirku mendalam.
“Jangan lupa dikerjain ya,” ujarnya lagi seraya masuk kedalam ruangannya.
Apa maksud Hendra? Apanya dari bunga itu yang harus dikerjakan? Aku menyusulnya ke dalam. “Apanya yang mau dikerjain, Ndra?”
Dia sedang membetulkan dasi biru yang dipakainya sekarang, “Laporannya harus dikerjakan hari ini juga.”
“Laporan?”
“Iya, aku ada rapat tentang itu nanti siang.”
“Rapat?” aku membeo.
Apa ini leluconnya?
“Maksud kamu apa sih? Bagaimana bisa bunga itu dibuat laporan?” aku bertanya saat dia tidak juga menjawab pertanyaanku.
“Bunga?” Hendra malah kebingungan.
“Maksud kamu yang aku terima tadi itu bunga kan? Bunga mawar putih yang dimejaku?”
Dia tertawa hebat. Astaga, artinya aku salah sangka. Bukan itu maksud Hendra ternyata. Tidak mau mempermalukan diri lebih lama aku berbalik keluar dengan muka memerah. Sekilas aku masih mendengar suaranya tertawa. Sial.
-----
Malam ini, tepatnya seminggu setelah kami berdua mengetahui hubungan persaudaraan yang terjalin, Ares mengajakku keluar. Apa yang harus aku lakukan?
“Temui saja dia, kamu tidak boleh jadi pengecut, Liv. Hadapilah.” itulah yang di katakan Hendra saat aku meminta pendapatnya.
Maka sekarang, Ares menjemputku. Tidak seperti biasanya, sekarang sepertinya jarak kami benar-benar sudah terasa ada. Sedari dalam mobil kami hanya diam saja. Aku sudah mempersiapkan segalanya terutama apabila ia menceritakan hal mengenai Papa.
“Ada hal penting yang mau aku sampaikan, Liv.” ujarnya saat kami sudah mulai makan disalah satu restoran kecil dekat rumahku.
“Aku tahu.”
“Tahu apa?” ia mengerutkan kening.
“Apa saja.”
Entah kenapa aku tidak berani menatap mata Ares. Aku takut dia dapat melihatku yang sedang kacau seperti ini. Atau bahkan dia memang sudah tahu?
Ares menghentikan makannya, lalu berkata, “Papaku sudah datang, Liv.”
Aku diam.
“Dia mengatakan sesuatu yang membuatku terkejut.”
“Aku juga, Res.”
“Kamu tahu itu apa?”
“Aku tahu.” Tapi aku tetap diam menatapnya.
“Papaku, adalah Papamu.”
Setelah mengatakan hal itu, Ares melepaskan pegangan tangannya dariku. Aku masih diam saja, menarik napas yang terasa lebih berat sekarang.
“Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang, Liv.” suaranya mulai memberat.
Apa aku tahu apa yang harus kulakukan juga, Res?
Entah bagaimana caranya, tapi papa dan mama datang kesini di waktu yang sangat tepat dan duduk disebelah kami. Sepertinya, Ares berniat menyelesaikan semuanya sekarang. Dia juga yang memanggil Papa dan Mama, pikirku sedih.
“Maafkan papa.” Itulah yang pertama kali di katakan papa saat datang.
Mama yang duduk di samping aku memegang erat tangan kiriku, seperti berusaha menguatkanku. Tenanglah, Mah. Aku baik-baik saja.
Kami diam cukup lama sampai Ares berkata “Aku mencintai Oliv, Pah.”
“Mencintaimu juga, Res.” hanya itu yang dapat aku katakan setelah sekian lama aku diam. Papa menatap kami bergantian menyorotkan mata yang tersakiti karena kedua anaknya saling mencintai.
“Apa yang kamu katakan?” mama bertanya heran.
“Aku tahu segalanya, Mah.”
“Kamu tahu?” giliran Ares yang heran.
Aku tertawa sedikit. “Kamu tidak perlu melupakan aku, Res.”
“Olivia!” mama sepertinya mulai marah.
“Apa, Mah?” jawabku tenang.
Kendalikan dirimu Liv!
“Kamu sadar yang kamu katakan?” tanya mama lagi.
“Jangan melupakanku dan jangan pergi dariku, Res!” teriakku.
Ares tidak menjawabku, melainkan mencari kendali di mataku yang entah kemana telah ku sembunyikan.
“Tapi jangan juga mencintaiku.” Aku menatapnya, lalu menatap Papa dengan sorot kesedihan mendalam.
“Liv,” Ares bersuara pelan sekali.
“Aku sudah tahu semuanya. Kamu itu saudara akukan? Karena itu kita tidak boleh saling mencintai,” aku menarik napas yang terasa sangat berat sekarang lalu melanjutkan,
“Aku bisa anggap kamu saudara aku, percayalah.r”
Dia diam, papa juga, mamapun sama.
Aku beranjak dari kursi, selesai sudah semuanya. Jangankan untuk melihat, melirik merekapun aku tidak berniat. Ku langkahkan kaki keluar restoran ini, tapi tidak juga untuk menuju ke arah rumah.
Aku menelusuri jalan menuju ke arah barat, tapi tidak tahu harus kemana. Belum cukup musibah yang kurasakan, sebuah mobil membuntutiku dari belakang. Aku tidak tahu itu siapa maka kulangkahkan kaki dengan cepat dan seseorang yang lebih cepat juga meraih lenganku membuatku terhenti.
“Hendra?”
“Hai,” dia memberikan senyum padaku, aku tertawa.
“Aku kira tadi itu orang jahat,” aku berkata sambil bersandar di mobilnya.
“Tidak akan ada yang berani jahati kamu. Kamukan galak, yang ada kamu yang jahati mereka.”
“Kalau orang lain aku gak mau jahati, kalau ke kamu baru aku mau.”
Kami tertawa bersama, setidaknya kehadiran Hendra untuk saat ini bisa sedikit membantuku melupakan sejenak masalah Ares. Dia diam, menengadah ke atas langit. Sepertinya akan turun hujan lagi. Sangat sulit membedakan cuaca saat ini, Bulan Maret bisa saja sama dengan Bulan Desember yang penuh hujan.
“Ares lagi?”
“Hah?” aku kebingungan sendiri karena asik terbengong. Rasanya akhir-akhir ini aku memang sering melamun. Apa masalah ini sebegitu berat?
Hendra terkekeh, “Masalah Ares lagi?”
Aku menarik napas pelan kemudian meceritakan singkat kejadian tadi. “Apa yang kulakukan ini benar, Ndra?”
“Apa hatimu tenang setelah menyampaikan semuanya?” aku mengangguk pelan.
“Kamu melakukan hal yang seharusnya kamu lakukan, Liv. Kita bisa tahu itu benar atau salah apabila merasakan hati kita sendiri. Kalau kamu gelisah berarti itu salah. Kalau kamu tenang, berarti kamu benar.”
“Aku benar.”
“Kamu benar.”
“Dan kamu menang.”
Dia menoleh seperti mempertanyakan apa maksud perkataanku tadi.
“Kamu menang karena berhasil menjadi perhatian pertamaku, setelah Ares tentu saja.” Lalu aku melanjutkan, “Tahu tidak? Siapa orang pertama yang ingin aku temui setelah kejadian tadi?”
Hendra menggeleng.
“Kamu.” kataku dengan tulus.
-----
Hendra mengantarkan aku pulang dengan selamat. Di rumah sudah ada Mama ternyata, dan kami berbincang sebentar lalu aku pergi tidur. Tidak benar-benar tidur sebenarnya karena aku masih memikirkan Ares juga.
Kalau dulu aku pernah bilang apa jadinya Aku tanpa dia, maka aku katakan sekarang, jika aku akan baik-baik saja. Atau tepatnya akan berusaha baik-baik saja. Inikah jawaban yang diberikan Tuhan? Berarti untung saja aku tidak menerima lamaran Ares dulu, atau sekarang kami akan benar-benar sulit melepaskan.
Pria yang baik seperti Ares, layak mendapatkan perempuan baik juga, semoga.
-----
Setelah bangun pagi, niatku sebenarnya adalah berangkat jogging bersama Hendra ke dekat Lapangan Poltex daerah rumahku. Namun sepertinya aku harus berangkat sendirian karena pria itu bilang bahwa dia akan telat, ada urusan sedikit, begitu katanya.
Cuaca pagi ini cukup cerah ternyata, setelah berkeliling sekali aku merasa lelah dan memutuskan untuk duduk sejenak. Disitulah, sesuatu yang tidak kuharapkan terjadi. Ares datang dan berdiri di depanku.
“Liv.”
Aku menengadah ke atas melihatnya sambil membuka topiku karena kepanasan.
“Boleh aku duduk?”
“Tentu.”
Setelah itu kami kembali diam, karena akupun tidak tahu harus mengatakan apa lagi padanya. Kalau dahulu kami bisa membicarakan hal apapun saat bersama, maka sekarang semua itu adalah kebalikannya.
“Aku akan pergi, Liv.”
“Kamu pergi?”
“Aku sengaja menyusulmu kesini untuk mengatakannya.”
Aku tertawa miris. Setelah kehilangan dirinya sebagai kekasih, sekarang aku bahkan akan kehilangan dirinya sebagai saudara, begitukah?
“Jangan berpikir yang macam-macam. Aku ada tugas. Dekat, cuma ke Singapura. Hanya sebentar, sungguh.”
Sebentar bagimu itu berapa lama bagiku?
Aku mengangguk seakan-akan paham. “Ya, Res.”
Sebelum Ares mengatakan sesuatu lagi, Hendra sudah datang ternyata. Dia langsung mengambil alih diriku dari samping Ares. Aku langsung berdiri, begitupun dengan Ares.
“Hendra,” ujarnya sambil mengulurkan tangan.
Sambutlah Res, kumohon.”
Ares diam sejenak lalu, “Ares.” jawabnya menjabat tangan Hendra.
Aku menarik napas lega.
“Bisa kami bicara berdua?” tanya Ares padaku.
Mau apa dia? Walaupun aku sedikit ragu, tapi melihat Hendra yang sepertinya menyetujui Ares, maka aku mengangguk saja.
Mereka berbicara cukup lama. Ares menggerakan tangannya seolah memperjelas apa yang sedang dia katakan dan Hendra mengangguk paham. Lalu terakhir yang aku lihat adalah, Ares menepuk sekilas bahu Hendra seperti tanda pertemanan dan mereka berbalik kearahku.
“Kamu jangan tanya apa yang kami bicarakan.” Ares berkata singkat.
Aku mengangguk lagi.
“Aku pergi dulu.”
Aku mengangguk untuk terakhir kali sebelum Ares berjalan menjauh dari arah kami. Sampai ia menghilang dari pandanganku barulah aku berbalik melihat Hendra yang tengah memperhatikanku sedari tadi.
Dia tersenyum sekilas lantas menggandeng tanganku menuju parkiran. Aku tidak menolak dengan perlakuannya, kuanggap itu sebagai tanda pertemanan kami, wajar sajakan? Kuharap begitu.
-----
“Tadi aku kelamaan datang ya?” Hendra memulai topik pembicaraan, saat kami berada disalah satu tempat minuman daerah Rumbai.
“Banget.”
“Kamu kesal ya?”
“Banget.”
“Banget-banget mulu, Liv.”
“Dari mana saja? Aku sampai berjamur gitu nungguinnya. Katanya sebentar, ternyata lama.” aku merengut dengan kesal.
Hendra tertawa melihatku yang malah lebih asik menatap kearah jalan di bandingkan wajah tampannya, “Kamu lucu.”
“Ares juga bilang gitu.” kataku.
Dia berhenti minum setelah mendengar perkataanku. Apa aku salah berbicara? Aduh, mulutku memang selalu kelepasan ngomong.
“Kenapa?”
“Apa?”
Dia tertawa “Kenapa kamu bisa menahan rasa sakitmu?”
Aku tidak mengerti apa yang dibicarakannya.
“Kamu kuat saat bertemu dengannya, meskipun aku tetap melihat cinta yang begitu besar di matamu.” jelasnya membuatku menganggukan kepala.
“Memangnya aku harus bagaimana? Membencinya tidaklah mudah, dia hanya begitu mudah untuk dicintai.”
“Dramatis.”
Aku memukul pelan kepalanya dengan sendok kecil di tanganku. Enak saja dia mengatakan itu dramatis setelah aku bersusah payah mencari jawaban untuk menguatkan diriku sendiri.Bagaimana bisa aku tenang? Aku sangat mencintainya, dan berpura-pura untuk tidak itu sangatlah susah. Apa Ares sengaja pergi untuk menghindariku? Segitu menyakitkan kah aku untuknya?
Kalau cinta dan benci itu satu paket, maka aku memilih untuk tidak mencinta ataupun membenci. Itu susah, percayalah.
-----
Bersambung ke Bagian 4 ...
Tidak ada komentar :
Posting Komentar