Waktu diajak teman kantorku untuk melihat-lihat rumah barunya di sebuah kompleks perumahan, aku tertegun. Di masa kuliah, kompleks perumahan itu sudah sangat familiar di otakku karena aku pernah menjadi tutor untuk anak Tante Wina (bukan nama sebenarnya) yang kemudian menjadi sebuah kejadian tak terlupakan antara aku dengan Tante Wina. Sepenggal kisah yang sampai saat ini masih membuatku tak habis pikir kok bisa itu terjadi.
Keadaannya memang sudah sangat berbeda dibandingkan dengan saat aku pertama kali menginjakkan kakiku di kompleks perumahan itu. Dulu jalan menuju ke situ masih sangat sepi. Begitu pun dengan penghuni kompleks, masih sangat jarang, karena merupakan kompleks perumahan baru. Rumah teman kantorku lebih masuk lagi dari gerbang kompleks, sedangkan rumah Tante Wina agak di depan, karena type rumahnya lebih besar.
Menjadi tutor semasa aku berstatus mahasiswa pun sebenarnya terjadi tanpa pernah kupikirkan sebelumnya, karena aku sudah punya pekerjaan sambilan sebagai tenaga freelance di sebuah toko komputer, sekedar untuk menambah uang saku. Suatu ketika, aku ditawari teman kuliahku, sebut saja namanya Gery, untuk menjadi tutor anak SMP kelas 1, karena ia sudah overload. Mulanya kutolak karena aku tak punya pengalaman mengajar, tapi karena temanku itu mendesak terus, aku pun menyerah. Lagipula, kalau dihitung-hitung hasilnya lebih besar dari honorku sebagai tenaga freelance maintenance komputer.
Aku pun akhirnya memulai debut sebagai tutor matematika, fisika dan kimia untuk anak Tante Wina, sebut saja namanya Nico. Walaupun pada mulanya agak grogi, tapi setelah beberapa kali tutorial, aku mulai bisa menyesuaikan diri. Ekstra kesabaran dibutuhkan untuk mengajari Nico karena ia termasuk anak lambat mencerna pelajaran. Selain itu juga sikap Tante Wina yang kurang bersahabat. Di awal pertemuan ia sudah menunjukkan gejala tak suka, karena anaknya dapat tutor pengganti, bukan temanku.
Pertama kali menginjakkan kaki di rumah Tante Wina aku dibuat terkagum-kagum. Rumahnya besar dengan perabot mewah yang serba baru. Konon ia memang baru beberapa minggu menempati rumah itu. Dari ruang keluarga di mana aku mengajar Nico kulihat ada sebuah kolam renang cukup besar di halaman belakang. Tante Wina yang semula agak ketus terhadapku lama-lama melunak setelah nilai pelajaran anaknya menunjukkan peningkatan. Ia jadi lebih ramah dibandingkan sebelumnya. Kue-kue yang disuguhkannya pun enak-enak.
Selama satu semester menjadi tutor Nico, hanya beberapa kali aku bertemu ayahnya, sebut saja namanya Om Ben, yaitu saat ia pulang kantor tidak kemalaman, karena jadwal mengajarku jam 6 sore sampai jam 8 malam, kadang sampai jam 9 kalau besoknya Nico mau ulangan.
Setelah vakum mengajar karena libur kenaikan kelas, beberapa minggu kemudian Gery menemuiku. Katanya Tante Wina memintaku untuk mengajar Nico lagi. Hanya saja waktunya tidak sore, tapi pagi karena Nico masuk siang. Setelah berembuk tentang jadwal mengajar yang harus kusesuaikan dengan jadwal kuliahku, akhirnya aku pun mulai mengajar lagi.
Saat menunggu Nico menyelesaikan soal-soal yang kuberikan, biasanya Tante Wina mengajakku ngobrol. Awalnya yang diobrolkan adalah tentang nilai pelajaran Nico yang bagus-bagus sehingga dipuji oleh guru wali kelasnya Seiring berjalannya waktu, tema obrolan jadi lebih intim. Tante Wina cerita tentang masa lalunya yang susah. Aku berusaha menjadi pendengar yang baik, karena Tante Wina biasanya mendominasi obrolan yang lebih tepat disebut curhat.
Satu perubahan pada diri Tante Wina di saat kami makin akrab adalah cara berpakaiannya. Ia jadi suka memakai baju terusan sepaha dan agak terbuka di bagian dada yang mungkin itu adalah pakaiannya sehari-hari saat di rumah. Tidak seformil waktu awal-awal aku mengajar. Mungkin karena sudah terbiasa dengan keberadaanku di rumahnya. Seringkali aku jengah sendiri setiap ngobrol atau sekedar bertatap muka dengannya. Ia pun tak segan curhat tentang sikap suaminya yang menurutnya lebih mementingkan pekerjaan daripada istri dan anak-anaknya. Yang kulakukan hanya menghiburnya dengan mengatakan kalau apa yang dilakukan oleh Om Ben adalah demi keluarga. Aku tak mau ikut terlibat dalam urusan keluarga Tante Wina dan Om Ben.
Suatu ketika aku dibuat terkesima oleh Tante Wina. Karena cuaca mendung sejak pagi, aku berangkat ke rumahnya lebih cepat agar tak kehujanan. Sampai di sana, Tante Wina dan Nico sedang berenang. Darah mudaku kontan berdesir saat melihat Tante Wina keluar dari kolam renang mengenakan bikini. Seumur-umur baru kali itu aku melihat perempuan berbikini secara live. Ia mengajakku untuk berenang juga, tapi kutolak. Kukatakan dengan terus terang padanya kalau aku tidak bisa berenang. Tante Wina mengajakku untuk menunggu di ruang keluarga seperti biasa aku mengajar Nico, sementara ia masuk ke kamarnya.
Tak lama kemudian Tante Wina yang sudah berganti baju memanggil Nico agar keluar dari kolam renang dan segera mandi.
Saat aku hendak berpamitan pulang karena jam mengajar usai dan Nico berangkat sekolah di antar sopir, Tante Wina minta padaku untuk tinggal. Katanya ia minta diajari mengoperasikan laptop yang baru dibelikan suaminya. Karena tak ada jadwal kuliah, aku tak keberatan. Lagipula, tak lama setelah Nico pergi, hujan turun deras sekali.
Itu adalah sebuah awal dari hubungan gelapku dengan Tante Wina. Tanganku dan tangan Tante Wina sering bersentuhan saat mengajarinya, yang membuat jantungku berdegup kencang. Apalagi wangi tubuh Tante Wina yang begitu dekat denganku. Entah bagaimana mulanya, aku yang sudah diselimuti nafsu nekad menulis kalimat “I love you” di laptop lalu kutekan tombol Enter saat aku mengajari mengoperasikan MS Word. Tante Wina memandangku sambil mengernyitkan dahinya disertai senyuman. Lalu dengan 1 jarinya, Tante Wina menulis “Maksudnya” lalu menanyakan cara mengetikkan tanda tanya. Kugamit tangan kirinya dan kuletakkan di tombol Shift, sementara tangan kanannya kusuruh menekan tombol tanda tanya.
Dengan jantung berdebar kutulis lagi “I love Tante Wina”, yang dibalas olehnya dengan tulisan “Serius?”. Tanganku jadi gemetar saat menulis “Banget”. Debaran jantungku makin kencang saat Tante Wina menyuruhku menutup mata, sementara ia mengetik di laptop. dengan terbata-bata. Lidahku tercekat dan hatiku berbunga-bunga saat membaca tulisannya, “I love you too”. Dengan agak ragu-ragu kugamit lagi tangan Tante Wina. Ketika kurasakan ia membalas sentuhanku, aku pun mempererat genggaman. Kami saling berpandangan, dan sedetik kemudian kami saling berciuman.
Ciuman yang semula lembut, lama-lama makin liar, seiring dengan deru nafas dan degup jantung kami yang seolah berpacu. Bahkan Tante Wina yang lebih agresif memaguti bibirku dan memainkan lidahnya di rongga mulutku, sementara satu tangannya melingkar di leherku. Entah berapa lama kami berciuman diiringi gemercik air hujan di halaman belakang rumah Tante Wina. Yang kukhawatirkan saat itu adalah pembantunya yang setiap saat bisa nongol, tapi karena Tante Wina sepertinya tak merisaukan hal itu, aku pun larut dalam gelagak birahi ciuman yang makin panas. Suara kecipak dua bibir yang berpagutan bersahut-sahutan dengan gelegar petir di luar sana.
Tanganku pun mulai berani nakal. Mula-mula kupuasi dengan menjelajahi “sekwilda”nya (sekitar wilayah dada) yang kenyal dan ranum. Aku memang pernah pacaran, tapi tak pernah sampai sejauh itu. Aku makin tak tahan untuk sekedar ciuman saja. Kualihkan cumbuanku ke leher Tante Wina yang hanya bisa mendesah lirih. Dari leher, lidahku berpindah ke dadanya yang telah kusibak bagian atas bajunya. Tak hanya sampai di situ. Tanganku liar bergerilya di pahanya. Tapi ketika hendak menyusup ke balik bajunya, Tante Wina dengan lembut menahan tanganku.
“Jangan dulu ya, sayang …”, Tante Wina mendorong tubuhku agar aku berhenti mencumbuinya. Nafasku tersengal-sengal.
“Yuk lanjutin belajarnya”, kata Tante Wina sambil membenahi bajunya yang tersingkap di bagian atas dan bawah.
Aku pun bersikap biasa saat mengajarinya, meski degup jantungku masih tak karuan. Sekitar jam 2 siang Tante Wina mengajakku makan siang bersama. Setelah itu aku pulang dengan perasaan berbeda dari biasanya.
Malam hingga dini hari aku tak bisa memejamkan mata. Kejadian dengan Tante Wina terus saja membayangi benakku. Aku sama sekali tak menyangka itu bakal terjadi. Semuanya berlangsung secara spontan hanya gara-gara keisenganku menulis “I love you” di laptop. Aku bukannya ge-er, tapi dari tanggapan Tante Wina, sepertinya ia telah menyukaiku sebelum itu terjadi. Dan ketika memikirkan ucapan Tante Wina saat memintaku untuk berhenti mencumbuinya, hatiku terasa berbunga-bunga. Artinya Tante Wina akan memberikanku kesempatan untuk melakukan lebih dari itu.
Seperti yang kuharapkan, jadwal mengajar Nico berikutnya berlanjut percumbuan dengan Tante Wina saat Nico pergi ke sekolah. Alasannya sama, Tante Wina ingin belajar komputer, walaupun kenyataannya tidak. Begitu Nico berangkat, kami langsung bercumbu di sofa ruang tamu. Kali itu aku dapat kesempatan lebih dari sebelumnya. Tante Wina membiarkanku membuka resleting bajunya yang ada di bagian belakang. Aku dibuat takjub pada persiapan yang dilakukannya. Ia sengaja tak memakai bra, sehingga aku bisa mencumbui sepuas-puasnya kedua bukit ranumnya secara langsung, tidak seperti sebelumnya yang masih tertutup baju dan bra.
Selain itu, Tante Wina pasrah saja saat tanganku menyusup dan kemudian meraba-raba bagian bawah tubuhnya. Bahkan ia melebarkan sedikit kedua kakinya. Saat aku tengah asyik masyuk, Tante Wina mendorongku hingga aku rebah di sofa. Dalam posisi itu, ganti ia yang mencumbuiku. Sambil memagut bibirku, tangannya membuka kancing bajuku satu persatu. Begitu bajuku terbuka, Tante Wina berpindah mencumbui dadaku. Rasa geli berbaur dengan rangsangan saat ia memilin dan menghisap putingku dengan lidah dan bibirnya.
Meski birahiku sudah diubun-ubun, aku tak berani berharap Tante Wina melakukan lebih dari itu. Kuikuti saja aturan main sesuai kemauannya. Aku hanya bereaksi seperlunya. Kusibak roknya dan kuelus paha hingga pantatnya, tapi tak sampai kulepas celana dalamnya.
Kami berhenti bercumbu saat telepon rumah Tante Wina berdering. Tante Wina berlari-lari kecil sambil membenahi bajunya. Saat ia menjawab telepon, aku pun membenahi bajuku, khawatir kalau-kalau pembantu Tante Wina nongol. Beberapa saat kemudian Tante Wina kembali menemuiku dan bilang kalau sebentar lagi adiknya datang. Aku pun berpamitan dan mendapat sebuah kecupan hangat di bibir dari Tante Wina.
Memang tidak setiap pertemuan aku dan Tante Wina bercumbu layaknya sepasang kekasih. Seperti pada semester sebelumnya, kadang Tante Wina tidak di rumah saat aku mengajar Nico. Atau kadang ketempatan arisan, atau sedang ada tamu. Begitu pun saat aku mulai intim dengannya.
Kadang aku diliputi rasa bersalah pada Om Ben, suami Tante Wina. Meskipun aku jarang bertemu dengannya, tapi sikapnya baik padaku. Namun darah mudaku saat bertemu dengan Tante Wina mengatakan lain. Ada rasa nikmat saat berdekatan dengannya, menatap lekuk liku tubuhnya di balik daster mini yang biasa dikenakannya. Aku tak tahu pasti apakah aku benar-benar cinta pada Tante Wina seperti yang kutulis di laptopnya, atau hanya sekedar nafsu yang timbul akibat begitu dekatnya aku dengannya.
Yang jelas, aku jadi sering merindukan Tante Wina, terutama saat Nico libur yang berarti aku juga libur mengunjunginya. Saat kerinduan padanya makin memuncak, kuberanikan diri mendatangi rumah Tante Wina. Dalam perjalanan menuju ke sana sudah kusiapkan alasan yang masuk akal, yaitu aku sedang ada keperluan di sekitar situ dan menyempatkan diri mampir. Tapi yang kutemui malah kekecewaan. Kata pembantunya, Tante Wina sekeluarga berlibur ke luar negeri. Aku pun menyibukkan diri dengan belajar untuk persiapan ujian semesteran dan sesekali menerima panggilan untuk maintenance komputer.
Tak terasa, libur semesteran berikutnya usai. Berarti sudah satu setengah tahun aku menjalani sebagai tutor Nico, dan setengah tahun sebagai “tutor plus” mamanya. Aku berjingkrak dalam hati saat Gery kembali menawariku untuk mengajar Nico lagi. Hanya saja, jadwalnya sore lagi, karena Nico masuk pagi. Aku agak sedikit was-was akan kehilangan kesempatan dengan Tante Wina, tapi kujalani juga. Yang penting bisa bertemu Tante Wina sudah cukup, pikirku.
Pertemuan pertama di awal semester, wajah Tante Wina terlihat berseri-seri. Katanya, Nico berhasil masuk 10 besar di kelasnya. Aku turut senang dan bangga melihat peningkatan prestasi Nico. Tak heran kalau aku masih “laku” untuk menjadi tutornya lagi semester itu.
Seperti yang kuduga, jadwal mengajar sore membuat kesempatan untuk bermesraan dengan Tante Wina jadi tipis, karena kalau malam Tante Wina sering sekali kedatangan tamu. Belum lagi kalau Om Ben pulang.
Suatu ketika, Tante Wina memintaku untuk datang lebih awal, sekitar jam 3 siang, karena malamnya Nico ada acara bersama keluarga. Sebenarnya aku ada jadwal kuliah, tapi kukorbankan demi tak ingin rugi kehilangan waktu bertemu Tante Wina. Saat aku tiba, Tante Wina sendiri yang membukakan pintu dan mempersilakanku masuk. Suasananya lengang sekali, padahal biasanya Nico juga ikut menyambutku. Tante Wina menyuruhku menunggu di ruang tamu sambil mengatakan kalau Nico sedang tidur siang. Ia masuk untuk membangunkan Nico dan sesaat kemudian menemuiku lagi sambil membawa sebotol minuman ringan. Katanya, Nico susah dibangunkan dan aku diminta menunggu sebentar.
Aku termangu sambil memandanginya yang duduk di sofa panjang tepat di depanku. Tante Wina pun hanya diam dan menatapku dengan pandangan yang tak bisa kumengerti. Entah apa yang merasukiku hingga membuatku pindah duduk di sebelah Tante Wina, menggenggam tangannya, dan membisikkan, “Aku kangen, Tante”.
Tante Wina merespon dengan memagut bibirku. Kami saling berpagutan dengan mesra sebagai ungkapan kerinduan yang sudah tak tertahankan. Kali itu Tante Wina lebih permisif. Ia sama sekali tak mencegah ketika tanganku liar menyusup celana dalamnya dan menjamah bagian bawah tubuhnya yang sudah basah. Dari sikapnya itu aku menyimpulkan kalau Tante Wina pun menyimpan kerinduan padaku yang diungkapkan lewat desah nafasnya dan pembiaran kenakalan tanganku menjamahi setiap bagian tubuhnya.
Lebih dari itu, tangan Tante Wina pun tak kalah agresif. Ia remas-remas bagian sensitif tubuhku dengan penuh nafsu. Melihat itu, kusempatkan membuka resleting celana jinsku agar Tante Wina bisa menyentuh langsung “milikku” yang mulai berdiri. Benar saja. Tangan Tante Wina meremas “milikku” seperti seorang bocah yang mendapat mainan baru yang disukainya.
Tak lama kemudian, dengan nafas memburu, Tante Wina beranjak dari sofa dan bersimpuh di depanku. Mulut dan bibirnya langsung beraksi, menikmati “milikku”. Aku terpana mendapat “suguhan” istimewa darinya. Terlihat sekali kalau ia piawai melakukan itu. Kusandarkan punggungku di sofa, menikmati setiap hisapan Tante Wina yang begitu bergairah. Sepertinya ia pun begitu menikmati “milikku” yang telah tegak berdiri dan basah oleh air ludahnya. Tante Wina seperti tak letih menggerak-gerakkan mulut dan lidahnya, sementara aku berusaha keras menahan agar “cairan kenikmatanku” tak buru-buru memancar.
Aku beringsut dan mencoba menghentikan Tante Wina saat kurasakan akan “keluar”, tapi ia tak mempedulikanku. Justru gerakannya makin cepat, yang membuatku mengejang dan tak bisa menahan erangan saat cairanku melesak keluar dalam mulut Tante Wina. Ia terdiam sesaat sambil melakukan hisapan kecil yang membuatku terasa geli. Kurebahkan lagi tubuhku di sandaran sofa, menikmati puncak kenikmatan yang diberikan Tante Wina. Kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri saat ia menelan cairanku. Aku tak mampu berkata-kata.
Tante Wina tersenyum memandangku yang terengah-engah dalam kenikmatan. Sesaat kemudian ia beranjak sambil berkata, “Sebentar ya. Tante lihat dulu Nico sudah bangun apa belum”. Kubenahi resleting celanaku dan kembali bersikap biasa. Kuteguk minuman ringan yang disuguhkan Tante Wina.
“Nico susah dibangunin. Apa sebaiknya ia libur dulu hari ini?”, kata Tante Wina saat muncul lagi di ruang tamu.
“Kalau mau diganti hari lain juga nggak apa-apa, Tante”, tukasku.
“Gimana kalau besok malam?”, Tante Wina duduk di sebelahku.
“Boleh”, aku mengangguk setuju.
Setelah ngobrol beberapa saat, aku pamit pulang. Seperti biasa, kami saling berpagutan sebelum berpisah. Dalam perjalanan pulang aku nyaris menyerempet orang bersepeda, karena melamunkan kejadian yang baru saja kualami dengan Tante Wina. Sumpah serapah orang itu kutanggapi dengan permintaan maaf. Hingga malam, aku tak bisa mengusir bayang-bayang Tante Wina yang begitu asyik menghisap “milikku”. Aku menduga, pertemuan sore itu sengaja diatur oleh Tante Wina untuk melampiaskan kerinduannya padaku. Jika memang ia ingin Nico les, pastilah sudah dibangunkan sebelum aku datang. Nyatanya, ia biarkan Nico tidur siang, dan kami bisa bercumbu. Jika keadaan memungkinkan, aku yakin hubungan kami akan lebih dari itu. Memikirkan hal itu membuatku berkhayal bercinta dengan Tante Wina.
Pada pertemuan-pertemuan berikutnya, kadang aku dan Tante Wina mencuri-curi kesempatan untuk bisa sekedar berciuman. Biasanya saat Nico kuberi tugas mengerjakan soal-soal dan Tante Wina mengajakku ke ruang tamu. Memang tidak bisa lebih dari berciuman, tapi rasanya itu sudah lumayan sebagai pemuas kerinduan kami.
Beberapa minggu kemudian, saat aku datang ke rumah Tante Wina sesuai jadwal mengajar, Tante Wina bilang kalau Nico sedang pergi bersama teman-teman sekolahnya untuk merayakan ulang tahun salah seorang teman mereka. Meski begitu, Tante Wina tetap mempersilakanku duduk dan mengajakku ngobrol. Tante Wina juga bilang kalau Om Ben sedang ke luar negeri untuk urusan bisnis. Ucapannya itu seolah pemberitahuan kepadaku, bahwa keadaan “aman”. Apalagi tatapan dan senyumnya yang mesra, kuanggap sebagai undangan agar aku pindah duduk di sebelahnya. Dari wangi segar tubuhnya aku menduga Tante Wina baru saja mandi. Hasratku tak lagi bisa kubendung. Kugamit tubuh Tante Wina dalam pelukanku dan kami berciuman. Lampu ruang tamu yang temaram, ditambah dengan sejuknya udara AC yang menyala 24 jam, membuat suasana makin menggairahkan.
Seperti yang sudah kukhayalkan, aku ingin lebih dari sebelumnya. Sambil berciuman, tanganku bergerilya ke bagian bawah tubuh Tante Wina, menyusup ke balik celana dalamnya. Tante Wina tak memberikan perlawanan. Justru ia membuka kedua pahanya dan membuatku makin menggila. Kulepas celana dalam Tante Wina hingga jemariku bebas berkeliaran di “miliknya” yang terasa begitu lembut.
Aku pun kemudian melancarkan aksi “balas dendam”. Aku berlutut di hadapan Tante Wina. Ia tahu apa yang akan kulakukan. Tanpa kusuruh, Tante Wina mengangkat kedua kakinya dengan posisi mengangkang dan tubuhnya disandarkan di sandaran sofa. Ia mendesis saat kumainkan lidahku di “miliknya”. Aku berniat untuk memuaskannya, seperti yang telah ia lakukan padaku. Tampaknya hal itu membuat Tante Wina lupa daratan. Ia mengajakku ke kamar tidur dekat ruang tamu. Di kamar itu kami melampiaskan birahi yang meledak-ledak, yang selama ini tertahan. Tante Wina melepas semua yang melekat di tubuhnya.
Dalam hitungan menit, kami sama-sama tersengal dalam puncak kenikmatan. Tapi aku tak bisa berlama-lama di situ. Kubenahi celana dan bajuku, lalu kembali ke ruang tamu, sementara Tante Wina ke kamar mandi. Saat hendak duduk, kulihat celana dalam Tante Wina tergeletak di karpet. Kupungut dan kugenggam erat-erat celana dalam berwarna hitam berenda, lalu kuselipkan di bawah pahaku. Tak lama kemudian Tante Wina menyusulku sambil menenteng dua botol minuman ringan. Satu botol disodorkan kepadaku, satunya lagi diteguknya.
“Capek ya, sayang?”, Tante Wina tersenyum mesra dan duduk di sebelahku.
“Enak sekali, Tante. Sulit digambarkan dengan kata-kata”, gumamku sambil bersandar. Tante Wina mencubit mesra pahaku. Kami pun kemudian terlibat obrolan ringan tanpa sedikitpun membahas yang baru terjadi.
Kira-kira setengah jam kemudian Tante Wina menelepon ke HP Nico. Itulah enaknya anak orang kaya. Masih SMP sudah diberi HP oleh orang tuanya, sedangkan aku tak punya. Maklum waktu itu HP masih tergolong barang mewah. Begitu juga pulsanya, mahal banget.
“Nico masih lama tuh kayaknya”, kata Tante Wina usai menelepon.
Nggak apa-apa, Tante. Sekali-sekali santai begini boleh ‘kan?”, jawabku dengan senyum menggoda. Lagi-lagi Tante Wina mencubitku dan menggeser tubuhnya hingga lebih dekat denganku. Wangi tubuhnya kembali mengusik hasratku dan muncul ide iseng.
“Tante, boleh nggak aku minta sesuatu?”, cetusku.
“Boleh. Minta apapun pasti Tante kasih. Pengen apa?”, Tante Wina melipat kedua kakinya di atas sofa dan menghadap ke arahku. Kuambil celana dalam Tante Wina dari balik pahaku.
“Ini”, kutunjukkan celana dalam sexy itu padanya.
“Ya ampun. Makanya kucari-cari nggak ketemu”, Tante Wina terbeliak dan berusaha merebutnya dariku. Buru-buru kusembunyikan tanganku di balik punggung.
“Katanya minta apa saja boleh. Buat aku ya Tante?”, rayuku.
“Buat apa sih?”, Tante Wina masih berusaha mengambilnya dari balik punggungku, sehingga pipi kami saling menempel.
“Buat obat kangen”, seketika itu juga kurengkuh bahunya dan kupagut bibirnya. Tante Wina membalas ciumanku. Kami kembali tenggelam dalam panasnya dua bibir yang menyatu, diselingi dengan belitan lidah dengan lidah, yang membuat nafsu kami bangkit lagi. Kulucuti bagian atas baju Tante Wina saat aku ingin mencumbui dadanya yang tak tertutup bra.
Dalam birahi yang tak terbendung, kulorot jins dan celana dalamku, disusul dengan Tante Wina yang kemudian duduk di atasku. Ternyata ia tidak memakai celana dalam, hingga “milikku” langsung terhunjam ke “miliknya”. Dalam pangkuanku, tubuh Tante Wina meliuk-liuk dan bergerak naik turun dengan ritme makin lama makin cepat yang berujung pada tubuhnya yang meregangnya. Goyangannya melambat dan kami kembali berpagutan.
Sesaat kemudian, Tante Wina beringsut dari pangkuanku, menghadap ke dinding dengan berlutut di atas sofa. Begitu ia menungging, kuhunjamkan lagi “milikku”. Tante Wina buru-buru duduk di sofa dan dengan cepat memasukkan “milikku” ke mulutnya saat kukatakan aku akan keluar. Jika di kamar tadi kutumpahkan cairanku di perut dan dadanya, kali ini di dalam mulutnya.
Setelah kejadian itu, aku dan Tante Wina tak punya kesempatan untuk mengulang lagi karena ada saja hal yang “mengganggu”. Termasuk tugas-tugas kuliahku sendiri yang membuatku harus absen mengajar.
Ketika Nico naik kelas 3 dengan nilai sangat memuaskan karena masuk ranking 5 besar, Tante Wina memberiku hadiah sebuah HP berikut pulsanya. Aku tentu saja senang sekali. Juga bangga karena hanya segelintir mahasiswa sekampusku saja yang punya. Ada lagi keuntungan punya HP. Tante Wina kadang meneleponku malam-malam saat aku sendirian di kamar. Pembicaraan yang semula hanya sebagai penyalur kerinduan, lama-lama berkembang jadi “phone sex”. Aku dan Tante Wina sempat menikmati bercinta lewat telepon selama beberapa minggu.
Aku terpaksa harus berhenti jadi guru les Nico karena kemudian aku harus menjalani KKN (Kuliah Kerja Nyata) di pelosok desa yang lumayan jauh. Hubunganku dengan Tante Wina lewat telepon pun juga tak berjalan mulus karena lemahnya sinyal di desa. Waktu bertemu Gery di kampus saat aku kembali dari desa untuk satu urusan, ia bilang kalau Nico diikutkan lembaga bimbingan belajar ternama di kotaku. Sayang, karena minimnya waktu dan harus segera kembali ke desa, aku tak sempat berkunjung ke rumah Tante Wina.
Satu bulan menjalani KKN, aku lega. Setelah istirahat sehari di rumah, besok paginya kudatangi rumah Tante Wina. Pembantunya yang membukakan pintu. Ia langsung mengajakku ke kolam renang karena Tante Wina sedang berenang di sana. Tante Wina tampak kaget bercampur gembira melihat kedatanganku. Bergegas ia keluar dari kolam renang. Bikini merah yang dipakainya tampak serasi dengan kulit tubuhnya yang putih bersih. Kami pun kemudian ngobrol di pinggir kolam renang. Ia cerita tentang Nico yang ikut bimbingan tes yang sudah kuketahui dari Gery. Ia juga tak henti-hentinya berterima kasih padaku yang membuat prestasi belajar Nico maju pesat dan pelajaran “khusus” untuknya hingga bisa mengoperasikan laptop. Setelah itu ia mengajakku masuk.
Saat berjalan meninggalkan kolam renang, di sebuah tempat kugamit lengan Tante Wina, kusandarkan tubuhnya di dinding, lalu kupagut bibirnya. Tante Wina mengimbangi pagutanku dengan ciuman yang tak kalah membara, yang menunjukkan kalau ia sangat rindu padaku. Ingin rasanya aku menelanjanginya saat itu, tapi sikonnya tak memungkinkan. Aku harus cukup puas dengan berciuman, saling meraba dan meremas apapun yang nikmat dicium, diraba dan diremas. Setelah melampiaskan kerinduan masing-masing, aku ke ruang tamu, sementara Tante Wina mandi.
Harum aroma Tante Wina merebak ke penjuru ruang tamu ketika ia muncul dengan tubuh terbalut handuk. Dengan isyarat jarinya ia memintaku untuk mengikutinya. Dengan sigap kulepas jaketku dan menyusul Tante Wina yang telah menungguku di balik pintu kamar. Begitu pintu terkunci, kami langsung berpagutan bibir dengan penuh gairah. Sambil berciuman, kulepas handuk yang melilit tubuh Tante Wina hingga ia telanjang bulat, sementara jari-jari lentiknya cekatan membuka kancing bajuku.
Setelah puas berciuman, Tante Wina jongkok dan melepas resleting celana jins bututku. Dengan beringas Tante Wina melumat “milikku” yang telah mengeras dan tegak berdiri, begitu celana jins dan celana dalamku melorot. Kejadian selanjutnya silakan dibayangkan sendiri.
Ternyata, kemesraanku dengan Tante Wina saat itu merupakan momen terakhir. Lama setelah itu aku tak pernah bertemu dengannya karena kesibukanku mengerjakan tugas akhir dan adanya pekerjaan sampingan sebagai tenaga maintenance komputer yang kembali kujalani setelah tak lagi menjadi tutor Nico. Kami sempat beberapa kali melakukan kontak lewat telepon, tapi lambat laun makin jarang dan akhirnya tak pernah sama sekali.
Aku kaget saat menerima telepon dari Tante Wina beberapa hari setelah dinyatakan lulus. Tante Wina memberiku ucapan selamat. Katanya, ia tahu dari Gery. Ia juga mengabari kalau Nico diterima di SMA favorit. Meski hanya ngobrol beberapa saat, aku senang sekali. Aku sempat berjanji untuk berkunjung ke rumahnya, tapi janjiku tak pernah terwujud. Beberapa lamaran kerja yang kulayangkan jauh-jauh hari sebelum aku lulus membawa hasil. Aku dapat panggilan tes di sebuah perusahaan besar di kota lain. Melalui SMS kukabari Tante Wina permohonan maafku, dan ia hanya menjawab “Good luck”. Itu adalah kontakku terakhir dengannya. Yang tersisa hanya kerinduanku padanya.
Meskipun kemudian aku diterima bekerja di perusahaan itu, aku merasa tak betah. Aku terus berusaha mencari pekerjaan lain yang berdomisili di kota kelahiranku. Bertahun-tahun aku menunggu kesempatan itu, sampai akhirnya ada panggilan dari sebuah perusahaan swasta dengan gaji yang lebih baik dibandingkan yang lain yang kukirimi lamaran. Aku pun kemudian kembali ke kampung halaman. Tapi aku tak sendiri. Ada istri dan seorang anak buah cintaku dengan istriku yang kunikahi saat aku bekerja di kota lain itu.
Makanya, saat aku datang lagi ke kompleks perumahan di mana Tante Wina tinggal seperti yang kuceritakan di awal curhatku, aku merasa gelisah. Ada pertentangan batin, antara mampir untuk menemui Tante Wina, atau melewatkan saja kesempatan itu. Jika mampir, bisa saja aku beralasan pada temanku kalau Tante Wina adalah kerabatku. Setelah kutimbang-timbang, kuputuskan untuk melupakan keinginanku bertemu Tante Wina. Toh masih ada lain waktu jika aku mau.
Meski kapanpun aku bisa mengunjunginya, tapi kubuang jauh-jauh niat itu. Akan lebih baik jika kenangan bersamanya kukubur dalam-dalam, menjadi bagian dari masa laluku. Cukup kudoakan, semoga ia beserta keluarganya selalu dalam keadaan baik-baik saja.
Akan halnya celana dalam milik Tante Wina yang sempat kusimpan rapat-rapat di almariku, sudah kubakar habis saat aku sedang menyusun skripsi agar tak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dari orang tua maupun saudara-saudaraku yang tak akan bisa kujawab andai mereka menemukannya, sedangkan HP pemberiannya kuberikan pada adikku saat aku mampu membeli sendiri dengan gajiku dan sekarang entah di mana. [Flx (nama samaran), 38 tahun, somewhere]
Tidak ada komentar :
Posting Komentar