Senin, 28 Agustus 2017

Kamu, Milikku (Bagian 7 - Tamat)

Bagian 7

Rencana


Pukul 22.35 Hendra datang membawa plastik putih yang bisa kutebak isinya adalah roti dan susu. Mama tadi sudah menelepon, katanya dia dipaksa Hendra untuk tetap beristirahat di rumah sementara dia yang akan menjaga Ares untuk malam ini.

“Dia akan baik-baik saja, Liv.”

Aku mengangguk paham, “Dia kesakitan ya, Ndra?”

“Tenanglah, dia pria yang kuat.”

Roti di mulutku ini terasa sangat hambar. Aku benar-benar kehilangan selera makan sekarang. Apa Ares bisa cepat sadar, Tuhan? Aku akan memarahinya jika dia bangun nanti.



Sudah pukul 23.00 tapi Ares belum juga sadarkan diri. Aku dan Hendra masih duduk dalam keheningan, sampai Hendra bertanya, “Kamu masih mencintainya?”

Aku menelan ludahku. Sangat sulit untuk mengatakan tidak, tapi lebih sulit lagi mengatakan iya.

“Apa yang bisa membuatku tidak mencintainya?”

“Usaha, Liv.”

“Kamu tahu sendiri aku sudah berusaha sekeras apa.”

Dia tidak menjawabku.

“Bisakah ini hanya mimpi?” tanyaku lebih kepada diri sendiri.

“Kamu pulang yuk, biar aku antar.”

Aku menggeleng cepat, aku tahu Hendra hanya tidak ingin aku mengasihani diriku lebih lama, “Tidak ada yang menjaga Ares.”

“Aku akan menjaganya.”

Aku menatapnya yang tengah memperhatikanku, aku tahu kalau saat ini aku kelihatan sangat kccau, tidak apa-apa.

Ternyata rasa cintaku pada Ares jauh lebih besar dibandingkan perasaanku pada Hendra.

Ini hanya perasaan nyaman. Aku cemburu hanya karena perasaan nyamanku padamu, Hendra.

Aku menunduk memperhatikan kakiku yang menapak pada lantai.

Ares ternyata masih menjadi yang pertama untukku dan akan selalu begitu.

Hendra menggandeng tanganku saat itu juga dan membawa langkah kami keluar rumah sakit. Kami menelusuri jalan dengan pelan. Angin malam menerpa sebagian rambutku saat sudah tiba di depan rumah.

“Aku akan mengabari kalau ada perkembangan.”

Aku diam menatapnya.

“Aku pergi dulu, Liv.” dia hendak berbalik kearah mobil.

“Ndra…” panggilku parau.

“Ya?”

“Terimakasih untuk segalanya.”

Dia tersenyum ikhlas “Tentu.”

Sebelum melangkah masuk kedalam mobil, ia kembali berkata, “Kemarin, saat Pendetaku berkhotbah, dia mengatakan kalau apapun yang kita perbuat, lakukanlah seperti untuk Tuhan, bukan untuk manusia.”

Untuk pertama kalinya aku berharap apapun yang kulakukan berkenan kepada-Nya.

-----

Tidak dapat tidur, tentu itu yang aku rasakan. Tapi setelah lama menutup mata, barulah aku dapat terlelap untuk beberapa jam saja, karena pagi-pagi sekali aku sudah bersiap kerumah sakit. Mama sendiri akan menyusul karena harus menjemput papa dan mama Ares dulu di bandara.

Disana, masih keadaan yang sama. Masih Ares yang sama yang ditangani dokter. Masih Hendra yang sama yang setia menunggu di tempat duduknya. Dan masih aku yang sama yang selalu berharap kebaikan untuk kedua pria itu.

Pekerjaan di kantor sudah kutangani, karena hari ini aku meminta izin untuk tidak hadir. Hendra sendiri pimpinanku, maka dari itu aku tidak perlu bersusah payah meminta izin darinya. Untuk kali ini, aku bersyukur dia adalah pimpinanku.

“Sebentar lagi dia sadar.” kata Hendra saat aku duduk disampingnya.

Aku menyodorkan kotak nasi berisi roti lapis untuknya, karena aku yakin dia pasti tidak ada makan dari semalam.

Dia membuka lalu memakannya sambil berkata, “Aku kira kamu masakin nasi goreng.”

Masih sempat bercanda ternyata. “Nanti saja, waktu aku sudah pandai memasak.”

Dia tidak menyahut, hanya tertawa sekilas.

“Mama jemput orangtua Ares.” aku memberi tahu tanpa ditanya.

“Sudah sampai?”

Aku mengangguk, “Iya, subuh tadi.”

Aku memperhatikan ruangan di depanku. Kapan ruangan itu mendapatkan keajaiban dengan misalnya Ares yang tiba-tiba bangun dari masa kritisnya?

Kamu dokter, kenapa tidak bisa menyembuhkan dirimu sendiri, Res?

Hening, karena memang masih terlalu pagi. Hanya ada para pekerja rumah sakit yang mondar-mandir sedari tadi. Aku melihat arloji, pukul 05.55 WIB.

Kututup wajahku dengan kedua tangan. Rasanya aku bahkan tidak bisa merasakan apapun. Kantuk tidak ada, lapar tidak ada, bahkan aku tidak dapat memikirkan apapun selain seseorang yang ada di dalam sana.

Mama datang sejam kemudian, tentu saja dengan orangtua Ares juga. Mereka terlihat kahwatir seperti kami. Tapi aku rasa, mama telah menjelaskan semua kronologis kejadiannya karena mereka terlihat terkendali sekarang ini.

“Liv.” panggil papa.

Aku mengangkat wajah melihatnya.

“Bisa ikut papa?”

Aku berdiri tanpa menjawab. Bukan karena aku marah, tapi lebih karena aku tidak mempunyai tenaga menjawab papa.

Kami berhenti di ujung koridor. Papa berkata, “Jangan mengkahwatirkan Ares, nak. Dia baik-baik saja.”

Aku mengangguk paham, karena itulah yang dikatakan semua orang padaku.

“Khawatirkanlah dirimu sendiri. Kamu harus tetap kuat, agar Ares juga kuat di sana.”

“Iya, Pah.”

Aku bersyukur karena diberikan papa yang pandai menguatkan hatiku untuk saat ini. Kami kembali setelah aku mengajak papa membeli minum dulu di kantin.

-----

Hendra sudah kembali ke kantor saat sudah pukul 10.00 WIB. Dan Ares sampai sekarang belum juga sadar. Aku berdoa dan akan terus begitu, sampai kemudian dokter keluar dengan tergesa-gesa mengatakan kalau Ares kehilangan banyak darah.

Kami semua panik, bahkan sangat panik.

“Apa ada yang mempunyai golongan darah yang sama dengan Ares?” tanya dokter itu.

Aku cemas.

Papa mengatakan, “Kami orangtuanya, Dok. Coba saja ambil darah kami.”

Dokter itu dengan cepat meminta asistennya mempersiapkan pengecekan darah untuk papa dan mama Ares. Aku yakin, salah satu diantara mereka pasti cocok, jadi janganlah kahwatir Olivia. Jangan tegang. Dan tetaplah tenang.

-----

Ada masalah baru lagi yang timbul. Setelah kedua orangtua Ares melakukan pengecekan darah, dokter mengatakan kalau tidak ada darah yang cocok dengan Ares. Maksudnya apa?

“Ini berarti Ares bukanlah anak dari salah satu bapak dan ibu.” terang dokter tadi.

Jangan tanya bagaimana reaksi mereka. Ini tidak mungkinkan? Begaimana bisa terjadi?

“Kalau bapak dan ibu mau, kita bisa melakukan tes DNA setelah Ares sadar nanti.”

Aku melihat papa yang tampak sangat stres dan mama Ares yang memucat. Sedangkan mamaku sendiri tetap diam menunggu kelanjutan dokter tadi berbicara.

“Jadi bagaimana dengan Ares yang membutuhkan darah sekarang, Pak dokter?” aku bertanya cemas.
Bagaimana jika Ares belum mendapatkan donor darah juga? Aku tidak mau ada hal buruk lagi yang harus terjadi.

“Kita sudah memeriksa, dan ternyata masih ada darah yang sama dengan darah Ares dipersediaan rumah sakit.”

Aku menarik napas lega, bukan hanya aku, tapi kami semua. Dokter itu meminta izin unruk mengecek keadaan pasiennya yang lain dan kami kembali hening seketika.

“Bagaimana bisa ini terjadi?” papa mulai bertanya.

Aku dan mama tetap diam, tidak mau mencampuri urusan keluarga mereka.

“Katakanlah yang sebenarnya!” papa terlihat sudah marah sekarang, sementara Mama Ares malah diam, masih dengan rautnya yang pucat.

“Ini rumah sakit, Pah. Haruskah kita bertengkar?” tanya mama Ares yang sepertinya berusaha menenangkan papa.

“Jangan membuatku marah, Susi. Katakan sekarang juga.”

“Ares bukan anakmu.”

Hanya itu, namun bisa membuat papa membatu di tempat. Mama terkejut dan melirik Mama Ares tak percaya.

“Maksud tante apa?” aku mulai mengacau seperti biasanya.

Jaga kendalimu, Olivia.

Mama Ares menangis.

“Jangan bercanda. Apa maksud kamu? Jelaskan!” kali ini papa sudah berdiri di depan kami sambil mondar mandir.

Sambil terisak, mama Ares berkata, “Papa kandung Ares sudah meninggal saat beberapa bulan kami menikah. Aku tidak tahu harus merawat Ares bagaimana. Maka dari itu, aku memutuskan berbohong padamu. Aku mengatakan kalau aku mengandung anakmu saat kita masih berpacaran dulu.”

Papa diam mendengar. Mama menyentuh bahu Mama Ares. Dan aku tetap terkejut menunggu kata-kata mama Ares selanjutnya.

“Aku minta maaf. Sungguh aku tidak tahu harus bagaimana. Yang aku tahu, kamu itu dahulu adalah orang yang sangat baik dan aku percaya jika aku mengatakan dia adalah anakmu, kamu tidak akan membiarkan kami terlantar.”

Ternyata itu. Semua kebenaran sudah terungkap. Aku tidak menyangka akhirnya akan begini.
“Jadi Ares bukanlah saudaraku begitu, Tante?”

Mama Ares mengangguk.

Akhirnya, entah aku harus marah karena mama Ares membohongi keluargaku, atau harus senang mendengar Ares bukanlah saudaraku. Tapi aku putuskan tidak akan marah, karena aku tahu apapun yang terjadi, semuanya atas izin Tuhan.

-----

“Jadi begitu?”

Aku menarik napas dalam, “Iya.”

Hendra tidak berkomentar dengan apa yang kukatakan. Aku menceritakan segalanya, tentang Ares yang ternyata bukanlah anak papaku.

“Aku ikut senang kalau kamu juga senang, Liv.”

“Ya.” jawabku sambil menghirup udara malam hari di halaman rumah sakit.

“Apa akan ada yang berubah diantara kita?”

“Tidak.”

Tentu saja aku membetulkan jawabanku itu. Tidak akan ada yang berubah antara aku dan Hendra. Dia tetaplah sahabatku, tempatku berbagi susah senang meskipun sekarang status Ares bukanlah saudaraku lagi, tdak berarti aku akan melupakan Hendra bukan?

-----

Seminggu setelah Ares mendapatkan donor darah, tidak ada hal yang berubah. Hanya saja, aku sudah kembali bekerja, dan sepulang itu langsung mendatangi rumah sakit Ares.

Kata papa dia akan menceraikan mama Ares, tapi tetap akan menanggung semua kebutuhan keluarga mereka. Aku bangga papa tidak melepaskan tanggung jawabnya. Mereka berdualah yang selalu bergantian menjaga Ares.

Sampai kemudian, siang itu, aku di telepon papa, ia mengatakan kalau Ares sduh sadar. Apa yang lebih membahagiakan daripada itu? Aku langsung saja meminta izin Hendra, tapi yang terjadi adalah dia juga ikut pergi bersamaku.

Tidak sabar rasanya berjumpa Ares. Kami sampai sekitar sepuluh menit setelah berlari-lari dari luar ke dalam.

Aku berhenti menatap ruangan Ares sekarang dan menjadi gugup.

Sanggupkah aku masuk? Sanggupkah aku melihat Ares yang bukanlah saudaraku? Tapi Hendra tidak membiarkanku berpikir terlalu lama, karena kemudian dia menggandengku masuk ke dalam.

Di sana, ada Ares. Pria itu tengah tersenyum berbicara dengan mama yang duduk di samping mama Ares juga, sedangkan papa berada di seberang mereka.

Kami masuk, dan sepertinya Ares belum menyadari itu. Aku melihatnya dari ujung kasur tempatnya berada agar dia tidak melihatku sekarang ini. Caranya tersenyum, caranya berbicara, caranya mendengarkan, segalanya tentang Ares membuatku sangat merindukannya.

Di kepalanya tetap terdapat perban yang melingkar dengan sempurna. Aku melangkah maju didepan kasurnya. Dia terkejut, menatapku lama dan tersenyum.

Hendra mengajak orangtuaku dan mama Ares untuk keluar sebentar. Sepertinya mereka paham kalau kami membutuhkan berbicara berdua.

“Lama tidak berjumpa.” Ares mengawali pembicaraan.

Aku menatapnya dan menganggukan kepala.

“Kamu sehat?” tanya Ares lagi.

Kamu yang sakit. Tapi aku tetap mengangguk menjawabnya.

“Ada apa? Kenapa kamu diam saja?”

Aku merasa mataku akan memanas sebentar lagi. Segera aku mengerjapkan mata agar tidak manangis, karena aku seharusnya bahagia, bukan cengeng seperti biasanya.

“Kamu yang sakit.” kataku akhirnya.

Dia tertawa seperti biasanya. Tawa yang selalu kurindukan.

Aku duduk di kursi dekat Ares tidur. Dia berusaha mendirikan badannya dan bersandar di dinding.

Kami diam cukup lama, dan aku berkata “Kenapa kamu sampai kecelakaan?”

Dia tidak menjawab seperti aku tidak membutuhkan jawaban.

“Kamu tahu seberapa khawatirnya orangtuamu?”

Terlebih aku.

“Kenapa lama sekali sembuhnya?” aku tahu air mataku sudah mulai menetes. Tapi aku tetap melanjutkan, “Aku bisa mati kalau kamu tidak bangun juga.”

Dia menarik kepalaku, dan mengusapnya pelan. Aku tidak berhenti menangis setelah itu.

“Kenapa senang sekali membuatku cemas, Ares?” tangisku.

“Aku minta maaf karena membuatmu merasa begitu,” katanya meletakan dagu diatas kepalaku.

“Maaafkan aku, tidak akan kuulangi lagi.” dia menautkan jari kelingking kami berdua.

Suster datang sejam setelah kami bercerita berdua. Dia mengatakan kalau Ares harus istirahat sekarang. Aku setuju dan keluar ruangannya. Di depan sana masih ada Hendra, mama, papa dan mama Ares juga.

“Dia sudah sehat,” kataku saat menutup pintu Ares.

Tidak ada komentar banyak. Mereka lebih banyak mengucap syukur. Aku meminta izin untuk kembali ke kantor bersama Hendra karena nanti sore akan ada rapat untuk pria itu. Mereka mengizinkan dan kami berdua berjalan keluar dalam keheningan.

“Apa dia baik-baik saja?” Hendra mulai bertanya saat kami di dalam mobil.

“Iya, bahkan dia sudah bisa tertawa.” Aku tersenyum menjawabnya sambil mengingat wajah Ares tadi.

“Apa kamu bahagia?”

“Selama dia bahagia.”

“Apa aku memang tidak ada dihatimu?”

Aku tahu inilah waktunya aku memutuskan tentang Hendra. Dia memang ada di hatiku, tapi sebagai seorang sahabat, bukan sebagai seorang pria yang kucintai.

“Aku menyayangimu, lebih kepada seorang sahabat. Aku mengharapkan semua yang terbaik bagimu, karena aku adalah sahabatmu. Dan aku tidak bisa membuatmu merasa kesusahan denganku terus menerus, Ndra.” Aku berhenti sebentar lalu berkata, “Apa yang harus aku lakukan?”

Dia menepikan mobil dahulu dan menjawab, “Dulu, saat aku tahu Ares adalah saudaramu, kupikir kita bisa bersama. Tapi saat sekarang aku tahu Ares bukanlah saudaramu, kupikir dia memanglah jodohmu.”

Hendra melihat kearahku, “Aku juga mengharapkan segala yang baik untukmu. Kalau bersamanya membuat kamu bahagia, maka aku adalah orang pertama yang akan mendekatkan kalian berdua.”

Aku bernapas lega akhirnya. Aku tahu Hendra adalah pria yang bijak. Ia tidak akan salah dalam mengambil keputusan seperti saat ini.

-----

Sudah tiga hari Ares sadar, dan keadaannya terus membaik sehingga dokter mengatakan kalau ia sudah bisa pulang. Aku senang mendengarnya, tapi tidak bisa membantu Ares pulang dari rumah sakit karena saat itu sedang ada rapat dengan kantor lain.

Tapi aku sudah berjanji untuk datang kerumahnya nanti malam. Dia paham dan berkata akan menungguku.

Mama Ares akhirnya memutuskan untuk tinggal di Pekanbaru bersama Ares. Dan papa tetap harus keluar negeri karena pekerjaannya ada di sana. Aku mengerti semuanya sudah berakhir dan tidak ada yang perlu disesali.

Tapi sebelum papa pergi, katanya dia sudah menjelaskan semuanya pada Ares. Pria itu tidak membantah ataupun marah. Dia berkata kalau dia tetap bangga punya papa seperti papaku. Aku senang, tentu saja.

“Ares di atas ya, Liv.” mama Ares memberitahu saat aku tiba di rumahnya.

“Terimakasih, Tante.”

Aku berjalan sendiri ke atas. Karena sudah mengenali setiap sudut ruangan rumah Ares, jadi aku tidak perlu lagi dituntun oleh Mama Ares.

Dia sedang berdiri disana, menatap langit seperti kebiasaan kami berdua. Aku dan Ares sangat suka melihat langit malam hari karena kami merasa bahwa pemandangan yang paling indah adalah di atas sana. Silakan coba kalau tidak percaya.

“Kalau sudah sampai seharusnya menyapa, bukannya diam disana.” Ares membalikan badan menghadapku.

Aku nyengir dan berjalan kearahnya sambil mengulang perkataanya dulu padaku, “Kenapa malah disini? Angin malam tidak baik untuk kesehatan kamu.”

“Bosan di dalam kalau tidak ada kamu.”

“Ares banget,” ujarku dan kamipun tertawa.

Hening yang cukup lama kali ini, terasa tidak membosankan. Angin malam seakan menambah nikmat suasana. Sudah cukup lama kami tidak merasakan damai tentram seperti sekarang ini. apalagi aku merasa semua beban di pundakku sudah dibuang jauh-jauh oleh Tuhan.

“Liv…”

“Ya?” aku menengadah ke langit. Ada banyak bintang ternyata hari ini. pantas saja begitu terang.

“Kalau aku ada salah, maafkanlah.” aku merasa dia melihat kearahku. Namun aku tetap tidak membalasnya.

“Sudah kumaafkan.”

“Kalau aku menyakitimu, lupakanlah.”

“Sudah dari dulu kulupakan.”

“Kalau aku memintamu kembali, datanglah.”

Kali ini aku menoleh.

“Aku tidak bisa jika tidak bersamamu.” terangnya.

Kenapa baru mengatakannya sekarang?

“Aku menjauh bukan berarti aku melupakanmu. Aku hanya berusaha untuk mempermudah keadaan kita dulu.”

Aku menatapnya tanpa henti.

Apa yang ada di hatimu tentangku sekarang, Ares?

“Tapi setelah aku hampir saja menyerah, semua jalan malah terbuka.” Ares tetap menatapku.

“Aku mencintaimu.”

Itulah yang ingin ku dengarkan darimu Ares.

“Menikahlah denganku.”

Aku sangat terkejut karena kali ini, Ares mengeluarkan kotak merah kecil berbentuk hati yang setelah dibuka isinya adalah cincin putih yang mengkilap di bawah bintang.

Aku bukanlah Olivia yang dahulu menyiakan kesempatan oleh karena keraguan serta ketakutan. Aku sekarang adalah Olivia yang tahu betul apa yang ku inginkan.

Tanpa menyiakan waktu, aku mengangguk dan berkata, “Tentu. Ya Ares, aku mau.”

Itu adalah jawaban yang kutahu sanggat ditunggu Ares.

Hari ini, malam ini, dan detik ini, aku menyadari bahwa tidak akan ada yang bisa memisahkan apapun yang telah ditetapkan Tuhan. Walaupun semua dibungkus oleh perkara-perkara yang hebat, tapi asalkan kita bersedia dan bersabar menunggu, semuanya akan berjalan sempurna melebihi pikiran kita sendiri. Maka dari itu, pesanku adalah teruslah bersyukur sampai kamu menyadari kalau apapun yang terjadi dalam hidupmu, adalah rencana daripada-Nya.

-----

Ini tahun kedua setelah Ares melamarku, dan setelah kami menikah, Tuhan mengaruniakan kami seorang anak yang sangat tampan seperti papanya. Namanya adalah Geralnd Steven. Dia meneruskan sifat papanya yang suka sekali mengerjaiku. Tapi dibalik itu semua, aku tetap saja menyayangi kedua pria itu.

Untuk Hendra sendiri, setelah setahun diriku dan Ares menikah, dia menyusul dengan melamar seorang wanita cantik pilihan Papanya. Aku ikut senang untuk kebahagiaannya. Meskipun kami tidaklah sedekat dulu, tapi satu hal yang ku ketahui yaitu dia adalah sahabat terhebatku.

Mama masih menjalani aktivitas seperti biasanya. Hanya saja sekarang ini dia semakin dekat dengan mama Ares. Mereka malah seperti menjalin persahabatan karena kemana-mana saja selalu berdua. Dan papaku yang tersayang, dia memang tetap tinggal di negeri tempatnya bekerja, namun sekarang sudah semakin sering mendatangi kami, apalagi ingin melihat cucunya, Gerald.

Aku senang dan bahagia. Akhir yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya telah diberikan Tuhan sebagai hadiah akan kesabaranku. Terima kasih Tuhan.


TAMAT

Tidak ada komentar :

Posting Komentar