Aku kenal Tante Evie (bukan nama sebenarnya) sejak SMP. Ia adalah mama temanku, sebut saja namanya Dio. Aku dan Dio berteman akrab sejak kelas 1 SMP. Hampir seminggu sekali aku main ke rumahnya. Bahkan sesekali aku menginap di rumah Dio. Tak heran jika aku pun akrab dengan Tante Evie. Selepas SMP aku dan Dio berpisah karena aku ikut pindah bersama orang tuaku ke Jawa Tengah.
Meski begitu aku kadang masih berkunjung ke rumah Dio saat libur, setidaknya 2 kali setahun. Begitu pun Dio, ia pernah datang ke rumahku saat mengikuti orang tuanya menghadiri acara di Jogja dan kemudian mereka singgah di kotaku.
Perasaanku mulai terasa lain saat bertemu Tante Evie adalah ketika semester II aku bertandang ke rumah Dio dan menginap beberapa hari di sana. Sejak SMP aku tahu Tante Evie cantik, tapi cara memandangku berbeda saat aku beranjak dewasa. DI mataku, Tante Evie begitu mempesona dan tanpa sadar aku terangsang setiap memandangnya, terutama di bagian dadanya yang menyembul indah, begitu sexy dan menggairahkan, meskipun terlihat lebih gemuk sedikit. Tapi kulitnya tetap putih mulus seperti dulu. Apalagi kalau di rumah Tante Evie biasa memakai daster tank top dengan belahan dada agak terbuka, membuat jantungku kebat-kebit. Aku suka mencuri-curi pandang padanya. Belum lagi kalau ia tidur siang, pintu kamarnya selalu dibiarkan terbuka.
Yang membuatku ge-er adalah sanjungan dan perhatian Tante Evie padaku. Tak sekali dua kali ia memuji kalau aku tambah cakep. Apalagi dengan cambang halus menghiasi daguku. Hal ini membuatku rasa sukaku padanya makin besar. Aku tahu itu sangat salah, tapi nafsuku begitu kuat setiap kali menatapnya. Celakanya, aku membiarkan pikiranku terombang-ambing dalam hasrat yang memabukkan. Setiap menjelang tidur aku membayangkan mencumbui Tante Evie dan berhubungan intim dengannya. Aku berangan-angan untuk datang menemuinya, melihat langsung sosok Tante Evie yang selalu menghiasi malam-malamku dalam fantasi liar yang tak terbendung, sehingga aku terdorong untuk bertemu lagi dengannya.
Begitu kuatnya dorongan itu, membuatku nekad pergi ke kota asalku. Waktu itu aku sudah menginjak semester V. Waktu libur kumanfaatkan untuk mengunjungi rumah Dio, walau bukan Dio yang ingin kutemui. Saat terakhir aku datang ke rumahnya, Dio bilang kalau ingin melanjutkan kuliah di negara tetangga, karena ia merasa tidak cocok dengan jurusan yang dia ambil saat baru lulus SMA. Dengan demikian aku yakin kalau datang lagi ke rumahnya, Dio pasti tidak ada.
Kubulatkan tekad untuk pergi ke rumah Tante Evie. Dengan naik kereta api malam, aku sampai di tujuan pagi hari. Di sana aku menginap di hotel yang mudah menjangkau rumah Dio. Setelah mandi dan sarapan aku pergi naik taksi menuju rumah Dio.
Aku begitu terpesona saat bertatap muka dengan Tante Evie yang membukakan pintu rumahnya. Tante Evie tampak kaget melihat kedatanganku yang tiba-tiba, tapi buru-buru menyalamiku begitu ingat padaku. Bahkan kami cipika-cipiki untuk meluapkan rasa gembira setelah sekian lama tak bertemu. Harum aroma tubuh Tante Evie tercium olehku saat pipi kami saling menempel. Langsung saja kelelakianku bangkit saat itu juga. Ingin rasanya kupeluk erat tubuh Tante Evie sambil menciuminya.
Tante Evie mempersilakan aku masuk ke ruang tamu. Suasananya sepi, persis seperti yang kubayangkan. Jantungku tak henti-hentinya berdetak kencang saat kami berbincang akrab menceritakan kabar masing-masing. Aku yang sudah merencanakan semua ini mulai melancarkan jurus rayuan. Entah berapa kali kupuji kecantikan Tante Evie yang membuatnya tersipu malu seperti gadis remaja dirayu pacarnya. Aku merasa sudah gila merayu ibu sahabatku sendiri, tapi aku memang sangat tergila-gila pada Tante Evie sejak memandang fotonya beberapa tahun lalu melalui facebook.
Sayangnya Tante Evie harus pergi untuk menjemput suaminya, sebut saja namanya Om Tony, di bandara. Seketika itu juga gairahku padam. Tante Evie mengajakku ikut, tapi dengan halus kutolak. Aku kembali ke hotel dengan lesu. Kukira kalau siang Om Tony ke kantor, makanya aku datang pagi menjelang siang. Tapi kenyataannya tak sesuai dengan yang kuharapkan. Ternyata Om Tony dinas keluar kota dan hari itu ia kembali.
Malam harinya aku hanya jalan-jalan sebentar ke mall dekat hotel, setelah itu tidur. Tapi lagi-lagi wajah Tante Evie yang begitu mempesona terus membayang di benakku. Andaikata aku datang sehari atau dua hari lebih cepat, pasti aku akan puas berduaan dengan Tante Evie dan berharap mendapatkan lebih dari sekedar ngobrol ngalor ngidul. Kurencanakan untuk datang lagi ke rumah Tante Evie besok paginya dengan pertimbangan, pasti Om Tony ke kantor.
Keesokan harinya aku bangun kesiangan, karena tak ada yang membangunkanku. Kalau di rumah biasanya mama atau pembantuku yang membangunkan. Setelah mandi aku menuju halaman parkir hotel untuk mencari taksi. Gairahku untuk bertemu lagi dengan Tante Evie membuatku tak merasa lapar, sehingga tak singgah dulu di resto hotel. Tapi saat aku menuju salah satu taksi aku dikejutkan suara klakson mobil. Jantungku serasa berhenti berdetak saat melihat Tante Evie di belakang kemudi mobil itu.
Aku menjawab hendak jalan-jalan saat Tante Evie bertanya sambil melongokkan kepalanya di jendela mobil.
“Sarapan bareng Tante aja yuk, sekalian ntar nemenin Tante belanja”, ajak Tante Evie dengan senyum mautnya. Bergegas aku masuk ke mobilnya sambil mengiyakan ajakannya. Tante Evie membawaku ke sebuah restoran bernuasa romantis. Kami kembali asyik ngobrol sambil aku makan steak dan Tante Evie hanya minum jus jeruk. Kami seperti teman lama yang lama tak bertemu, seolah tak ada batasan usia antara aku dengan Tante Evie. Aku merasa nyaman berdua dengan Tante Evie yang ceria dan penuh tawa.
Usai makan kami menuju sebuah supermarket yang dulu sering kukunjungi bersama mama dan papa waktu aku kecil. Hanya saja setelah beberapa tahun supermarket itu semakin megah dan luas. Aku selalu bersikap manis pada Tante Evie untuk menunjukkan bahwa aku sangat menghormatinya sekaligus mengaguminya. Darahku serasa mengalir deras setiap kali bersentuhan dengan lengan atau tangannya yang halus. Di benakku muncul rencana-rencana dan harapan tentang apa yang akan terjadi setelah kami selesai belanja. Dan hari itu Tante Evie belanja dua troli barang-barang kebutuhan rumah tangga, hingga bagasi mobilnya penuh sesak.
Keluar dari halaman parkir mall Tante Evie mengajakku ke rumahnya untuk melanjutkan ngobrol, dan bahkan ia menawariku untuk menginap di sana, tapi aku punya rencana lain. Untung-untungan aku mengajaknya untuk ngobrol di hotel saja. Batinku bersorak girang saat Tante Evie menganggukkan kepala.
Mula-mula kami ngobrol di resto hotel. Sekitar 1 jam berikutnya kuberanikan diri mengajak Tante Evie ke kamar dengan alasan agar bisa ngobrol lebih leluasa. Aku mengatakannya dengan dada berdegup kencang menunggu jawabannya. Tak kusangka Tante Evie setuju.
“Ya udah, ayuk…”, katanya sambil beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju kasir.
Aku berusaha bersikap setenang mungkin, meskipun dalam hati aku melonjak senang bukan kepalang.
“Silakan duduk, Tante. Maaf kamarnya berantakan”, aku mencoba berbasa-basi untuk menutupi getaran tubuhku yang menahan gejolak birahi.
Tante Evie tersenyum. Ia melangkah masuk ke kamar mandi. “Tante numpang ke kamar mandi ya…”
“Silakan, Tante”, aku menjawab sambil membereskan selimut yang masih kusut di tempat tidur. Aku senang sekaligus berdebar membayangkan apa yang akan terjadi kemudian. Aku sangat ingin mewujudkan fantasiku dan saat itu kesempatan sudah di depan mata. Tapi justru aku jadi takut. Takut kalau-kalau Tante Evie marah. Dadaku makin kencang debarannya membayangkan kemungkinan itu.
Begitu keluar dari kamar mandi, Tante Evie bukannya duduk di kursi dekat ranjang. Ia menghempaskan pantat ranumnya di tepi ranjang mengamati sekeliling kamar.
“Pantesan kamu nggak mau nginap di rumah Tante. Hotelnya nyaman banget sih”, ujarnya diselingi senyuman. Tangannya mengusap-usap bed cover.
“Jadi pengen tiduran nih. Boleh ya?”, lanjut Tante Evie. Belum lagi aku menjawab ia sudah menggeser tubuhnya ke tengah ranjang dan rebahan di situ. Sejenak aku salah tingkah melihat tindak tanduknya, tak tahu harus berbuat apa. Tapi begitu kulihat korden yang terbuka lebar aku beranjak.
“Kordennya aku tutup ya, Tante. Biar nggak silau”.
“”Iya, nih. Tutup aja”, cetus Tante Evie spontan. Suasana kamar jadi temaram saat korden kututup rapat. Saat itu juga gairah kelelakianku meletup-letup. Kupandangi tubuh sintal Tante Evie yang rebah tengkurap. Pantatnya yang aduhai seolah menggodaku untuk melakukan sesuatu. Di saat aku diliputi keraguan, antara mendekat atau diam saja, Tante Evie beringsut yang membuat roknya sedikit tersingkap. Aku terkesiap menatap pahanya yang putih mulus. Gemuruh di dadaku yang dipenuhi dengan gejolak birahi mendorongku untuk mendekati lalu naik ke ranjang dan pelan-pelan aku merebahkan tubuhku di samping Tante Evie. Wangi tubuh Tante Evie semerbak memenuhi rongga hidungku dan membuat kelelakianku makin mengeras.
“Kamu ngantuk juga ya?”, Tante Evie bertanya sambil berbalik menghadap ke arahku.
“I-iya, Tante…”, jawabku dengan suara bergetar.
“Ya udah, kalo gitu Tante pulang aja ya. Biar kamu bisa istirahat”, cetus Tante Evie. Saat ia beringsut hendak bangkit spontan tanganku menggamit lengannya.
“Jangan, Tante. Aku senang Tante di sini”, kutatap Tante Evie dengan pandangan sayu namun dengan dada sesak oleh nafsu. Kutarik tangannya agar berbaring lagi.
“Bener nih?”, Tante Evie tersenyum dan balas menatapku. Usapan tangannya di rambutku kuanggap sebagai isyarat kalau aku boleh melakukan sesuatu. Kudekatkan wajahku ke wajah Tante Evie dan saat ia seperti kaget melihat tindakanku, kukecup bibirnya. Kurengkuh punggungnya agar ia makin dekat denganku. Beberapa saat lamanya Tante Evie seolah menikmati kuluman bibirku, tapi kemudian ia mendorongku lembut.
“Aih, kamu nakal juga ternyata. Tante kan mama Dio, sahabatmu…”, tukas Tante Evie. Tak ada raut marah di wajahnya. Ia membalikkan tubuhnya membelakangiku.
“Aku nggak peduli, Tante. Beberapa kali ketemu Tante setelah lulus SMA waktu itu, aku langsung jatuh cinta sama Tante Evie”, spontan aku menjawab sambil melingkarkan tanganku di pinggulnya. Kupikir Tante Evie akan menepisnya,tapi ternyata tidak. Justru ia malah menggenggam tanganku. Kutempelkan tubuhku ke punggungnya dan kurasakan degup jantung Tante Evie. Aku diam beberapa saat menikmati kehangatan tubuhnya di pelukanku sambil menunggu reaksi Tante Evie berikutnya.
Karena Tante Evie diam saja, kuberanikan diri mencium rambutnya, lalu menyibaknya hingga aku bisa mengecup belakang lehernya. Kudengar Tante Evie mendesis lirih dan menggeliatkan tubuhnya. Nafsuku semakin tak terbendung. Kuciumi punggung Tante Evie, sementara tanganku menjalar di pahanya.
Tak lama kemudian Tante Evie menoleh ke arahku. Pandangannya yang sayu mengisyaratkan kalau ia tak keberatan dengan perlakuanku. Kupagut lembut bibirnya dan kulumat dengan tekanan yang tidak begitu kuat, karena aku tak ingin dianggap kasar oleh Tante Evie. Tanganku pun tak kubiarkan menganggur. Kugerayangi punggung dan pantat Tante Evie.
Birahiku memuncak saat kurasakan Tante Evie membalikkan tubuhnya hingga menghadapku sambil membalas ciumanku. Sesaat kami saling mengecup dan memagut dengan posisi miring sebelum kemudian kudorong Tante Evie hingga aku berada di atas tubuhnya. Bibir kami kembali saling berpagutan. Tante Evie pun tak tinggal diam. Kedua tangannya mengelus mesra punggungku. Berikutnya, kupuaskan bibir, lidah dan mulutku menjelajahi leher dan dada Tante Evie. Desahan dan erangannya makin membuatku membabi buta. Jemariku menyusup ke balik roknya, mencari-cari lokasi yang paling nikmat diraba. Saat mulutku menjelajahi bagian perut Tante Evie, ia mendorong bahuku.
“Udah, sayang… Ntar keterusan…”, ucap Tante Evie diseling desah tertahan. Kurasakan kalau ia mendorongku dengan setengah hati. Aku tahu ia sudah mulai terangsang, tapi takut untuk menunjukkannya padaku. Kugamit satu tangannya yang berada di bahuku dan membimbingnya ke bagian bawah tubuhku. Tante Evie tahu apa yang kuinginkan, tapi ia masih diselimuti keraguan. Tangannya kembali merengkuh bahuku. Sambil terus menciumi tubuhnya, kubuka resleting celanaku, lalu kubimbing lagi tangan Tante Evie menyusup ke dalam celanaku. Dengan menggenggam tangannya kuisyaratkan agar Tante Evie meremas “senjataku” yang mengeras di balik celana dalam, sementara bibirku kembali melumat bibir Tante Evie.
Ketika kurasakan Tante Evie mulai bisa menikmati remasan di bagian bawah tubuhku, tanganku pun kembali menjalar ke balik roknya dan menyusup di balik celana dalamnya. Tante Evie menggelinjang saat jemariku telah menemukan sasaran yang lembut dan agak basah. Dengan gerakan lembut kumainkan jemariku menikmati kebasahannya.
Trik-ku berhasil. Tante Evie terangsang dan tak lagi ingin berhenti. Ia mendorongku dan dengan gerakan gemulai menggeser tubuhnya agak ke bawahku. Kupandangi ia dengan penuh gairah saat jari-jari lentiknya berusaha melepas kancing celanaku. Kubantu Tante Evie dengan menaikkan pinggulku hingga celana berikut celana dalamku bisa dengan mudah dipelorot oleh Tante Evie.
Tanpa kuminta, Tante Evie langsung melahap “senjataku” yang telah tegak berdiri. Kupejamkan mataku menikmati setiap jengkal hisapannya. Salah satu yang kukhayalkan dengan Tante Evie terwujud sudah. Sesekali aku mengerang Tante Evie menghisap agak kuat kelelakianku. Kemudian kubuka T-shirtku hingga aku telanjang bulat.
“Ooh, enak sekali, Tante…”, gumamku sembari mengusap lembut rambut ikalnya yang panjang sebahu.
Tante Evie tak menjawab. Ia asyik memainkan “senjataku” dengan bibir dan lidahnya dan sesekali meremas disertai gerakan mengocok.
Tampaknya Tante Evie sudah tak tahan untuk tidak menuntaskan “pertarungan” kami. Ia beranjak untuk melepas celana dalamnya, lalu memposisikan dirinya di atasku sambil tangannya membimbing “senjataku” ke dalam miliknya. Ia memekik lirih saat “tugu monasku” menghunjam dalam miliknya yang telah demikian basah. Setelah berdiam diri sejenak dan sesekali menggoyang pinggulnya, Tante Evie mulai melakukan gerakan naik turun dengan irama pelan.
“Bajunya dilepas ya, Tante?”, pintaku sambil membuka kancing baju terusannya satu demi satu lalu melucutinya. Setelah itu kulepas behanya. Aku takjub melihat dua buah bukitnya yang begitu ranum. Meski sudah tak begitu kencang, tapi masih indah dipandang. Dan aku tak hanya memandanginya. Kuangkat kepalaku dan kulumat kedua bukitnya bergantian dengan penuh nafsu. Tante Evie terus saja bergoyang. Sesekali kepalanya mendongak, sesekali menunduk. Sesekali pula ia mengulum bibirku yang kubalas dengan pagutan yang tak kalah buas.
Beberapa saat kemudian Tante Evie mengerang tertahan dan hunjamannya makin cepat. Setelah itu ia melenguh lirih sambil merebahkan tubuhnya di tubuhku. Kurasakan dadanya berdetak kencang dan nafasnya memburu, sementara pinggulnya masih sesekali bergoyang. Kuremas kuat-kuat pantatnya mengikuti irama goyangannya. Ia telah orgasme dan aku sangat senang bisa membuatnya puas.
Setelah nafasnya mereda Tante Evie merebahkan tubuhnya di sampingku. Aku bangkit dan mulai mencumbui sekujur tubuhnya, mulai dari leher sampai pusarnya dan terus turun ke bagian bawah tubuhnya. Bulu-bulu halus di atas kemaluannya terlihat rapi. Agaknya ia merawat betul seluruh tubuhnya, termasuk bagian kewanitaannya. Aku pun tergerak untuk melakukan oral pada Tante Evie, tapi dia buru-buru mencegahku.
“Jangan sayang. Udah basah banget. Masukin aja”, pintanya dengan tatapan mesra.
Aku pun menuruti kemauannya. Kuhunjam pelan “senjataku” dan Tante Evie kembali mendesah. Sambil menghujaninya dengan gempuran bertubi-tubi kupandangi wajah Tante Evie yang tengah memejamkan matanya dan mulut agak menganga. Aku sengaja menahan agar tidak segera “keluar” karena aku ingin menikmati gelinjang dan rona kenikmatan di wajah Tante Evie lebih lama. Sesekali frekuensi hunjamanku kukurangi dan sesekali kupercepat jika tangan Tante Evie menekan pantatku yang berarti ia ingin aku mempercepat goyanganku. Tak lama kemudian kedua kaki Tante Evie dilingkarkan ke pinggulku dengan tekanan kuat, sementara jari-jarinya menancap di bahuku pertanda ia orgasme lagi. Kuhentikan gerakanku dan kutindih tubuh Tante Evie karena aku ingin melumat bibirnya yang merah merekah karena rangsangan.
“Orgasme, Tante?”, bisikku di telinganya.
“Iya, sayang. Ooh, kamu hebat sekali…”, desah Tante Evie.
“Nungging yuk, Tante…”, pintaku.
Tante Evie tak menjawab, tapi ia bangkit begitu aku beringsut dari atas tubuhnya.
“Sambil berdiri enak, Tante…”, lagi-lagi aku meminta. Tante Evie tak menolak. Ia turun dari tempat tidur lalu menungging dengan kedua tangannya bertumpu di ranjang. Aku yang berada di belakangnya pelan-pelan mulai menghunjamkan lagi “senjataku”. Tante Evie memekik lirih ketika “senjataku” menancap penuh ke dalam “miliknya”. Aku pun mulai melakukan gerakan maju-mundur lambat-lambat. Begitu Tante Evie mulai mendesah-desah lagi, kupercepat gerakanku.
Sekali lagi aku bangga, karena Tante Evie kembali orgasme. Ia jatuhkan tubuhnya di tepi ranjang dengan posisi tengkurap. Nafas memburu disertai erangan kenikmatan yang terputus-putus. Melihat pantatnya yang begitu ranum, aku tergerak untuk kembali menyerangnya. Kuhunjamkan lagi “senjataku” di sela-sela pantatnya. Kurasakan kalau sudah masuk, tapi tidak bisa mentok. Meski begitu aku masih bisa mengguncangnya dengan gerakan pinggul yang tak terlalu kencang. Tante Evie mengangkat sedikit pinggulnya, hingga hunjamanku bisa lebih dalam. Hal itu tak berlangsung lama karena Tante Evie menurunkan pantatnya akibat orgasme lagi. Tangannya menggenggam erat bed cover yang berantakan.
“Aduh, kamu kuat banget sih… Tante sampe loyo…”, kata Tante Evie tersengal.
“Sekali lagi yuk, Tante. Habis ini pasti keluar. Udah di ujung nih…”, cetusku sambil mengelus pantat Tante Evie.
“Aduuuh, Tante udah nggak kuat lagi. Tante isep aja ya? Cuci dulu sana…”, timpal Tante Evie.
“Gimana kalo enam sembilan, Tante? Mau yaa…”, rayuku.
“Iya, deh…”, Tante Evie menjawab sambil bangkit dari ranjang. Lalu menuju kamar mandi. Setelah itu ganti aku mencuci “senjataku” yang basah oleh cairan Tante Evie.
Enam sembilan adalah posisi yang jadi bagian dari khayalanku dengan Tante Evie. Aku girang bukan kepalang hari itu bisa mewujudkannya. Kurasakan begitu nikmat hisapan Tante Evie, sementara Tante Evie sesekali mengerang merasakan jilatanku di “miliknya”. Mula-mula kami melakukan enam sembilan dengan posisi miring. Karena rasa nikmat yang begitu memuncak, kudorong tubuh Tante Evie agar aku bisa berada di atasnya. Dengan begitu aku bisa leluasa menggoyang pinggulku mengimbangi irama hisapan Tante Evie sambil mulut dan lidahku menjelajahi “miliknya”.
Namun, sampai Tante Evie mengejang diterjang klimaks, aku tak kunjung keluar. Tanpa menunggu Tante Evie mengatur nafas, kutelentangkan tubuhnya dan aku menghunjamkan “senjataku” ke dalam “milik” Tante Evie yang basah oleh ludahku dan cairan kenikmatannya. Tante Evie pasrah sepenuhnya saat aku menggoyangnya dengan irama cepat. Matanya merem melek, sementara mulutnya tak henti-hentinya mengerang dan memekik.
Sesaat kemudian kumiringkan tubuh Tante Evie yang seperti tak berdaya sambil kuangkat sedikit satu kakinya, lalu kuhunjam dari belakang. Sambil menggoyang, kuremas gemas kedua bukit Tante Evie yang selama ini menggoda pikiranku. Lama-lama kuturunkan kaki Tante Evie hingga “miliknya” menyempit dan membuatku makin nikmat. Dalam posisi ini kurasakan cairanku hendak meledak. Buru-buru kucabut “senjataku”dan kutumpahkan di mulut Tante Evie. Tampaknya ia tak keberatan. Buktinya, ia menyambut “senjataku” dengan lahap lalu menghisap-hisapnya, sesekali agak kuat, seolah ingin menghabiskan isi kantung spermaku.
Setelah Tante Evie melepaskan mulutnya, kurebahkan tubuhku di sampingnya. Tante Evie beringsut dan berbaring di sebelahku. Tangannya diusap-usapkan di dadaku yang penuh bulu, sementara tanganku mengelus rambutnya. Kami sama-sama terdiam. Hanya nafas kami yang terdengar terengah-engah.
“Kok bisa ya, sayang…”, ujar Tante Evie memecahkan kesunyian.
“Bisa apa, Tante?”
“Kita sampai begini…” Tante Evie membenamkan wajahnya di leherku.
“Tante menyesal?”, tanyaku.
“Kamu?”, Tante Evie balik bertanya.
“Justru aku senang, Tante. Selama ini aku selalu berkhayal bercinta dengan Tante, sekarang terjadi beneran. Aku seneng banget”, jawabku jujur.
“Tante kan udah tuwir. Apa sih menariknya?”
“Justru di mataku Tante itu cantik banget dan sexy”.
“Kamu pinter banget kalo ngerayu”, Tante Evie mencubit mesra pinggulku.
Kami ngobrol lagi beberapa saat lamanya, dan kemudian Tante Evie beringsut bangkit.
“Tante pulang dulu ya…”, kata Tante Evie sambil mengenakan celana dalam hitam dan behanya yang sewarna. Aku hanya diam. Mataku tak lepas dari raut wajahnya yang menunjukkan kepuasan.
“Kamu jadi pulang besok?”, Tante Evie bertanya. Dipungutnya bajunya yang tergeletak di ujung ranjang.
“Iya, Tante. Pagi jam delapan. Sampe sana langsung daftar ulang. Soalnya udah hari terakhir”, pintaku.
“Iya, deh. Selamat jalan aja ya… Maaf Tante nggak bisa nganter”, ujarnya disertai senyum.
Setelah berdandan sebentar Tante Evie berjalan mendekatiku yang masih bugil dan tergolek telanjang di ranjang. Dikecupnya bibirku dengan mesra.
“Kalo ke sini lagi kabari Tante yah…”, bisiknya lirih di telingaku.
“Pasti, Tante”, kugenggam tangan Tante Evie, lalu kukecup punggung tangannya.
Tante Evie meninggalkanku dan sebelum keluar kamar ia lambaikan tangannya sambil tersenyum padaku. Sesaat kemudian aku terlelap.
Esok paginya, di dalam kereta api aku merenung. Aku senang bisa membuat Tante Evie puas. Sejak aku beranjak dewasa dan bertemu dengannya, aku tahu ia “menginginkanku”. Setiap kali aku mencuri pandang padanya, ia pun juga tengahmencuri pandang padaku. Aku juga tahu, caranya berdandan dan berbusana saat aku menginap di rumahnya dulu adalah upaya untuk menarik perhatianku. Begitu pun juga saat ia tidur siang atau ganti baju dengan pintu dibiarkan terbuka, aku sadar kalau ia sengaja memancing birahiku.
Entah kenapa, aku seperti tahu seorang wanita bahagia dalam hal seks atau tidak. Dan aku melihat, Tante Evie kurang beruntung dalam hal itu. Masih jelas terbayang di benakku ekspresi wajahnya saat ia menyambutku di depan pintu waktu itu. Juga ketika ia bilang kalau harus menjemput Om Tony ke bandara, ada rasa kecewa dari raut mukanya karena harus terputus pertemuan denganku. Semula kupikir ia menyerah dengan keadaan, tapi ketertarikannya padaku mendorongnya untuk menemuiku di hotel. Saat aku menawarinya untuk mampir ke kamarku adalah hal yang paling diharapkannya, walaupun sebenarnya ada rasa takut dalam hatinya. Takut mengkhianati suaminya, takut dianggap perempuan gampangan yang doyan “batang muda”. Tapi ketakutan itu tak ada apa-apanya dibandingkan harapan untuk mendapatkan sesuatu yang dapat memuaskan dahaganya. Dahaga seorang istri yang tak pernah mendapatkan kepuasan batin dari suaminya. Dan entah kenapa, aku bisa merasakan itu.
Sejauh ini, Tante Evie adalah perempuan ke sekian yang telah mendapatkan kepuasan dariku. Kebanyakan perempuan itu berusia di atas 45 tahun-an yang merasa kesepian karena kebutuhan biologis tak terpenuhi secara paripurna dan aku hadir untuk memberikan sedikit kenikmatan duniawi itu kepada mereka. Ada juga yang sudah mendapatkan segalanya dari suaminya, tapi ingin merasakan sensasi bercinta dengan brondong.
Jangan salah. Aku bukan gigolo. Aku tak mengutip imbalan apapun dari wanita-wanita itu. Aku hanya memilih siapa-siapa yang menarik hatiku untuk kupuasi dan aku sudah sangat senang bisa memberikan mereka kepuasan biologis. Hal ini juga sekaligus untuk menyalurkan hasratku yang hanya tertarik pada wanita berusia matang seperti Tante Evie. Wanita muda, secantik dan seseksi apapun, aku tak berminat. Mungkin aku menderita kelainan, tapi itulah aku.
Pengalamanku di masa lalu itu sedikit banyak telah memberikan satu pelajaran berharga, yaitu tentang bagaimana seharusnya seorang laki-laki memperlakukan wanita, terutama yang tersiksa batinnya karena ada satu kebutuhannya yang tak terpenuhi. Bisa dikatakan, “klienku” adalah wanita yang berkelebihan harta, tapi itu semua terasa tak ada artinya jika menyangkut kebutuhan biologis.
Kebanyakan mereka mengharapkan aku hadir lagi untuk mengisi kesepian itu setelah percintaan yang pertama, dan aku dengan senang hati datang pada mereka. Mereka sangat puas dengan permainanku. Tak sedikit yang mulai menawariku uang atau benda-benda berharga lainnya. Bahkan ada yang ingin memberiku apartemen dan mobil, asal aku mau pindah ke ibukota tempat domisilinya. Aku dijadikan semacam simpanannya. Semua itu dengan halus kutolak. Aku senang jika mereka puas. Itu saja.
Saat ini aku tengah menjalin hubungan serius dengan seorang janda berusia 57 tahun. Aku pun pelan tapi pasti, mulai meninggalkan hasrat berpetualangku untuk sepenuhnya fokus pada janda itu. Aku mencintainya, dan berharap dapat menikahinya tahun depan. (Someone, 38 tahun, somewhere)
Buat cewek n tante yg cari pria simpanan orang jawa hub 0813 6871 2420
BalasHapus