Bagian 4
Menghindar
Mama bilang, dirinya tidak membenci Ares untuk alasan apapun. Bukan Ares lah yang salah, begitu katanya. Aku hanya mengangguk-angguk paham karena juga berpendapatan demikian. Tidak seharusnya menyalahkan Ares, karena ini adalah takdir. Dan tidak perlu juga menyalahkan Tuhan, karena ini hanyalah pelajaran hidup. Cepat ataupun lambat, aku pasti bisa berhenti. Tidak untuk melupakannya, hanya berhenti untuk mencintainya.
“Jadi jangan menghindarinya.”
“Iya, Mah.” jawabku setuju dengannya.
Aku bangga dengan mama. Perempuan ini bisa tabah padahal kejadian sekarang sangatlah menyakitkan baginya. Aku menatap lama mamaku dan bersyukur kembali di berikan seorang ibu sepertinya. Kuharap, semua anak bersyukur untuk karunia ini yang telah di karuniakan Tuhan. Kuharap juga mereka bersyukur akan Ayah yang di berikan Tuhan, meskipun aku kurang bisa merasakan hal yang satu itu.
-----
Hari ini kebetulan ada rapat pembahasan untuk masa purnabakti dari Bu Murgana, maka dari itu aku merasa sangat sibuk sampai tidak sempat makan siang. Sebenarnya bukan hanya aku yang merasakan hal itu, karena teman yang lainpun bernasip sama. Ini bukan pekerjaan yang berat, namun karena Bu Murgana meminta untuk penyelesaiannya di percepatlah yang membuat terasa lebih rumit.
“Kamu punya kenalan pemasangan spanduk tidak?” tanyaku pada Juna, seksi bagian dekorasi.
“Kebetulan ada, Mbak. Apa diperlukan juga?”
Aku mengangguk cepat dan memintanya mengantarkanku kesana.
“Saya ambil kunci mobil dulu, Mbak.” dia pergi berlari.
Aku menunggu di dekat lobi kantor seraya melihat layar ponselku, manatahu ada pesan dari Ares. Dan ternyata, tidak ada sama sekali.
Ternyata kamu benar-benar menghindar, Res.
“Hei.” seseorang menepuk bahuku, membuat handphoneku hampir saja jatuh.
“Astaga Ndra, bisa tidak kamu bersikap normal? Kalau ponsel aku jatuh gimana?”
“Aku bakal minta maaf.”
Aku meringis kesal mendengar jawabannya. Untung saja Juna segera muncul dari depanku sehingga aku punya alasan untuk pergi dari sini.
“Mau ke mana?” Hendra bertanya.
Aku berniat melangkahkan kaki meninggalkan Hendra dengan pertanyaannya, namun sepertinya Juna terlalu bersikap sopan sehingga ia berhenti untuk menjawab dahulu pertanyaan Hendra.
“Biar sama saya saja.” komentar Hendra setelahnya.
“Eh, aku tidak mau. Memang kamu tahu alamatnya?” aku memprotesnya kali ini.
“Tidak tahu.”
Ingin aku meneriakinya dengan kencang sekali sampai dia berkata ampun. Bisa-bisanya dia menjawab seperti itu, menyebalkan.
“Ke laut saja, Ndra.”
“Tapi kan Juna tahu.” dia tersenyum seperti punya rencana, dan aku waspada.
“Juna yang bawa mobilnya, dan aku tetap ikut bareng kamu.”
Tidak waras.
Aku berjalan mendahului mereka berdua. Melihat Juna yang sepertinya menurut saja dengan Hedra membuatku semakin kesal. Apa semua pria menyebalkan?
“Jadi apa kamu sudah punya pacar?” aku menoleh pada Hendra yang duduk di sebelahku.
“Kamu tanya aku?”
“Engga, aku tanya Juna kok.”
Dia mengerjaiku ternyata.
“Belum, Pak.” jawab Juna. Dia menyetir mobil dengan sedikit lebih lembat, seperti siput saja.
“Bisa lebih cepat sedikit tidak?” aku berusaha menutupi raut kesal meskipun kurasa tidak berhasil karena Hendra dengan cepat melihat kearahku.
“Apa?” ketusku membalas tatapannya.
“Tidak ada,” dia membuang muka dan berkata lagi, “Jun, apa semua wanita itu menyebalkan?”
Dia mulai memancingmu Liv, tenanglah.
“Saya rasa tidak, Pak.” aku tersenyum miring mendengar jawaban Juna. Yes!
“Tidak semuanya memang, tapi yang berada di dekat kita kurasa menyebalkan.”
Apa katanya? Segera aku menjambak rambut Hendra dengan sedikit kuat, biarkan saja dia kesakitan karena aku begitu kesal padanya. Jika kepalaku adalah naga, maka aku akan mengeluarkan api untuk membakarnya!
-----
Intinya hari ini Ares sama sekali tidak menghubungiku. Apakah aku kehilangannya? Tentu saja! Bagaimana bisa dia tidak mengabari aku bahwa dia sudah sampai atau belum, apakah dia betah disana atau tidak. Haruskah aku yang menghubunginya dahulu?
Kalau ada yang bilang lebih baik sakit hati daripada sakit gigi, maka aku akan katakan sebaliknya. Kamu akan tahu bagaimana rasanya jadi diriku jika kamu mengalami hal yang sama. Karena mustahil seseorang mengerti apabila ia tidak mengalaminya sendiri.
Aku sedang berusaha menganggapnya saudaraku, maka dari itu aku tidak menghindarinya. Jika saja tidak demikian, maka sekarang aku akan melarikan diri untuk menghilangkan rasa cintaku. Untung saja aku masih mempunyai kewarasan sehingga tidak meraung-raung saat Ares mengatakan akan pergi.
Sembari menunggu mata mengantuk, aku berjalan-jalan di timeline. Sebenarnya aku tidak terlalu sering bermain sosial media karena kesibukan kerja lebih menyita waktuku. Namun hari ini entah mengapa aku merasa kesepian.
Saat membuka salah satu aplikasi di handphoneku, terlihat Ares sudah mengupload sebuah foto dengan wanita sekitar beberapa jam lalu. Cantik, pikirku.
“So as long as I life I love you” itulah captionnya. Apa ini? Aku merasa kegerahan melihatnya. Kekasih Areskah? Atau hanya teman? Tapi kenapa terlihat begitu dekat?
Ah, mataku terasa memanas. Apa-apaan ini? Aku mematikan ponselku, mengambil bantal guling berniat untuk langsung tidur, lalu berharap bermimpi ketemu Ares dan aku akan menjambaknya sekuat tenaga!
Yang paling menyedihkan daripada sendirian adalah kesepian. Dan malam ini aku merasakannya.
-----
“Oliv, bangun. Kamu tidak kerja?”
“Malas, Mah.” ujarku sembari menaikan selimut yang sudah melorot ke kaki. Bisakah waktu berputar menjadi malam kembali? Aku begitu malas beraktifitas hari ini.
Tapi sepertinya Mama tidak sependapat denganku, ia menarik selimut seperti mengajak perang dengan diriku. Baiklah, aku mengalah.
“Iya, Mah. Cerewet ah.” aku beranjak dari kasur masih dengan menutup mata dan melangkahkan kaki ke kamar mandi.
-----
Hendra tidak datang, aku tidak tahu dia ke mana. Tapi seingatku dia tidak memiliki surat tugas untuk hari ini. Aku berniat menghubunginya, namun kuurungkan karena kupikir mungkin dia sedang ada urusan pribadi, dan aku tidak perlu tahu apa itu.
Sejam sendirian di dalam ruangan ini begitu membuatku merasa kesepian. Dua jam juga berlalu dan aku tetap sendirian. Layar handphoneku masih tetap gelap seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan disana, menyedihkan. Karena sudah tidak tahan sendirian, aku memutuskan keluar ruangan menuju kantin dibelakang kantor. Sepi juga ternyata. Kemana semua orang pergi?
“Lemon tea satu, Bu.”
“Eh kamu Vi. Ibu kira siapa tadi.” ujar Bu Iyem penjaga kantin disini. Aku hanya cengengesan membalas perkataannya.
“Kok gak ikut acara penyambutan Pak Hendra, Vi?”
Aku bingung apa maksudnya. Memangnya ada acara apa hari ini dengan Hendra? “Apa, Bu?”
“Itu loh teman-teman kantor pada rayain pesta penyambutan buat Pak Hendra. Lah, memang kamu gak diundang?” jawabnya sambil menyerahkan pesananku.
“Di mana?”
“Di Aula, udah dari tadi mulainya, Vi.”
Setelah berterimakasih pada Bu Iyem, aku langsung menuju aula. Kenapa tidak ada yang memberitahuku? Dan lagian, kenapa Hendra juga tidak mengajakku? Aku merengut kesal karena merasa diacuhkan.
Ternyata benar, sesampainya disana aula sudah dipenuhi pegawai kantor lainnya. Ada banyak makanan yang telah di hidangkan. Aku berjalan mengitari aula, mencari keberadaan Hendra. Awas saja kalau sampai ketemu.
Itu dia dipojokan sedang berbicara dengan seorang gadis muda yang bisa dibilang memang cantik. Aku memperhatikan bentuk badannya, make up diwajahnya, fashionnya yang sangat modern. Sudah pasti dia itu seorang model.
“Ndra,” aku memanggilnya dengan nada datar juga tatapan yang sangat datar, agar dia tahu bahwa aku sedang marah padanya.
Mereka berdua menoleh.
“Ya, Liv?” Hendra tersenyum.
“Kamu.” Aku menatap tajam padanya sambil mengepalkan tangan seperti ingin meremas wajah tampannya itu.
Gadis yang berada di samping Hendra menatap bingung atau bahkan tidak suka kearahku dan berkata, “Kamu siapanya Hendra ya?”
Sial! Aku siapa katanya? Tidak tahukah dia bahwa aku… siapa Hendra aku? Aku diam menatapnya, tidak tahu harus mengatakan apa. Tapi namaku Olivia, dan aku tidak pernah kalah!
“Apa urusanmu?” kataku sengit.
Dia seperti terkejut dengan pertanyaanku dan mendorong bahu kananku kebelakang. “Kamu tidak bisa sopan ya?”
Sial, aku terbawa emosi dan mendorong balik dirinya. Lihatlah, bentuk badannya yang kurus itu pasti aku bisa membuatku menghajarnya. Dia terkejut lagi dan mulai membabi-buta diriku. Jangan sebut aku Olivia jika tidak pandai membalasnya!
Hendra menghentikan kami. Dia membawaku kebelakang punggungnya, dan berkata singkat pada gadis itu “Aku akan mengurusnya,” dengan cepat Hendra membawaku pergi keluar sambil menarik pergelangan tangan kananku.
Aku tahu orang-orang tengah memperhatikan kami. Biar saja, aku sudah terlanjur emosi. Mulai dari Hendra yang meninggalkanku berjam-jam, lalu karyawan lainnya tidak memberitahu acara ini, dan terakhir gadis sok kecantikan yang berada didekat Hendra benar-benar membuatku kehilangan akal.
“Apa yang kamu lakukan, Liv?”
Sepertinya Hendra marah. Aku diam, tidak berani lagi menatapnya. Tarik napas, keluarkan. Astaga, Liv. Apa yang telah aku lakukan? Bodoh sekali aku mempermalukan diriku sendiri. Aku mengutuk dalam hati sambil menokok kecil kepalaku dengan tangan kiri.
“Jangan lakukan lagi.” Hendra memegang tangan kiriku yang sedang memukul kepalaku sendiri seperti orang bodoh lagi, aduh.
Percayalah aku tetap diam tak berani mengangkat wsajah.
“Katakan padaku, kenapa kamu begini?” tanya Hendra lagi masih memegang tanganku. Astaga, ini malah membuat jantungku berolahraga.
“Aku…”
“Ya, Liv.”
“Aku aku…” kenapa malah gugup sih? Ah, sial.
“Katakanlah.”
“Kamu membuatku marah.” kali ini aku menatap matanya dengan tajam. “kamu ninggalin aku, tidak ngabarin aku, terus pesta sendirian, lalu wanita itu..,”
Dia tersenyum mendengarku, “Lalu ada apa dengan wanita itu?”
Tidak mungkin aku mengatakan padamu bahwa aku cemburu!
‘Tidak ada.” Aku membalikan badan dari arahnya, lalu bersedekap dada.
Dia tertawa, merdu sekali, dan aku menyukai itu. Hendra membisikan sesuatu di telingaku yang membuat pipi serta telingaku memerah malu “Dan kamu cemburu.”
-----
Gadis itu Amelia, sepupu Hendra dari keluarga mamanya. Aku percaya, dia tidak akan mungkin berbohong. Kepercayaan itu adalah cinta. Tapi bukan berarti aku mencintai Hendra. Itu hanyalah sebuah istilah untuk mempercayai seorang sahabat sepertinya.
Kembali lagi kepada Ares, aku sudah memikirkan segalanya. Apa salah kita? Atau apa yang salah diantara kita selain cinta yang harus dikubur dalam-dalam? Kurasa tidak ada. Lantas, pantaskah Ares menghukumku dengan cara pergi jauh seperti ini? Aku tidak manja, sungguh. Hanya saja ini terasa sedikit tidak adil.
“Apa aku harus menghubungnya?” aku menanyakan pendapat Hendra.
“Apa harus?”’
“Aku sedang bertanya, tidak bisakah kamu menjawab dahulu?” ujarku dengan sedikit kesal.
“Kurasa harus.”
“Bagus.”
Aku langsung menghubungi ponsel Ares setelah mendengar jawaban Hendra. Ah, tidak diangkat. Ku coba lagi sampai yang ketiga kalinya tetap tidak diangkat. Rasanya aku ingin menangis saja karena sudah terlalu dalam memendam emosi. Dia ini siapa sih sampai harus sesombong itu untuk tidak mengangkat teleponku?
“Aku mau ke Singapura saja, Ndra.” terangku padanya saat itu juga.
Sepertinya dia terkejut dan berkata “Apa kamu masih waras?”
Aku menggelengkan kepala. Bagaimana bisa aku masih waras setelah kejadian ini? Aku memang sudah mencoba untuk tidak mencintai Ares lagi, tapi bisakah Ares juga berusaha untuk tidak menghindariku lagi?
Hendra berdiri dan berkacak pinggang didepanku, “Kamu itu masih cinta ya dengan dia?”
Aku tidak menjawabnya, melainkan masih sibuk memegang ponselku. Mana tahu Ares mau menelepon balik.
“Aku tidak menyangka kamu sebegitu lemahnya, Liv.”
Aku masih tetap menghiraukannya. Astaga, apa Ares benar-benar tidak mau meneleponku? Aku bahkan tidak mau mempercayai ini.
“Apa aku berbicara pada tembok?” Hendra berdiri tepat dihadapanku sekarang.
“Terserah.” dia lah yang menjawab pertanyaannya sendiri. Aku ingin tertawa, tapi ku urungkan. Hendra itu lucu juga ya, kenapa dia berbicara sendiri dan juga marah sendiri?
-----
“Kamu tahu, aku paling benci ditinggal.”
Setelah beberapa jam yang lalu saat Hendra memutuskan untuk pergi dari ruanganku, aku datang menghampirinya. Aku berbicara didepan Hendra, dan ia sepertinya malah asyik sendiri dengan komputer di depannya.
Ah, niat balas dendam ternyata.
Aku duduk dikursi depannya sambil memikirkan cara agar dia memperhatikanku. Tapi bagaimana?
“Ndra…” aku menggeser-geser pelan buku disamping tangannya. Sedang apa sih anak ini?
“Aku ada cerita, kamu mau dengar?” anggap saja aku seperti anak kecil saat ini, tapi demi mendapatkan apa yang aku inginkan, apapun bisa kulakukan.
“Kalau kamu tidak menjawab, artinya kamu setuju.” dia bergerak sedikit. Aku mengira Hendra akan melihatku, nyata nya dia malah mengambil tissue disebelah kanannya. Bahkan tissue saja lebih dianggap ada daripada aku yang berada didepannya!
Setelah beberapa menit aku diam, ternyata dia juga masih mendiamiku. Astaga, apa semua orang harus mengacuhkanku seperti ini? Aku mulai terbakar dengan pikiranku sendiri.
“Kalau kamu masih tidak menjawab, aku janji bakal buat kegaduhan dikantor ini!” kali ini aku mengancamnya, dan dia termakan perkataanku.
“Masih membutuhkanku ternyata,” dia menatapku sendu.
Aku mendengus kesal. “Tentu saja aku membutuhkanmu,”
“Benarkah?”
Aku memelakan suara, “Ya.”
“Kalau begitu, jadilah pacarku.”
“Kamu tidak waras.” Aku akan kesal jika dia membahas soal perasaan. Untuk saat ini saja aku tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri, lantas bagaimana bisa aku mengendalikan perasaannya?
“Apa caraku kurang bagus untuk menembakmu?”
Aku tertawa lega. Dia bercanda ternyata. “Aku hampir jantungan kalau kamu ngomong kayak gitu lagi.”
“Kalau suatu saat nanti aku ngomong bergitu lagi gimana?”
“Aku bakal mati.”
Dia tidak tertawa. Apa aku salah berbicara?
“Kalau kamu mati, aku hidup dengan siapa nanti?”
“Tidak tahu.”
“Tidak tahu?” dia terkejut kali ini.
“Tidak mau tahu.”
Kami tertawa bersama. Bolehkah aku berharap hujan turun kali ini? Kurasa aku sedang ingin menatap hujan lagi, bersama Hendra lagi, sambil berbincang lagi.
Jangan mengira aku jatuh cinta padanya, karena itu salah. Ya, kuharap itu salah. Aku tidak ingin hubunganku dengan Hendra nantinya malah merusak pertemanan kami. Aku merasa sudah nyaman dengan status kami seperti ini.
“Permisi,” seseorang masuk keruangan Hendra, membuat pembicaraan kami terhenti.
“Masuk.” Hendra kembali bersikap layaknya seorang pimpinan. Dia membuka beberapa berkas yang diberikan gadis itu, salah satu pegawai dari tempat kerja lamanya dan menatapku sebentar. Ada apa?
“Kamu bisa keluar.”
Apa? Aku keluar?
“Baik, Pak.” ujarku sambil menatapnya dengan tajam.
Aku menggerutu kesal. Rara yang berada diluar ruangan menatapku dan tertawa.
“Baru kali ini aku liat cewek cantik suka mencibir kayak kamu.” katanya saat sudah berhenti tertawa.
“Makasih, aku memang cantik.” jawabku mengabaikan komentarnya.
“Dipuji dikit saja langsung melambung,” dia menggelengkan kepala.
Giliran aku yang tertawa. Ruangan ini berisi pegawai di bidang umum. Aku berjalan ke meja Rara dan duduk disana. Kebetulan sekali ada roti, sekalian mencicipi tidak salah bukan? Manis, cukup lezat.
“Ares tidak pernah tampak lagi, kemana dia?”
Aku berusaha mengendalikan pergerakanku. Jika saja aku cepat bergerak, ketahuan sekali aku terkejut dengan pertanyaannya. Apa aku harus memberikan jawaban? Ku rasa tidak perlu. Maka dari itu aku hanya diam smbil mengunyah roti yang sudah tidak terasa manis lagi sekarang. Apa perasaan bisa merubah segala?
“Pak Hendra, Liv.” dia menunjuk kedepan dengan dagunya. Aku menoleh.
Hendra sedang berjalan keluar dengan gadis tadi. Kenapa Hendra selalu dikelilingi gadis-gadis cantik sih?
“Dia bahkan tidak melihat kearah kita.” cibirku
“Mungkin kita bukan seleranya.”
Aku tertawa mendengar perkataan Rara. Apa maksudnya Hendra itu adalah seleranya, begitu?
Kurasa hampir semua gadis di kantor ini menyukai ketampanan Hendra. Wah kalau begitu beruntung sekali aku menjadi sahabatnya, bukan?
“Kamu naksir dia?
Rara tersenyum. “Tidak benar-benar naksir. Hanya kagum dengan ketampanannya.”
-----
Bersambung ke Bagian 5 ...
Tidak ada komentar :
Posting Komentar