Rabu, 23 Agustus 2017

Kamu, Milikku (Bagian 2)

Bagian 2

Tidak Bisa Lepas


Pagi ini Ares kembali meneleponku, tampaknya dia sudah melupakan kejadian tadi malam. Sudah kukatakan, dia itu begitu mencintaiku, mana tahan berdiaman bahkan untuk sehari saja.

Aku teringat dengan salah satu kalimat yang pernah kubaca, yaitu jangan memilih dia yang kamu yakin bisa hidup bersamamu, tapi pilihlah dia yang kamu yakin tidak bisa hidup jika tidak besamamu.

“Hai, Selamat pagi liv.”

“Iya Aresku.”

“Lagi dimana?”

“Aku masih di jalan ni, mau ke kantor. Kamu udah berangkat?”

“Iya udah sampai . Ini aku lagi ada pasien, aku tutup dulu ya teleponnya.”

“Oke.” dia mematikan teleponnya. Dokter muda yang sibuk tapi selalu menyempatkan waktunya untukku, terimakasih Tuhan.


-----

Ternyata nama Manager HRD baru itu Hendra Tamin, baiklah nama yang cukup keren. Tapi lagi dan lagi dia membuat onar, bukan maksudku seperti berkelahi atau memecahkan barang atau hal buruk lainnya. Tapi hari ini dia kembali tebar pesona yang membuatku malah ingin muntah karenanya. Namun para gadis-gadis di sini malah tertawa cekikikan sambil membicarakan betapa hotnya manager baru itu. Apa mata mereka sudah buta? Atau mungkin malah mataku yang buta tidak bisa melihat pria tampan selain Ares?

“Kamu masuk keruangan saya sekarang,” Itu pesan singkat yang disampaikan Hendra padaku saat masih memancarkan pesonanya.

“Baik Pak,” aku langsung berdiri dan mengikutinya dari belakang.

Kukira dia akan menggangguku atau membicarakan hal bodoh atau bahkan mempertanyakan hal yang tidak masuk diakal lainnya, namun ternyata dia sedang meminta pendapatku mengenai suatu pekerjaan. Aku menarik napas lega. Untunglah, ucapku dalam hati.

“Jadi saya mau kamu buat suratnya sama seperti ini.”

“Baik Pak.”

“Kalau sudah siap langsung saja kasih ke saya.”

“Baik Pak.”

“Selesai itu jangan sampai lupa E-mail juga Bu Murgana.”

“Baik Pak.”

“Kamu baik-baik mulu, ngerti tidak yang saya bilang?’

“Saya mengerti Pak.” kataku dengan tenang sambil menatapnya. Dia diam menarik napas, lalu menghembuskan dengan kasar. Ada apa dengannya?

“Apa saya musuh kamu, Liv?” Apa? Dia memanggilku apa tadi? Liv?

“Nama saya Olivia, Pak. Panggilan saya Oliv.” sungutku mengabaikan pertanyaannya.

“Kalau saya memangggil kamu Liv, apa salahnya?” salahnya adalah kamu bukan orang yang pantas manggil aku dengan sebutan spesial seperti itu! Aku menggeram dalam hati. Keadaan ini membuatku teringat Ares. Jika saja pria itu ada disini, pasti dia akan menghajar Hendra.

Dulu, suatu hari pernah ada kejadian di SMA ku. Aku menangis datang ke kelas Ares karena Agum yang merupakan teman sekelasku mengejekku dengan panggilan Liv yang diberikan. Ares yang memang tidak bisa mengontrol emosi apabila itu berhubungan denganku langsung saja mendatangi Agum ke kelas kami. Tentu Ares menang waktu itu karena Agum memang tidak melawan, atau mungkin dia memang tidak pandai melawan. Tapi pada akhirnya mereka berdua tetap diberi hukuman yang sama oleh pihak sekolah.

“Tidak salah Pak,” jawabku setelah habis mengingat Ares. Kuharap aku tidak sampai terbengong untuk waktu yang lama.

“Baiklah, kamu bisa keluar,” ujarnya dengan gampang.

”Baik Pak.”

Aku menutup pintu dengan sedikit membanting. Baiklah, agak membanting dengan kuat memang, tapi biarkan saja mau dia kesal, marah atau bahkan ingin memecatku, aku sudah tidak peduli. Bukankah kata Ares aku dapat menjadi asistennya, begitukan?

-----

“Vi, ada Ares tuh” Rara sedikit berteriak. Aku melihat jam, sudah pukul setengah satu. Segera kulangkahkan kaki keluar untuk pergi makan siang dengan Ares. Namun, saat hampir sampai di depan pintu keluar, tak sengaja aku melihat Hendra. Sedang apa dia disitu? Aku berhenti melangkah dan mendengarkan dia berbicara di telepon dengan suara yang tertahan. Sepertinya sedang tertekan, eh?

“Baiklah Pah,” dia berkata sambil menarik napas panjang.

“Iya, Pah. Hendra Paham.”

“Oke, Pah,” ujarnya terakhir sambil menutup telepon. Saat Hendra berbalik badan, Ia melihatku yang diam di sana menguping pembicaraaannya. Aku tergagap tidak tau apa yang harus aku lakukan.

Dia berjalan kearahku sambil menyimpan ponselnya ke kantong celana. “Selain tidak sopan dengan atasan, kamu hobby nguping juga ternyata.”

“Saya tidak nguping Pak,” aku mengangkat dagu menatapnya seakan-akan aku tidak bersalah.

“Kamu tahu kalau nguping pembicaraan orang itu tidak sopan.”

“Dan saya tidak melakukannya.” ketusku.

“Kamu sudah tidak sopan sama saya sebanyak tiga kali.”

Astaga, apa dia juga menghitungnya?

Aku menghembuskan napas dengan kasar untuk membalas perkataannya. Apa-apaan ini? Aku berteriak setengah frustasi “Mau Anda itu apa sih, Pak?!”

“Seharusnya saya yang tanya ke kamu, mau kamu itu apa? Salah saya ke kamu itu apa?

Aku mengerutkan kening mendengarnya, dan dia langsung melanjutkan “Kamu kira saya tidak tahu kalau dari awal kita berjumpa, kamu sudah memancarkan peperangan?”

Aku tertawa sinis mendengarnya. Kurasa dia bukan hanya playboy, tapi juga peramal. “Lantas?” jawabku melihatnya.

“Kita buat suatu kesepakatan. Untuk seminggu ini kamu harus jadi asisten pribadi saya. Kalau ternyata kita tetap musuhan, maka saya berani resign. Tapi kalau ternyata kita menjadi berteman, maka kamu harus mau menjadi asisten pribadi saya secara permanent.”

“Setuju.” kataku tanpa berpikir panjang sambil melangkah keluar. Bukankah itu bagus? Hanya seminggu, dan aku akan menyingkirkannya dari kantor ini. Aku tertawa dalam hati.

-----

“Ares? Maaf ya aku kelamaan.” aku memasang wajah memelas saat tiba di dalam mobilnya.

“Ada apa, Liv? Kayaknya beban kamu berat banget.” dia tertawa sedikit sambil mencubit pipiku.

“Kamu tau tidak sih, aku benci udah pakai banget sama manager baru itu.”

Dia menatapku lalu berkata dengan pelan “Benci banget bisa jadi cinta banget, Liv.”

Aku tidak menjawab perkataannya. Untuk apa? Itu hanya seperti omong kosong buatku. Ares menghidupkan mesin mobil dan menjalankannya dengan perlahan.

Dia hanya diam, memfokuskan diri untuk menjalankan mobil sambil mengerutkan keningnya. Karena kami telah lama bersama, maka aku sangat hafal keadaannya jika seperti ini. Tandanya mood Ares sedang tidak baik. Ada apa dengannya? apa ada yang aku lewatkan? Aku berpikir dalam hati sambil meliriknya sekilas.

“Papa tadi pagi menelepon, Liv,” jelasnya seakan tahu apa yang sedang kupertanyakan. Sambil menghembuskan napas lalu memijit sekilas keningnya, Ares melanjutkan “Dia minta berjumpa denganku. Katanya ada hal penting yang mau dibicarakan.”

Aku meliriknya “Kamu baik-baik sajakan Res?”

Ares kembali diam, membuatku tau keadaannya sedang tidak baik saat ini. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tau hubungan Ares dengan kedua orangtuanya tidaklah baik, bagaimana dulu dia menangis bercerita padaku bahwa orangtuanya meninggalkan dirinya bersama Oma dan hanya tinggal berdua dengan alasan mereka tidak dapat mengurus Ares karena sibuk bekerja. Lalu Ia mendengar kabar bahwa orangtuanya pergi keluar negeri tanpa membawanya, bahkan untuk bertemupun sangat jarang sekali, aku masih ingat jelas cerita itu. Dulu dia bercerita segalanya disaat Oma sudah meninggal. Aku mengambil tangan kirinya lalu meletakan tangan itu di wajahku. Kuatkanlah priaku ini ya, Tuhan.

-----

“Tahu tidak kenapa aku sayang padamu?” Ares bertanya saat kami sudah selesai makan siang.

Aku tersenyum dan menjawab “Apa aku perlu tahu?”

“Apa kamu tidak ingin tahu?”

“Apa kamu tidak mau langsung memberitahu?”

Aku menatapnya lalu dia tertawa. Astaga pria ini memang begitu tampan, dengan mata bulatnya yang jernih, dipandu dengan wsajah oval yang putih, serta lesung pipinya yang menambah kesempurnaan wajahnya, kurasa aku takan niat melewatkan tawanya bahkan untuk sedetikpun.

“Kamu itu paling bisa ngebuat aku tertawa.”

“Dan kamu membuatku tertawan,” jawabku mengerlingkan mata.

“Nantik malam aku jemput ya.”

“Siap pak bos.” kataku seraya mengangkat tangan untuk hormat padanya, lalu tawa kamipun pecah.

-----

Seperti yang telah aku ceritakan sebelumnya, malam ini Ares menjemputku di rumah. Sebenarnya itu tidak bisa dikatakan menjemput, karena dia memang sudah berada di rumahku sejak dia pulang bekerja. Dasar anak itu, memangnya dia tidak punya rumah sendiri?

Ah ya, mengingat tentang itu aku jadi berpikir kembali, ada apa gerangan orangtuanya meminta bertemu? Apa mereka ingin menjodohkan Aresku dengan orang lain? Tidak tidak tidak, mereka tidak boleh melakukannya. Atau mereka ingin membawa Ares keluar negeri bersama mereka? Astaga, untuk yang satu itupun mereka juga tidak akan kuperbolehkan membawa kekasihku. Aku kembali berpikir, jangan-jangan ada hal buruk yang terjadi? Bolehkah aku berpendapat demikian?

“Apa yang kamu pikirkan?” Ares mengagetkanku dari belakang.

“Memikirkan tentang kita,” ujarku tersenyum.

“Apanya dari kita yang harus dipikirkan?”

Aku melihatnya sejenak, lalu beranjak dari tempat dudukku. Sebelum sempat menjawab perkataannya, ponselku bordering. Ternyata Bu Murgana. Ada apa gerangan?

Aku mengangkat telepon disamping Ares, “Halo Bu?”

“…”

“Saya sedang di rumah Bu.” Aku melirik Ares sekilas mengisyaratkan untuk menungguku sebentar. Dia mengangguk paham.

“…”

“Haruskah malam ini Bu?” Aku bertanya sedikit kesal.

“…”

Setelah menghela napas panjang akhirnya aku menjawab “Baiklah Bu.”

Ingin rasanya aku berteriak, permainan macam apa ini? Bu Murgana memintaku malam-malam seperti ini untuk datang ke rumahnya dengan alasan ada hal penting yang harus dibahas dengan anaknya. Tolong digaris bawahi anaknya, berarti itu adalah Hendra. Sialan, pria itu pasti sedang mengerjaiku.

Aku melihat kearah Ares “Aku diminta ke rumah Bu Murgana, Res.”

“Aku antar,” ujarnya memutuskan dan langsung berdiri keluar rumah.
Aku tau dia marah, percayalah aku tau. Tapi, apa lagi yang bisa aku lakukan? “Maafkan aku Res.”

-----

Setelah Ares mengantarkanku sampai di rumah Bu Murgana, tidak ada kata-kata yang Ia ucapkan sama sekali. Tampaknya ia memang cukup marah kali ini. Aku diam sejenak di depan rumah pimpinanku ini, lalu tiba-tiba saja Hendra sudah membukakan pintu bahkan sebelum aku sempat menekan bel.

“Masuk saja, Liv,” dia menuntunku masuk kerumahnya.

Dengan penampilan santai seperti ini, dia terlihat lebih manusiawi, dan tampan. Lumayanlah daripada yang sebelum-sebelumnya pikirku. Kuperhatikan juga dia yang sedang serius dengan beberapa dokumen ditangannya. Sebenarnya aku tidak berniat memperhatikannya, tapi dia memang sangat sulit untuk diabaikan. Hendra itu tidak terlalu buruk, tidak juga terlalu menyebalkan, mungkin aku memang sudah salah menilainya hanya dari pandangan pertama. Baiklah, mari kita saling mengenal seberapa Not Bad nya kamu, Pak Hendra.

-----

Setelah berjuang cukup keras untuk tidak memikirkan Ares yang marah, akhirnya kami selesai juga dengan pembahasan singkat yang ternyata cukup penting. Bu Murgana meminta segera pensiun dan ingin di persiapkan segala keperluan yang beliau butuhkan, lalu tebaklah selanjutnya siapa lagi yang akan menggantikan posisinya kalau bukan Hendra.

“Biar aku antar pulang ya.”

Hah? Diantar pulang olehnya yang sedang terlihat manusiawi saat ini, bisa-bisa membuatku mati kutu seperti es karena pesonanya itu, “Saya naik taksi saja Pak.”

“Tidak boleh, itu tidak cukup aman buat kamu,” komentarnya cepat seraya memegang lenganku untuk masuk kedalam mobil.

Apa dia cukup sopan untuk melakukan itu? Aku putuskan untuk ikut dengannya sambil melepaskan secara perlahan tangannya yang masih berada dilenganku itu. Baiklah, daripada ada acara tarik menarik, maka lebih baik aku menurut saja untuk saat ini..

“Kamu terlihat lelah.” katanya memulai percakapan sambil menjalankan mobil. Aku mengangguk.

“Mau makan dulu?” pertanyaan itu membuatku ingat bahwa sedari tadi aku ternyata belum makan. Astaga bukankah aku batal makan dengan Ares?

“Ini bukan sajakan kencankan, Pak?” selidikku.

Dia tertawa, “Tentu saja tidak. Memangnya kamu ingin kencan denganku?”

Aku tertawa juga karenanya. Ya ampun bodoh sekali pertanyaanku tadi, membuat malu diriku sendiri. Akhirnya tanpa menjawab pertanyaan Hendra, kami sudah tiba di rumah makan sederhana pinggir jalan, karena hanya itulah tempat makan yang masih terbuka sampai jam segini.

Dilanjutkan oleh memesan makanan, tidak ada hal yang manis lainnya, kecuali saat ia bertanya “Kamu sudah punya pacar?”

Aku nyaris tersedak mendengarnya. Kenapa aku malah ragu untuk menjawab bahwa aku sudah punya Ares? Aku hanya diam, dan dia pun tidak memaksaku menjawab, jadi terserah saja dia mau mengartikan itu sebagai jawaban apa.

-----

“Jangan merindukanku, atau bahkan jatuh cinta padaku, Liv.” kata Hendra saat kami sudah tiba di depan rumahku.

Aku tertawa karena tahu ia hanya bercanda, “Bukan sebaliknya ya? Seharusnya saya yang bilang gitu.”

“Kalau itu memang sudah terjadi, Liv.” dia tersenyum.

Aku tertawa lagi. Baiklah, sudah cukup malam untuk bercanda. Aku memutuskan keluar mobilnya dan melambaikan tangan saat ia pergi.

“Ah Hendra, tidak seburuk yang kukira,” ucapku sambil bersenandung.

-----

Bersambung ke Bagian 3...

Tidak ada komentar :

Posting Komentar