Penyesalanku

Akhir-akhir ini aku banyak merenung. Ketika menghadiri reuni teman-teman SMA, kulihat banyak yang sukses. Mereka datang dengan mobil mewah yang hanya bisa kubayangkan dalam khayalan. Ada yang sukses jadi pejabat, pengusaha, wiraswastawan atau berprofesi dokter dan arsitek.

Aku sadar, kegagalanku menggapai cita-cita tak terlepas dari perilaku burukku di masa lalu. Di saat teman-teman sekolahku giat belajar, aku kluyuran, berfoya-foya dengan teman-teman gang yang kuikuti. Begitu pula ketika masa-masa menjadi mahasiswa, waktuku lebih banyak kuhabiskan untuk kongkow-kongkow yang tak jelas manfaatnya. Kuliah ogah-ogahan, tapi kalau berhura-hura semangat.

Apalagi kalau menyangkut perempuan, bisa dibilang aku seorang playboy. Aku akan dengan enteng mengabaikan jam kuliah jika ada perempuan yang mau kuajak kencan. Aku terlena dalam nikmatnya kehidupan seks bebas dan gemerlap dunia malam. Jauh dari orang tua membuatku seperti kuda terlepas dari kekangnya. Memang akhirnya aku berhasil lulus kuliah meskipun dalam waktu yang lebih dari normal dan dengan nilai pas-pasan. Akibatnya bisa diduga. Aku kesulitan mencari kerja, karena kalah bersaing dengan mereka-mereka yang IP-nya jauh lebih baik.

Keadaan makin runyam ketika salah seorang perempuan yang kupacari hamil. Aku dilabrak oleh orang tuanya dan disuruh bertanggung jawab. Aku sempat menolak karena tahu ia bukan perempuan baik-baik, tapi karena mau diadukan ke polisi, aku pun takluk. Beberapa bulan setelah menikah aku bercerai.

Aku baru dapat kerja setelah dibantu salah seorang kerabatku. Itupun bukan jenis pekerjaan yang cocok denganku sebetulnya, tapi terpaksa kujalani daripada menganggur. Bertahun-tahun kujalani pekerjaan itu karena tak satupun lamaran kerja yang kukirimkan mendapat panggilan.

Meskipun dalam keadaan sulit, aku memberanikan diri menikah dengan salah seorang pegawai sekantor, karena aku tak ingin jadi bujang lapuk. Istriku berhenti bekerja saat melahirkan anak pertama kami. Gaji pas-pasan yang kuterima setiap bulan tak cukup buatku membeli rumah. Makanya sampai sekarang aku masih numpang di rumah mertua, walaupun anakku sudah 3 orang.

Aku seringkali trenyuh saat tak bisa memenuhi permintaan anakku untuk membeli HP, sementara teman-temannya sudah punya semua. Tak sampai hati rasanya melihat ekspresi kekecewaan di wajahnya. Aku menangis dalam hati, menyesali kebodohanku di masa lalu, menyia-nyiakan waktu demi kesenangan sesaat. Tapi apa boleh buat. Aku sudah berusaha maksimal memperbaiki keadaan ekonomi keluargaku, walaupun tidak menunjukkan hasil. Yang bertambah justru hutang di sana-sini. Istilahnya gali lobang tutup lobang.

Betapa aku telah gagal. Sebagai anak aku gagal, sebagai suami aku gagal, dan sebagai ayah aku juga gagal. Kegagalan bertubi-tubi itulah yang membuatku dirundung galau tak berkesudahan.

Penyesalan dan kegalauan ini mungkin akan kubawa sampai mati. Tapi setidaknya aku bersyukur masih dikaruniai kesehatan oleh Allah. Begitu pun istri dan anak-anakku. Aku tak ingin kebodohan yang kulakukan terulang pada anak-anakku. Kutekankan pada mereka untuk selalu rajin belajar, melakukan kegiatan-kegiatan positif, seperti berorganisasi di sekolah atau belajar ketrampilan yang bisa menjadi bekal mereka di masa depan, agar tidak bernasib seperti ayah mereka yang bodoh ini. (DTH, 46 tahun, Jawa Timur)