Rabu, 23 Agustus 2017

Kamu, Milikku (Bagian 1)

Pengantar

Pengunjung yang budiman,

Berikut ini adalah novel karya Putri Elsa Riani (Putri) berjudul "Kamu, Milikku" yang terdiri dari 7 Bagian dan akan ditayangkan secara berkala mulai hari ini.

Saat ini Putri duduk di bangku SMK Negeri di Pekanbaru yang sejak kecil hobi membaca, baik dongeng maupun novel, dan dengan berbekal hobi tersebut mendorongnya untuk menulis novel ini.

Selamat menikmati.




Sinopsis

Kalau ada yang menyanyangi Olivia lebih daripada apapun, maka orang itu adalah Ares. Kalau ada perlombaan untuk mendapatkan Olivia, maka Areslah pemenangnya. Kalau ada yang rela memberikan segalanya demi Olivia, maka Ares jugalah orangnya.

Lalu bagaimana jika Ares sudah mendapatkan hati, perasaan, bahkan cinta Olivia, namun pada akhirnya Ares dan Olivia mengetahui bahwa mereka ternyata saudara kandung? Bisakah mereka meredam cinta yang masih membara itu?

Dan disanalah Hendra datang bagai seorang malaikat. Dia ada disaat Olivia membutuhkan bantuan, dia datang disaat Olivia kesepian, dan dia rela menjadikan bahunya untuk tempat gadis itu menangisi Ares.

Saat Olivia mulai membalas cintai Hendra, sanggupkah ia menyangkal perasaannya pada Ares setelah mengetahui ternyata mereka berdua bukanlah saudara kandung?

Disitulah keajaiban datang. Banyak rencana Tuhan yang terjadi di dalam hidup mereka berdua. Saat mereka mencintai satu sama lain, masalah datang menerpa mereka begitu kuat. Dan saat mereka berusaha melepaskan satu sama lain, di situlah Tuhan semakin mengeratkan hubungan mereka.
Banyak perkara yang terjadi, tapi dibalik itu semua mereka mendapatkan akhir yang sangat bahagia, yang bahkan tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.



Bagian 1

Aresku

“Aku jatuh cinta.”

“Itu bagus,” jawabku pura-pura tenang.

“Dia cantik, dan aku begitu menggilainya.”

Bolehkah aku menerkam kekasihku ini sekarang juga? Apa dia sudah tidak waras sampai mengatakan hal seperti itu dengan pacarnya sendiri?

“Lalu?”

“Kurasa dia juga menyukaiku.”

Aku mengangguk, detik berikutnya berteriak, “Apa kamu sudah gila? Berani-beraninya kamu mengatakan itu padaku, Ares? Astaga aku bahkan tidak bisa mempercayai ini!”

Dia tertawa keras, “Bolehkah aku bersamanya sampai akhir hayatku?”

Ya ampun, dia bahkan tidak pernah berkata seperti itu padaku. Lantas pada wanita yang dia katakan tadi malah ditanyakannya padaku?

“Aku akan membunuhmu, Ares!” ujarku berlari mengejarnya.

Baiklah, aku tahu dia itu adalah pria dan larinya juga sangatlah kencang. Jadi daripada aku mengobrak-abrik ruanganku ini lebih baik aku berhenti, duduk diam, dan menangis.

Dia menghampiriku dan ikut duduk juga sambil mengatur napasnya yang terengah-engah.

“Kenapa kamu tidak bertanya siapa namanya?”

Dia masih berani bertanya? Bahkan sekarang aku ingin melemarkannya kedalam sumur! Aku menangis lagi, sambil menyesali kenapa tidak ada tissue disini.

Ares berkata lagi, “Wanita itu adalah kamu.”

Apa?

“Aku ingin bersamamu sampai akhir hayat,” dia memelukku erat.

Kuharap dia tidak bercanda saat ini.

“Karena sungguh aku sangat mencintaimu.”

Ya Tuhan, hentikan waktu detik ini juga.

Kalau ada yang mengatakan Olivia itu egois, keras kepala, pemarah, atau hal buruk lainnya, maka Areslah satu-satunya orang yang akan menentang semua itu. Aku tidak peduli apapun yang dikatakan orang., karena aku bebas melakukan apapun yang aku mau, dan juga tidak akan melakukan apapun yang tidak aku mau. Sebut saja aku egois, tapi percayalah bahwa semua orang di dunia juga punya tingkatan untuk egoisnya masing-masing.

Kembali lagi kepada Ares, dia itu pria yang bisa menjadi saudara pelindung buatku, menjadi sahabat terbaikku, menjadi teman seperjuanganku, tapi dia bisa juga menjadi musuhku. Untuk yang terakhir itu aku tidak benar-benar serius.

“Makan yuk, Liv?” tanya Ares setelah aku berhenti menangis.

“Mau makan dimana?”

“Dimana saja, asal bareng kamu.” dia tersenyum, senyum yang menurutku mampu mengajak lawan bicaranya ikut juga tersenyum.

Mau aku beri tahu sesuatu? Seseorang bisa dikatakan memiliki daya tarik yang kuat apabila senyumnya juga memikat.

“Jangan jauh-jauh ya, sebentar lagi aku kedatangan tamu.”

“Tamu yang itu?”

“Itu mana?”

“Yang tiap bulan biasa datangkan?”

Aku tertawa sedikit, dasar anak ini pikirannya malah salah sambung. Melihatku yang tertawa dia pun malah ikut tertawa. “Jangan nyebelin deh res, aku kedatangan tamu untuk acara besok tahu. Bukan tamu itu-itu yang kayak maksud kamu.”

Dia nyengir sambil membawa tangan kananku keluar ruangan, “Iya deh, maafkan kekasihmu ini, Olivia.” katanya lalu tersenyum lagi. Ya Tuhan, panjangkanlah umur pria tampan ini, doaku dalam hati.

-----

Apa jadinya aku tanpa Ares? Maksudku aku memang tetap dapat hidup, tapi rasanya pasti ada yang kurang, berbeda jika ada dia di sampingku. Entah karena aku sudah terbiasa bersamanya, atau karena dia memang selalu bisa membuatku merasa nyaman.

Hari ini, atau lebih tepatnya hari Senin, dia, Aresku membuat masalah lagi. Bayangkan saja, seharian ini dia selalu membuntutiku, dengan alasan sangat merindukanku! Oh astaga entah dimana pikirannya itu berada padahal setiap hari kami selalu bertemu. Bisakah Tuhan menyingkirkannya untuk beberapa menit saja?

“Kamu itu kenapa sih, Res?’ tanyaku setengah emosi.

“Aku cuma duduk saja disini, niatnya sih ngajak kamu jalan,” dia berkata dengan polos dan jangan lupakan senyum manisnya itu.

“Maksud aku, kamu balik aja kerumah sakit, mana tahu ada pasien. Ngapain coba pakai ngikutin aku? Ngeselin banget, aku ini lagi sibuk,” ujarku setengah berteriak tanpa melihat lagi kearahnya.

“Liv?”

“Apa?!”

“Oliv?”

“Apa Ares?” Kali ini aku menoleh.

“Aku pergi ya, I love you,” Ares berkata sambil mengedipkan mata lalu berbalik kearah pintu. Entah bagaimana keadaan itu membuatku ingin menangis saja. Anak itu! Bisakah dia pergi dengan cara normal tanpa perlu berkata manis, seakan-akan kami akan berpisah selamanya?

“I hate you, Ares!”

-----

Olivia Shani, ya itulah namaku. Orang biasanya menyebut aku Via, hanya Ares yang memanggilku Oliv, tapi aku senang karena itu membuatku merasa dianggap spesial olehnya. Setelah kejadian tempo hari, aku tak berniat membalas pesan maupun mengangkat teleponnya. Biarkan saja disitu, menyebalksan sekali. Hah, mengingatnya saja sudah membuat emosiku naik lagi.

“Katanya, Manager HRD kita sekarang cowok muda, ganteng pakai banget,” ujar Rara, teman satu kantorku dengan mata berbinar-binar. Ah, aku tau tatapannya itu menandakan dia naksir sang Manager. Tapi perlu dicatat, aku tidak suka membahas orang lain, karena itu aku tidak terlalu merespon pembicaraan mereka.

“Lulusan UI sih katanya,” sambung Sasa, Kepala Seksi dari unit sebelah membuatku hampir terbatuk mendengar ucapannya. UI? Aku dulu begitu berharap bisa masuk kesana, tapi apalah daya itu hanya menjadi angan-angan saja mengingat dulu aku begitu malas untuk belajar.

“Namanya siapa?” aku menjadi ingin tau.

“Udah ada Ares masih nanya cowok lain ya, Vi?” iseng Rara membuatku jengkel.

“Apaan sih Ra, cuma nanya saja kok. Atau jangan-jangan kamu yang naksir HRD baru itu,” Aku membalasnya dengan senyum mematikan. Kalau kata Ares, senyumku yang tadi itu pertanda bahwa aku tengah berkata Habislah Kamu!

“Hehe canda, Vi.”

Sebelum aku sempat menjawab perkataan Rara, ponselku tiba-tiba bordering. “Bu Murgana.” ujarku pada mereka yang sepertinya ingin tau. Kalau tidak mau tahu juga tidak apa. Tidak akan menjadi maslah bagiku bukan?

“Halo Bu?”

“…”

“Oke saya datang Bu.”

“…”

“Siap Bu!”

Huh, tidak tahukah atasanku itu bahwa ini masih jam istirahat?

“Kenapa, Vi?” tanya Sasa.

“Bu Murgana minta ke ruangannya. Eh Ra, bayarin dulu ya, nanti aku ganti, oke.” Aku berlari dari arah kantin menaiki tangga di sebelah kanan yang menghubungkan langsung ke ruangan khusus Bu Murgana.

Sambil setengah berlari di anak tangga serta menimbulkan kegaduhan karena sepatuku yang berhak tinggi, aku melihat layar ponselku kembali dan ternyata ada pesan dari Ares. Kekasihku itu, pasti tidak bisa konsen bekerja karena aku abaikan semenjak semalam siang. Nanti saja aku balas pesannya, janjiku dalam hati.

Seseorang di atas sana tengah memperhatikanku. Ya, aku bisa merasakannya. Segera aku mengangkat kepala dan melihat seorang pria tengah melihatku sambil tersenyum setelah mengetahui bahwa aku juga membalas tatapannya.

“Kamu memang biasa berlarian seperti tadi ya? Gak takut jatuh?” dia bertanya setelah aku tiba di atas. Aku memperhatikan pria di depanku ini. Dia tampan dan aku tidak pernah melihatnya sebelumnya. Oh, pasti ini dia manager baru yang kami ceritakan tadi.

“Apa ada masalah?” tanyaku sambil mengerutkan kening.

Dia tertawa, dan membuatku kesal. Kurasa aku tidak sedang melawak. “Kamu lucu,” ujarnya tulus. Dari tatapannya dari penampilan maupun cara bicaranya dapat kupastikan dia adalah tipe cowok penggoda. Maka dari itu aku mengabaikannya dan menuju keruangan Bu Murgana.

“Permisi Bu.”

“Vi, kamu udah liatkan Manager HRD baru yang di depan?” tanya Bu Murgana langung. Perlu dicatat Bu Murgana adalah salah satu orang yang tidak menyukai basa-basi. Jadi wajar saja jika dia berkata langsung seperti tadi.

“Iya Bu, ada apa ya?”

“Tolong kamu antarkan dia keruangannya dan persiapkan semua yang dibutuhkan ya. Saya percayakan dia sama kamu.”

“Baik Bu,” kataku sambil melangkah keluar, lalu disambung dengan omongan Bu Murgana yang membuatku tercengang.

“Oh ya Vi, dia itu anak saya, jadi jangan sampai ada yang terlewatkan ya.”

-----

Pria tadi, anaknya Bu Murgana yang merupakan direktur di perusahaan tempatku bekerja ternyata masih berdiri didepan pintu dengan gaya yang menurutku persis seperti cowok playboy. Ke laut sajalah dia.

“Mari saya tunjukan ruangan anda, Pak,” kataku sambil menekan kata pak, supaya dia tahu batasan, dan ternyata dia hanya diam sambil mengikuti langkah kakiku dari belakang.

“Nama kamu siapa?” tanyanya sopan.

“Via.” Baiklah, aku tahu jawabanku tidaklah sesopan pertanyaan darinya, namun dari awal aku sudah terlanjur kesal, mau bagaimana lagi?

“Kamu tau nama saya?”

Apa-apan dia itu? Apa dia sendiri tidak tau namanya? Aku berhenti berjalan dan membalikan badan menghadapnya. Dasar sinting pikirku sambil melanjutkan berjalan dan mengabaikan pertanyaannya. Kenapa anak tangga ini terasa berubah menjadi lebih banyak? Atau hanya perasaanku saja karena merasa bosan berjalan bersamanya?

“Kamu itu tipe karyawan yang tidak sopan ya. Bagaimana bisa Mama saya menjadikan kamu asistennya?” tanyanya lagi.

Astaga dia ini benar-benar menguji kesabaranku! Tidak taukah dia bahwa dirinyalah yang tidak sopan karena mengajukan pertanyaan-pertanyaan bodoh? Lagi dan lagi aku menghentikan langkah, membalikan badan kearahnya, dan menjawab “Maafkan saya, Pak.”

Dia tersenyum penuh kemenangan dan melanjutkan langkah melewatiku. -----

“Kamu tau tidak kalau dia itu begitu menyebalkan? Aku benar-benar tidak suka padanya,” aku bercerita pada Ares sambil memakan buah yang ada dipiringku.

Malam ini setelah kami berdamai, Ares datang kerumahku tanpa diundang seperti kebiasaan dia sebelum-sebelumnya, yaitu menganggap rumahku ini juga rumahnya. Buat Mamaku, itu adalah hal yang biasanya. Kurasa Mamaku juga menyayangi Ares seperti anaknya sendiri. Kalau begitu, Ares adalah sainganku bukan?

“Yaudah resign saja,” komentarnya sambil menopang dagu menatapku. Aku menghentikan makan dan menatapnya lama.

“Kamu melamar di rumah sakit aku saja, pasti langsung diterima kok.” sambungnya lagi seperti tidak sadar bahwa dia telah merusak selera makanku.

“Iya diterima, dan aku menjadi bagian penjaga ruangan mayat, begitu?”

Dia tertawa, “Oliv, kamukan bisa jadi asisten pribadi aku juga, sama kayak kerjaan kamu sekarang.”

“Berhentilah dengan khayalanmu itu, Res,” sementara aku bergerak menuju wastafel untuk mencuci tangan, Ares malah beranjak dari kursinya dan pergi ke depan. Kukira dia marah dan akan pulang, nyatanya malah duduk di depan Televisi bersama Mamaku. Anak ini benar-benar menyebalkan!

Sekilas aku mendengar percakapan mama dengan Ares yang membuat hatiku sejuk, yaitu saat mama berkata, “Ini loh artis favorit bunda, Res. Masih cantik saja sampai sekarang.”

Ares menoleh ke arah televisi dan berkata, “Bunda juga cantik.”

Perkataan Ares mau tidak mau membuatku tersenyum. Aku tahu dia berkata dengan tulus. Ares memanggil mamaku dengan sebutan bunda, “Biar bisa jadi bunda beneran,” katanya dulu saat kutanya.

“Jadi kamu mau pindah ketempat Ares kerja, Vi?” mama bertanya saat aku baru saja duduk di samping Ares.

“Apa, Mah?” jawabku tak mengerti.

“Kata Ares, kamu mau pindah ketempat dia kerja. Emangnya kamu bisa jadi apa disana?”

Aku terkejut. Oh, ini dia satu lagi kelakuan Ares yang memancing kesabaranku.

“Jadi Ares cerita gitu ke Mama? Bilangin ke dia Mah, bohong itu dosa,” kataku sambil meliriknya yang hanya menahan tawa.

“Aku gak bohong Liv. Kamukan memang mau risign dari kantormu.”

“Dalam mimpumu, Res,” ujarku sengit sambil berlalu dan keluar rumah.

Ah indahnya langit malam di Kota Pekanbaru ini, begitu banyak bintang di atas sana. Aku tersenyum sendiri lalu menutup mata, membiarkan angin malam menerpa wajahku yang sedang berbaringan di atas kursi. Memikirkan semua yang terjadi dalam hidup ini, sungguh sebenarnya hidupku sangat indah, sama seperti bintang itu. Apapun yang aku inginkan hampir semuanya pasti bisa ku dapatkan, meskipun itu butuh usaha yang ekstra juga. Di umurku yang sudah kepala dua, aku sudah bisa mencapai segalanya. Karir, prestasi, bahkan kekasihpun aku sudah punya. Lantas apalagi yang membuatku merasa kurang?

“Gak baik tidur di luar malam-malam gini Liv, nanti malah sakit kena angin malam,” komentar Ares sambil ikut tiduran di sampingku.

“Katanya gak baik, tapi kamu ngikut juga,” aku menoleh padanya.

“Aku gak mau kamu sakit sendirian,” jawabnya sambil menutup mata. Kalimat yang sangat sederhana namun bisa membuatku kembali bersyukur karena diberikan kekasih seperti dirinya. Aku tersenyum, dan dia membuka mata.

“Bisakah kita begini setiap hari, Liv?”

“Bisa, asal kamu tidak mencari masalah.”

Dia tertawa sedikit, “Bukan itu maksudku. Bisakah kita selalu seperti ini? Dengan perasaan yang sama, dengan orang yang sama, dan dengan tempat yang sama?”

Apa maksudnya? Tanyaku dalam hati menunggu ucapannya kembali.

“Bisa saja, suatu hari nanti kamu malah pergi kelain hati.”

“Kenapa malah aku? Kenapa bukan kamu?”

“Karena aku udah memutuskan untuk stay disini, tapi kamu masih juga belum.”

Ah, aku tau kemana arah pembicaraan ini, maka dari itu aku memutuskan untuk diam. Kalau aku menjawabnya sekarang, aku takut akan salah berbicara. Terkadang kita harus menahan ucapan untuk menyelamatkan diri sendiri kan?

“Menikahlah denganku, Liv,” dia memandangku yang sedang menutup mata, dan aku tetap merasakan itu. Ini sudah entah keberapa kalinya dia melamarku. Memang tidak resmi, namun aku tahu dia serius.

Aku tidak berani menolak, tidak sanggup juga untuk menerima, maka aku bertanya, “Apa kamu sudah tidak bisa menungguku lagi?”

“Apa yang membuatku tidak bisa menunggumu lagi?”

“Mana aku tau, Res,” kataku sambil mengerutkan kening.

Dia diam sesaat lalu beranjak dari kursi. “Aku balik dulu ya udah malam, kamu pergi tidur,”
Aku langsung berdiri, apa dia marah? Atau dia kecewa padaku? Lebih baik dia marah daripada dia kecewa. Tapi yang lebih baik daripada itu semua adalah dia tidak marah dan juga tidak kecewa padaku.

“Res…”

“Ya?’

“Jangan pergi,” mataku entah kenapa menjadi berkaca-kaca, ah cengeng sekali. Dia langsung memelukku. Entah mengapa, tapi saat bersama Ares, aku merasa sifat manjaku selalu keluar. Termasuk menjadi mudah menangis seperti saat ini.

“Masuk Liv,” dia merangkul dan membawaku ke dalam rumah. Tampaknya mama sudah tidur.

“Aku pulang ya,” dia mengecup keningku sekilas lantas berlalu. Aku menunggunya sampai keluar dari perkarangan rumah, baru setelah itu masuk ke kamar.

Apa yang membuatku belum juga menerima lamarannya? Apa yang kurang dari dirinya? Seharusnya aku senang, dia pria yang baik, dokter muda yang mapan, juga anak yang cerdas, lalu apa? Ada satu hal, yang belum aku katakan. Aku takut menikah, aku takut membayangkan mempunyai suami, mempunyai anak, juga keluarga kecil. Bukan maksudku bahwa aku membenci hal itu, tapi rasanya belum tepat sekarang jika aku memiliki keluarga dan bahagia lalu tiba-tiba ada suatu hal yang menyebabkan aku kehilangan keluarga kecil itu, apakah aku sanggup? Sama seperti mama yang meninggalkan papa karena perselingkuhan papa, sama seperti Ares ditinggalkan orangtuanya yang tidak bertanggung jawab, sama seperti keluarga-keluarga muda di sekitarku yang penuh pertengkaran, apakah aku bisa bertahan? Membayangkannya sajapun aku tidak berniat. Maafkan aku Res, untuk saat ini kurasa aku belum siap menanggung resiko yang akan terjadi.

-----

Bersambung ke Bagian 2 ...

1 komentar :

  1. I'm Sonja McDonell, 23, Swiss Airlines Stewardess with 13 oversea towns, very tender with much ideas, also in emergency cases in my wonderful job. Oh yes, many girls in Indonesia are very beautiful & very sexy. I had my surprises in respect of lesbian sex in the Travel hotel in Jakarta with 3 university students, at which I'd never believed & their fantasies, how they all masturbated, while they looked at me & moved their tongues around their lips, enchanted me!
    sonjamcdonell@yahoo.com

    BalasHapus