Bagian 6
Harus Terjadi
Kalau dulu setiap hariku diisi oleh Ares, maka sekarang sudah sangat berubah. Sangat-sangat berubah. Entah keadaan yang membuat kita berubah, atau kitalah yang membuat keadaan menjadi berubah.
Malam ini, sesuai janji Hendra, kami memutuskan makan es krim di Jalan Durian. Dia keren, itu saja. Dan ku harap aku tidak cukup memalukan untuk berdampingan dengan pria tampan sepertinya saat ini.
“Duduk di sana saja ya,” tawarku menunjuk kursi di dekat jendela.
Dia mengikutiku dengan gayanya sendiri. Aku cukup malas keluar sebenarnya, tapi mengingat Hendra yang sudah berjanji maka mau tak mau aku tetap harus ikut dengannya.
Tempo hari sampai detik ini, setelah aku memutuskan pulang dari rumah Ares, kami tidak ada komunikasi sama sekali. Jangan memintaku untuk menghubunginya lagi, karena aku benar-benar lelah diacuhkan seperti itu.
“Aku ngajak kamu makan, bukan bengong, Liv.”
Aku tertawa kecil.
“Kamu sering ke sini?”
Aku mengiyakan.
“Sendirian?”
Entah mengapa aku menjawab “Biasanya sama Ares. Tapi kadang juga sendirian.”
Dia menyendokkan es vanilla ke dalam mulutnya.
Kami membiarkan hening kembali. Malam ini tidak begitu banyak pengunjung disini, padahal biasanya jika aku pergi bersama Ares, kami harus memsan dulu meja agar tidak kehabisan tempat.
“Apa semua baik-baik saja?” tanya Hendra lagi.
Ini salah satu yang kusuka dari Hendra. Dia bisa mencium aroma masalah di sekitarku. Apa benar jika dia adalah peramal seperti tebakanku dulu?
“Apa bisa dikatakan baik kalau di punggungku ini ada masalah sebesar tronton?”
Dia terkekeh, “Jangan dipikirkan.”
“Tanpa dipikirkan sudah terpikir duluan, Ndra.”
Dia terkekeh lagi.
“Lupakan saja. Mari kita bahas yang lain,” kataku riang.
“Liv.”
“Ya?”
“Kemarin kamu bilang kalau aku harus menyatakan perasaanku pada wanita itu, bukan?”
Aku mencoba menggali maksud perkataan Hendra. Lalu sesudah merasa teringat percakapan kami lusa lalu, aku antusias menjawab, “Apa kamu sudah mengatakannya? Bagaimana reaksinya?”
Melihatku yang begitu dia tertawa lagi. Apa aku sebegitu menyenangkannya sampai ia selalu tertawa saat bersamaku?
“Belum.”
“Apa?!”
“Aku belum mengatakannya.”
Aku mendengus kesal mendengarnya. Aku pikir dia akan menceritakan kalau wanita itu sudah menerimanya karena tentu saja aku ingin Hendra bahagia dengan pasangannya, sungguh.
“Bukankah aku sudah menyuruhmu sebelumnya? Lantas kenapa kamu tidak melakukannya juga? Aku benar-benar marah padamu. Bagaimana jika dia diambil orang lain lagi, hah?”
Baiklah, aku tahu pertanyaanku ini terlalu banyak, tapi lebih baik begini daripada aku harus menjambaknya habis-habisan.
“Aku akan menyatakannya.”
“Kemarin juga kamu bilangnya gitu.”
“Sekarang aku akan menyatakannya.”
“Bagaimana bisa? Jangan bilang kamu akan pergi dan ninggalin aku makan sendirian disini.” ancamku saat melihatnya tetap tenang.
“Aku menyukaimu.”
“Aku tahu itu, tolong jangan mengalihkan pembicaraan,” jawabku sambil mengibaskan tangan tepat di depannya.
“Aku juga mencintaimu.”
Untung saja saat ini aku tidak sedang menyendokkan es ke dalam mulutku, karena kalau iya, bukan hanya es yang tertelan olehku, tapi sendok itu juga!
“Baiklah sudah cukup omong kosongnya, Hendra.” aku berusaha tidak terusik.
“Apa yang membuatmu berpikir kalau ini hanya omong kosongku saja?”
“Karena…” aku tidak tahu harus menjawab apa. Jadi dia serius, begitu?
“Aku tidak pernah bermain-main, apalagi soal perasaan.”
Aku menghela napas.
“Di dunia aku hanya ada kamu, tapi di dunia kamu hanya ada Ares. Bisakah kamu sadar kalau Ares itu tidak dapat kamu miliki? Belajarlah menerima. Kamu tahu ada hal yang tidak bisa dipaksa.” terangnya.
Aku tahu, sungguh aku bahkan sangat tahu tentang itu. Bisakah dia tidak mengungkit masalah itu juga? Bahkan aku sudah bersusah payah untuk menghilangkannya dari pikiranku, dan sekarang dia malah membahasnya!
“Kamu sedang menghakimi aku, begitu?” tanyaku miris.
“Aku mencintaimu. Perasaanku ada padamu. Hanya itu.”
“Kamu tahu aku tidak suka membahas hal seperti ini.”
“Kamu tahu juga aku tidak suka perasaanku ini. Aku tidak ingin menyukai seorang wanita yang telah mencintai pria lain.”
Aku tidak mengerubisnya.
“Kamu berbeda, kamu penentang, kamu keras kepala, kamu tidak takut denganku, atau bahkan tertarik padaku,” katanya sangat pelan lalu melanjutkan, “Jadi salahkah aku kalau menyukaimu atau bahkan jatuh cinta padamu?”
Bukan salahmu. Tapi salahku karena belum bisa membalas perasaanmu.
“Hendra…”
“Aku tidak memintamu menjawab sekarang.”
“Ndra…”
“Kumohon jangan membuatku bersedih dulu akan penolakanmu. Kalau mau menolak besok-besok saja.”
“Aku tidak tahu mau menjawab apa. Aku tidak tahu perasanku padamu itu seperti apa. Jadi kumohon, berilah aku waktu.”
Dia tersenyum mendengar jawabanku. Jangan katakan kalau aku memberi harapan pada Hendra, karena yang kulakukan sebenarnya hanya berpikir kembali bagaimana sesungguhnya perasaanku padanya. Aku takut salah menjawab dan malah akan menjadi penyesalan.
“Jangan berubah.”
“Ya.”
“Jangan menjauhiku nantinya.”
“Oke.”
“Jangan menghindariku juga.”
“Bisakah kita makan sekarang? Perutku sudah lapar.”
Hendra tertawa, “Tentu. Untukmu apa yang tidak?”
“Jangan membuatku ingin muntah.”
Kami tertawa bersama.
-----
Aku suka warna kuning. Kalau kata orang warna itu memiliki sifat cemburu, maka aku akan membenarkannya. Buktinya, saat aku melihat Hendra mengerlingkan mata sembari menggoda pegawai wanitanya, rasanya kepalaku akan terbakar detik itu juga. Baru saja semalam dia menyatakan cinta padaku, tapi sekarang dia masih berani menggoda wanita lain?
Aku menginjak kakinya sambil tersenyum dengan wanita itu. Dia membalasku sopan sementara Hendra masih kesakitan memegang kakinya.
“Maaf, saya tidak sengaja, Pak,” Aku pura-pura terkejut. Rasain kamu.
“Mari saya bantu duduk, Pak,” ujar wanita itu sepertinya tahu dengan yang kulakukan, lalu memegang tangan Hendra.
Astaga, apa wanita itu sedang mengambil kesempatan? Tapi kenapa Hendra malah menurutinya? Rasanya hanya aku yang memperhatikan kejadian bodoh ini sementara yang lain seperti lebih peduli pada pekerjaan mereka.
Hendra mengedipkan sebelah matanya padaku saat sudah duduk di depan kursi wanita tadi. Sudah cukup, aku tidak tahan. Lantas aku segera menyeret tangan Hendra dan kenapa dia bisa berjalan baik-baik saja? Bukankah tadi dia terpincang-pincang sehingga dibantu oleh wanita cantik itu? Ya ampun!
Aku melepaskan tangan Hendra saat sudah tiba didalam ruangannya, lalu berbalik keluar dengan meneriakkan pesan, “Aku akan menghabisimu nanti, Hendra!”
“Kutunggu,” jawabnya menahan tawa.
Kenapa aku bisa cemburu? Jangan katakan kalau aku memang menyukainya. Tapi bukankah aku hanya mencintai Ares saja? Tidak mungkin hatiku terbagi dua bukan? Sekali lagi, tidak ada yang bisa menjawab pertanyaanku.
-----
Pesan Hendra tadi siang yaitu dia mengatakan akan mengajakku makan malam hari ini. Apa yang harus aku kenakan? Baju di dalam lemari rasanya sudah terlalu biasa untuk ku pakai. Kenapa jadi serepot ini?
Setelah menghabisakan waktu hampir sejam, lantas aku menuju keruang tamu karena Hendra memang sudah menungguku dari tadi. Itu resiko dia bukan?
“Cantik.” ucapnya pertama kali saat melihatku.
Aku tersenyum, tentu saja. Setelah memilih dress biru selutut dipandu high heels abu-abu dan make up yang tidak berlebihan, siapa yang bisa menolakku? Satu lagi, rambutku malam ini kugeraikan sehingga jatuh lurus sempurna.
Salah satu makanan yang terkenal di Pekanbaru adalah asam pedas. Maka dari itu kami memutuskan menu malam ini adalah patin asam pedas, nikmatnya.
“Kamu kenal orang di sana itu?” Hendra menunjuk dua pasangan yang duduk di dekat arah jalan. Sepertinya itu pasangan double date.
“Tidak. Apa kamu kenal?”
“Tidak juga.”
Mau tak mau aku menjadi tertawa karenanya. Untuk apa dia bertanya kalau dirinya sendiri tidak tahu jawabannya?
“Tapi kalau kamu mau kenal, aku bisa mengenalkannya padamu.”
Aku tertawa lagi sambil menggelengkan kepala karena tahu dia pasti akan melakukan hal gila.
“Ayolah malam ini aku ingin berkata serius padamu.”
“Oke katakanlah.”
“Ini tentang itu.” Sepertinya aku sedikit susah berkata-kata kali ini, karena aku ingin menjawab pertanyaannya sebelum terlambat.
“Itu? Itu apa?” dia bingung.
Aduh bagaimana caraku mengatakan kalau aku menerimanya?
“Apa kamu, maksud aku waktu itu…”
“Ya?” Hendra memajukan badannya seakan tahu aku sedang kesulitan mencari kata-kata.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Ternyata ini lebih susah daripada yang aku bayangkan.
Tarik napas, keluarkan. Pikirkan hal-hal yang baik saja Olivia.
“Untuk pertanyaan kamu malam itu, aku rasa aku…”
Kalau saja yang menelepon bukanlah orang yang penting, kurasa akan kuabaikan saja. Tapi ini adalah mama. Untuk apa dia meneleponku? Setahuku mama sudah mengetahui kalau aku pergi dengan Hendra sekarang.
“Ya, Mah?”
“…”
Aku mengerutkan kening lalu menjawab, “Ada apa, Mah?”
“…”
“Apa yang terjadi?”
“…”
“Katakanlah!” aku semakin cemas karena mama sepertinya sedang menangis disana.
“…”
“Apa?!”
“…”
Aku tidak menjawab perkataan terakhir mama sebelum ia mematikan ponsel. Rasanya aku tidak bisa merassakan apapun sekarang.
“Ada apa, Liv?” Hendra mengguncang pelan bahuku.
Aku tidak bisa berpikir saat ini.
“Liv,” ia memanggilku kembali.
“Ares masuk rumah sakit.”
Hanya itu yang bisa kuucapkan. Aku merasa membeku ditempat, bahkan aku tidak bisa menangis juga sekarang.
“Kita ke rumah sakit,” putus Hendra sambil menarik tanganku keluar.
Selama perjalanan kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku mencoba mengatur napas yang sepertinya semakin menyesakkan.
Mama bilang, ia mendapat telepon dari rumah sakit. Ares kecelakaan dan kata mama, polisi mengatakan kalau mobil Ares menabarak jembatan yang baru dibangun.
Apa ares baik-baik saja? Apa ares akan selamat? Apa yang dilakukan pria itu sehingga menabrak jembatan? Ya Tuhan, selamatkanlah Ares.
Aku bahkan sampai lupa untuk memberikan jawabanku kepada Hendra karena masalah ini.
Ku menghubungi nomor papa selagi Hendra membawa mobil. Setelah kujelaskan semuanya, papa bilang ia akan segera menyusul dengan mama Ares juga. Mereka mengambil jam keberangkatan besok pagi, dan memintaku untuk menjaga Ares.
-----
Aku dan Hendra berlari di lorong rumah sakit. Mama bilang Ares masuk ruang UGD. Aku langsung cemas, separah itukah? Hendra tetap diam sampai kami mendapati mama yang tengah duduk menunggu di depan ruangan.
“Kenapa, Mah?” aku langsung bertanya.
“Dia menabrak jembatan yang baru dibangun karena remnya blong. Hanya itu penjelasan dari polisi.”
“Apa disengaja?”
“Mereka bilang tidak, karena kabelnya memang putus bukan sengaja diputuskan.”
“Mereka yakin, Mah? aku tetap curiga.
Mama mengangguk.
Setelah sejam belum ada juga dokter yang keluar. Aku menjadi sangat ketakutan. Ares, apa yang sedang terjadi padamu?
Hendra mengatakan dia harus pulang dahulu dan nanti akan datang lagi. Aku menjadi kasihan padanya karena harus kesusahan dengan masalahku. Belum lagi sifat baiknya yang ditunjukkannya pada mamaku. Ia membawa mamaku pulang dan mengatakan kalau mamaku harus beristirahat atau setidaknya makan dahulu di rumah.
Aku tahu mama menyayangi Ares. Melihatnya yang secemas itu membuatku paham kalau mama memang tidak pernah membencinya.
Selamatkan Ares Tuhan, kumohon.
-----
Bersambung ke Bagian 7 ...
Tidak ada komentar :
Posting Komentar