Bagian 5
Pergilah
Sudah dua bulan lebih sejak aku mengetahui Ares adalah saudaraku. Dan sudah sebulan penuh sejak Ares pergi dari kota ini aku benar-benar merasa kesepian. Papa sudah kembali ke negerinya bersama mama Ares, yang terakhir kali kuketahui, mama sudah berdamai dengan ibunda dari Ares, syukurlah. Aku percaya semua ibu didunia ini pastilah wanita terbaik.
Ares masih tidak menghubungiku. Padahal ini sudah hari ke-31 setelah dia pergi. Seharusnya dia sudah pulang. Bukankah kata Ares dia tidak akan lama?
Kalau ada yang bertanya, masihkah aku mencintai Ares, dengan mudah aku akan menjawab iya. Lalu aku akan menangis setelahnya. Jangan anggap aku cengeng, meskipun itu memang benar adanya, tapi orang harus tahu tidak mudah menjadi diriku.
“Bagaimana kalau aku mendatangi rumah sakitnya saja?”
Hendra malah mengacak-acak rambutku saat aku bertanya, “Mana yang terbaik untukmu saja.”
Kami sedang berada di salah satu tempat wisata Kota Pekanbaru. Cuaca disini tidak terlalu panas karena masih banyak pohon hijau yang tumbuh. Aku duduk di dekat rumput yang menghadap langsung ke arah sungai. Sungai ini tidak terlalu jernih lagi, kurasa banyak pengunjung yang tidak sopan sehingga membuang sampah kedalamnya.
“Mau menemaniku nanti sore?”
“Tentu,” jawab Hendra dengan cepat.
Aku memukul pelan kepalanya, “Tidak bisakah kamu berpikir dahulu sebelum menjawabku?”
“Tidak.”
Aku meringis kesal. Terbuat dari apa anak ini sebenarnya?
“Kenapa Bu Murgana bisa mempunyai anak seperti kamu ya.”
Dia tidak menjawab dan hanya memainkan rumput yang sedikit panjang disekitar tempat duduknya.
“Kamu tidak bisa melupakan Ares ya?”
“Kenapa aku harus melupakannya?”
“Karena aku menyukaimu.”
Entah ini kode alam atau tidak, tapi saat dia berkata seperti itu semilir angin kencang menerpa dan detik berikutnya hujan deras mulai membasahi kami.
Hendra mengajakku berdiri dan kami berlari ke mobil. Dia menjadikan tangannya sebagai payung untuk kepalaku. Meskipun itu tidak cukup berhasil, tapi aku senang diperlakukan begitu manis olehnya.
“Ya, basah deh.” Aku menepuk sekilas bajuku, seakan-akan dengan begitu akan mudah kering.
“Mau jaket aku tidak?” tanya Hendra sambil memanjangkan tangan mengambil jaketnya yang ternyata ada di kursi belakang.
“Kamu?”
“Pakai aja. Aku cowok, dan lebih kuat.”
Aku tertawa pelan. Apakah tingkat kekuatan itu diukur dari jenis kelaminnya? Jika laki-laki itu kuat, bukan berarti perempuan itu lemah.
Hendra menjalankan mobil keluar area. Aku memperhatikan hujan dari jendela mobil. Beberapa orang masih berlalu-lalang ternyata. Ada juga anak-anak yang bermain di bawahnya. Indah sekali pemandangan seperti ini.
Bisakah kita menjadi anak kecil lagi?
Aku bertanya dalam hati, apakah beberapa tahun di kemudian hari nanti masih ada keadaan yang sama seperti sekarang ini? Atau bahkan semua orang sudah sibuk dengan teknologi canggih mereka sehingga melupakan hal sederhana ini? Hanya waktu yang akan menjawab.
Seperti perkataan Hendra tentang rasa sukanya padaku, aku tidak berani membahasnya. Entah aku takut karena dia hanya bercanda padahal aku sudah berharap, atau karena aku takut dia serius dan itu malah merubah pertemanan kami.
-----
Hendra datang menjemputku seperti janji kami tadi siang dan dia dengan baik hati mau mengantarkanku ke rumah sakit di mana Ares bekerja. Aku ingin melihat langsung, apakah pria ysng membuatku uring-uringan itu sudah pulang atau belum.
Sesampainya disana Hendra mengatakan bahwa dia akan menunggu di lobi saja. Aku setuju dan berjalan sendiri keruangan Ares.
Kenapa aku jadi merasa tegang? Apakah ada hal buruk yang akan terjadi?
Dan benar saja, disana aku melihat ada Ares. Dia sedang berdiri di depan meja sambil membaca dokumen yang ada di tangannya.
Jadi kamu sudah pulang. Aku mengangguk sendiri.
Aku menatapnya lama dari luar sampai kemudian dia meletakan dokumen itu dan tak sengaja matanya melihatku di balik kaca. Matanya tenang, pergerakannyapun sama.
Kamu baik-baik saja ternyata.
Saat kurasa dia akan mengejarku, aku berlari ke lobi menemui Hendra.
“Bagaimana?”
“Kita pulang,” aku berjalan mendahuluinya yang pasti sedang kebingungan. Kenapa Ares bisa baik-baik saja setelah tidak mengabariku? Apa dia memang sudah tidak mencintaiku lagi? Kurasa tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan itu selain Ares sendiri.
“Ada apa, Liv?” tanya Hendra saat kami sudah di jalan pulang.
“Tidak ada.”
“Ada apa? Katakanlah.”
“Tidak,Ndra.”
“Apa aku ini tidak berarti bagimu?” dia mulai mengacau.
“Aku sedang banyak masalah, kumohon mengertilah.”
Dia tertawa miris, dan aku cukup sakit mendengarnya.
-----
Jalanan masih macet saat jam kantor seperti ini. Hampir sejam barulah aku sampai di rumah. Sendirian dirumah sangatlah tidak enak. Mama bilang, dia ada urusan sebentar dengan komunitas koor dari gereja kami.
Setelah membuka gerbang sendiri, aku memajukan mobil ke garasi, membuka pintu dan berniat masuk rumah sebelum sebuah suara menghentikanku.
Aku berbalik dan mendapati di depan sana ada Ares. Napasku tercekat. Sedang apa pria itu disini sekarang? Dia masih berdiri disana sebelum kemudian berjalan masuk ke dalam rumahku.
Ingin rasanya aku berlari dari sini, tapi kakiku berkhianat. Aku menunggunya sampai tiba di depanku lalu berkata, “Kenapa…”
Ketahuilah aku berusaha menahan tangis saat ini, sudah kukatakan bukan kalau aku selalu menjadi cengeng saat bersama Ares?
“Kenapa kamu tidak mengabariku?”
“Maaf.” hanya itu saja jawabannya.
“Kenapa tidak memberitahu kapan akan pulang?”
“Maaf, Liv.”
“Kenapa tidak menemuiku saat sudah disini?”
“Maafkan aku,sungguh.”
Aku lepas kendali dan mengucapkan semua yang ada dihatiku, “Tidakkah kamu memikirkan seberapa lama aku menunggumu?”
Ini sangat memilukan. Bagaimana bisa aku merasa tersakiti hanya karena Ares tidak berada di sampingku?
Entah pada menit keberapa setelah aku tenang, akhirnya Ares membawaku untuk duduk di depan rumah dan aku hanya menurut.
“Jadi dia pacar kamu?” aku mulai bertanya lagi.
“Siapa?”
“Wanita yang berfoto dengan kamu.”
“Oh, kamu melihatnya ternyata.” Aku mengangguk membenarkannya.
“Dia senior aku, hanya sebatas itu dan tidak lebih.”
Aku percaya. Apapun yang dikatakan Ares aku percaya, karena aku sangat mencintainya.
“Jadi kamu sudah pacaran dengan boss mu itu?”
“Apa?”
“Boss baru itu pacar kamu?” jelas Ares enggan mengucap nama Hendra.
“Tidak.”
Ares tidak bertanya lebih lanjut. Kami memilih untuk tetap diam sampai kemudian aku mulai bersin-bersin terkena angin malam, barulah Ares meraih tanganku masuk ke rumah dan dia sendiri memutuskan untuk pulang.
-----
Apa yang paling menarik selain hari libur? Tentu saja hari ini karena hari ini adalah hari jadiku dengan Ares yang ke-5 tahun, jika saja tidak ada masalah yang rumit itu tentu saja. Dan tepat juga hari ini merupakan hari ulang tahun Ares. Tidak seperti biasanya, aku sungguh berharap hari ini cepat berlalu. Sama seperti hubunganku dengan Ares yang sudah berakhir juga. Namun bukan berarti aku mengharapkan hal buruk untuk ulang tahun Ares, sungguh tidak sama sekali.
Aku menghembuskan napas berat, mengingat hal ini malah membuat semua semangat yang sudah kubangun susah payah menjadi hilang tak bersisa.
“Happy anniv ya, Vi.”
Ah, pagi sekali aku baru saja datang dan Rara temanku itu malah mengucapkan sesuatu yang membuatku menyesali keadaan.
Aku meringis dan tidak menjawabnya. Raralah yang selalu ingat tanggal ini, karena seperti tahun-tahun sebelumnya, aku dan Ares memang rutin membuat perayaan untuk hari besar kami ini. Namun kalau aku tidak waras, maka aku akan mencurigai Rara menyukai Ares.
“Kamu sakit ya?” tanya Rara menghampiriku.
“Cuma kurang energi aja.” jawabku seadanya.
“Apa Ares membuat sesuatu yang menguras energimu?” dia mulai menggodaku.
“Bisakah kamu keluar? Aku sedang banyak pekerjaan.”
Dia tertawa dan pergi setelah berhasil membuatku kesal setengah mati.
Jangan tanya apa hadiah yang akan aku berikan untuk ulang tahun Ares, karena untuk mengucapkan selamat padanya pun belum aku lakukan. Aku takut, tentu saja. Bagaimana jika itu membuat kami malah menjadi canggung?
Bayangkan saja jika menjadi aku, apa yang akan kamu lakukan? Memberi ucapan selamat tapi dianggap sebagai kode untuk mengingatkannya hari jadian yang sudah gagal, atau tetap diam tapi dianggap sebagai orang yang sudah melupakannya?
Di mana Hendra? Aku butuh sarannya sekarang ini. Lantas aku menghubungi nomornya dan dia mengatakan bahwa dia baru saja bangun dan bersiap untuk mandi. Astaga, padahal sudah jam segini dan dia baru mau mandi? Akan kupukul dia nanti jika sudah sampai, dasar pemalas.
Saat sudah hampir menunjukan jam sepuluh barulah Hendra tiba dikantor. Aku langsung menariknya begitu mengetahui dia sudah datang tapi masih saja berbicara sambil menggoda wanita yang tengah berkumpul di front office.
“Bukannya menegur pegawai yang bergosip di kantor tapi kamu malah ikutan dengan mereka,” aku berkacak pinggang di depannya.
“Hanya sebentar saja.”
“Sedetikpun tidak boleh.” Kenapa aku merasa sedang mengaturnya?
Dia menaikkan sebelah alisnya, “Apa aku tidak salah dengar? Kenapa kamu bicara seperti sedang cemburu?”
Matilah aku, dia malah salah sangka.
“Jangan mengalihkan pembicaraan,” aku mengelaknya.
“Bukannya kamu yang mengalihkan?” Hendra terkekeh.
“Sudah, pergilah sana jika tidak mau mendengar aku,” kataku setengah mengusirnya.
“Kamu marah mulu, lagi ada masalah?”
“Masalah aku cuma Ares.”
“Ada apa lagi dengannya?”
Aku memilih duduk untuk menceritakan permasalahanku yang sedang menari-nari didalam kepala ini.
Hendra adalah pendengar yang baik, aku tahu itu. Karena setiap aku berbicara dia hanya diam mendengar lalu berkomentar seperlunya. Tapi kalau dibandingkan dengan Ares, dia tetap akan kalah. Ares bukan hanya pendengar yang baik, tapi dia juga penasihat yang sangat baik. Mengingat semua kesempurnaan di diri Ares membuat hatiku menciut. Betapa tidak sebandingnya aku dengan Ares, ternyata. Dan itu membuatku bersedih lagi, bahkan semakin dalam.
“Aku tidak pernah di posisi seperti kamu.” komentar Hendra saat aku telah selesai mengutarakan semua pikiranku.
“Tapi kurasa kamu tetap harus memberinya ucapan selamat. Bukan sebagai mantan pacar, tapi sebagai saudari yang baik hati.”
Aku suka pemikiran Hendra. Bahkan dari tadi aku tidak bisa berpikir positif hanya karena mengingat Ares pernah menjadi kekasihku.
Kalau begitu apa yang harus kulakukan sekarang?
Kami berdua, maksudku aku dan Ares tidak suka berkomunikasi melalui ponsel. Lantas aku memutuskan untuk menemuinya saja nanti malam di rumahnya. Perlukah aku membawakan kue atau bahkan hadiah? Kuputuskan untuk nanti saja aku memikirkannya karena sekarang gantian Hendra lah yang bercerita. Katanya dia sedang ada masalah besar.
“Tentang wanita,” katanya pelan.
Aku hanya ber oh ria mendengarnya, sambil berusaha tidak langsung bertanya seperti biasanya.
“Aku menyukainya tapi dia menyukai orang lain.”
Malangnya nasibmu Hendra.
“Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Begitu mencintainya, begitu tergila-gila padanya.”
“Asal kamu tidak melakukan hal yang gila padanya,” ceplosku begitu saja. Aku langsung menutup mulut dengan sebelah tangan, dan sebelahnya lagi menari di depan Hendra seperti memintanya melanjutkan cerita.
“Dia berbeda,” sambungnya
“Apa dia bukan wanita?” tanyaku.
“Tentu saja wanita. Maksudku dia mempunyai sifat yang berbeda dengan wanita lain,” jawabnya sedikit kesal.
“Utarakan saja perasaan kamu.”
“Dia menyukai pria lain dan aku dengan tidak warasnya mengutarakan perasaanku?”
“Mana tahu dia juga menyukaimu. Apa pria itu pacarnya?”
“Lebih tepatnya mantan.”
“Lantas kenapa tidak kamu katakan saja?”
“Apa dia akan menerimaku?” dia bertanya seperti orang bodoh saja. Memangnya dia pikir aku tahu jawabannya?
“Kalau kamu bertanya padaku, aku mau bertanya pada siapa?”
Dia tertawa dan mengucapkan terimakasih atas saranku. Sebagai gantinya dia akan mentraktirku makan es krim besok malam. Katanya hari ini dia tidak bisa karena mau menemani mamanya kerumah saudara di daerah Bangkinang. Aku tentu saja langsung menyetujui hadiah gratisan seperti ini. Semoga wanita itu menerima Hendra, doaku dalam hati.
-----
Aku mengenakan dress merah selutut, lalu high heels hitam yang tidak terlalu tinggi, juga make up yang sedikit natural untuk datang ke rumah Ares. Sejenak aku memperhatikan kotak kecil di kasur yang tadi sore sudah kubeli untuk Ares. Aku memberikan hadiah bingkai fotoku dengannya, bukan maksud mengingatkannya pada hubungan kami, sungguh bukan. Tapi karena aku tidak tahu lagi harus memberikan apa padanya.
Mama menitipkan hadiah juga yang aku tidak tahu apa itu isinya, karena kata mama itu rahasia. Aku setuju dan tidak banyak komentar melainkan langsung saja menjalankan mobilku menuju rumah Ares. Tidak jauh karena kami tinggal di satu kota yang sama.
Aku pikir Ares tidak mengadakan pesta untuk ulang tahunnya kali ini, karena dia memang tidak memberi tahukan apapun padaku. Tapi sesampainya disana aku melihat rumah Ares sedikit banyak telah dipenuhi juga oleh rekan kerjanya.
Oh, ada perayaan ternyata.
Suara tawa sudah terdengar dari beranda rumah Ares. Saat aku melangkah masuk, salah satu temannya melihatku, yang kalau tidak salah namanya Marius.
“Res, ada Olivia tuh,” teriaknya sambil tersenyum padaku.
Aku membalas senyumnya dan memutuskan untuk menghampiri Ares yang sedang duduk di dekat televisi.
“Hai,” katanya sambil meletakan gelas minumannya.
Aku mengangguk tersenyum tapi kurasa tetap ada rasa sedih disana karena mengingat Ares yang tidak mengundangku.
“Kita ngobrol di atas aja mau?” tawarnya.
Aku mengangguk lagi dan mengikutinya ke atas. Maksudnya atas adalah di atap gedung apartemennya.
Angin malam sedikit kencang rupanya malam ini. Aku sampai menyesal karena tidak membawa jaket.
Dia diam, akupun sama. Kami membiarkan keheningan sebentar lalu, “Selamat ulangtahun ya.”
Dia menatapku dalam.
“Aku cuma bisa ngasih ini,” kataku lagi sambil mengeluarkan sebuah kotak dari dalam tasku.
“Tidak perlu repot-repot, Liv.”
“Tidak sama sekali,” aku hanya bisa mengatakan itu, padahal dari dalam hatiku sebenarnya ada banyak hal yang ingin ku katakan padanya.
“Mama juga nitip hadiah, udah aku taruh didekat meja depan,”
Dia mengangguk, “Terimakasih.”
Hanya itukah, Res? Aku bahkan ingin menangis disini. Betapa dulu kami selalu bahagia setiap menyambut hari ini, tapi untuk sekarang bahkan aku tidak berani berharap apapun padanya.
“Aku pulang ya.”
“Ya, hati-hati di jalan,” Ares menepuk sekilas pundakku.
Bahkan kamu tidak menghentikanku? Napasku terasa tercekat dengan mata yang kurasa semakin memanas. Aku mengangguk cepat tanpa menjawab Ares dan berjalan turun ke bawah mendahuluinya.
Aku bahkan tidak sempat berpamitan pada teman-temannya karena kurasa air mataku tidak akan bersahabat untuk saat ini. Ku jalankan mobil keluar perkarangan dengan cepat tanpa menoleh lagi kebelakang.
Ares, ternyata sebegitu menyakitkannya kamu untukku.
-----
Bersambung ke Bagian 6 ...
Tidak ada komentar :
Posting Komentar