Aku menghabiskan masa SMA-ku di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Di sana aku tinggal di rumah salah satu kerabat ibuku yang kupanggil dengan Paklik Seno (bukan nama sebenarnya). Di situ aku punya pengalaman yang sangat berkesan.
Suatu hari aku baru saja pulang dari bepergian dengan teman-teman sekelasku. Waktu itu sore sekitar jam 5. Seperti biasa aku turun dari angkot dan berjalan kaki menuju rumah Paklik Seno. Ketika sampai di depan rumah Pak Kolis (nama samaran), tetangga sebelah rumah Paklik Seno, kulihat ada seseorang berdiri sambil ngetok-ngetok pintu pagar rumah Pak Kolis.
“Ada apa, mas?”, aku bertanya pada orang itu.
“Mau ngirim paket buat Bu Kolis. Betul ini alamatnya, dik?”, kata orang itu sambil menunjukkan paket seukuran kotak sepatu padaku. Kubaca alamatnya, memang benar untuk Bu Kolis. Karena sudah kenal baik dengan Bu Kolis, aku pun berinisiatif menandatangani tanda terima paket itu. Begitu pengirim paket pergi aku masuk ke rumah Pak Kolis. Rumahnya sepi sekali, padahal biasanya sore-sore begini Pak Kolis dan Bu Kolis suka duduk-duduk di teras rumahnya. Aku pun terus masuk melalui lorong di samping rumah Pak Kolis.
Ketika melewati jendela yang kutahu adalah kamar tidur Pak Kolis dan Bu Kolis tanpa sengaja aku mendengar suara-suara erotis. Jantungku langsung berdegup kencang. Jangan-jangan mereka lagi begituan, pikirku. Aku pun menghentikan langkah dan berniat keluar lagi. Tapi aku bimbang. Gejolak remajaku yang selalu penasaran dengan hal-hal yang berbau “dewasa” membuatku tergelitik untuk mencari tahu suara itu. Aku berani nekad karena yang tinggal di rumah itu hanya Pak Kolis berdua saja dengan istrinya. Anak semata wayang mereka kuliah di kota lain.
Dengan berjingkat aku melangkah menuju jendela dan suara erotis itu makin santer terdengar. Kujulurkan tanganku masuk di antara kaca nako untuk menyibak korden yang dalam posisi menutup. Darah remajaku berdesir kencang saat melihat Bu Kolis sedang telanjang bulat di atas kasur. Ia dalam posisi duduk di atas guling sambil menggoyang-goyang pinggulnya, seperti orang sedang bersetubuh. Ternyata Bu Kolis sedang melakukan masturbasi dengan guling. Secara otomatis batang kemaluanku menegang melihat goyangan dan suara mendesah dari mulut Bu Kolis.
Karena tak kunjung selesai, aku jadi tak tahan. Kubuka resleting celanaku dan kukeluarkan “senjataku” dari balik celana dalam. Aku pun melakukan onani dengan mata tak lepas dari tubuh telanjang Bu Kolis yang bergoyang, kadang sambil tengkurap, kadang sambil duduk. Kutumpahkan spermaku di tembok kamar Bu Kolis saat aku mengalami ejakulasi dan tak lama kemudian Bu Kolis mengerang panjang sambil menjatuhkan tubuhnya, tengkurap di kasur. Kadang ia masih goyang-goyang sedikit. Rupanya ia sudah orgasme. Aku masih mengintip ketika ia turun dari ranjang dengan posisi membelakangiku, lalu mengenakan baju dasternya tanpa memakai BH dan celana dalam.
Dengan berjingkat aku keluar dari lorong dan menuju ke teras rumah Bu Kolis. Kuatur nafasku yang agak ngos-ngosan, lalu kuketuk pintunya agak keras . Tak lama kemudian Bu Kolis keluar dengan handuk dibahunya. Rupanya ia mau mandi. Kulihat leher dan dahinya masih mengalir butiran-butirn keringat. Kuberikan paket untuknya sambil menceritakan kenapa paket itu aku yang menerima, karena si pengirim paket lama mengetuk pagar tidak ada yang membukakan.
“Oh iya, saya baru bangun tidur soalnya. Terima kasih ya …”, kata Bu Kolis sambil membaca alamat pengirim paket yang tak lain adalah anaknya.
“Pak Kolis mana bu, kok tumben tidak kelihatan?”, aku berbasa-basi.
“Pak Kolis lagi training ke luar kota sudah 3 hari ini. Lusa baru pulang”, jawab Bu Kolis.
“Oo …”, kataku, lalu pamit pulang. Pantas saja Bu Kolis “main sendiri”, pikirku.
Besoknya aku berharap akan bisa menyaksikan adegan itu lagi, tapi yang namanya kesempatan tidak akan datang dua kali. Tapi pengalaman singkat itu sangat membekas di benakku, karena itu adalah pertama kalinya aku melihat secara langsung perempuan dewasa telanjang bulat. [Fikri (nama samaran), 30 tahun, Denpasar]
Tidak ada komentar :
Posting Komentar